Sabtu, 11 Oktober 2008

tehnik penulisan opini ilmiah populer ???

Oleh: Indra J. Piliang
pengamat bidang sosial politik CSIS

Saya menjadi kolomnis Sepanjang tahun 2001 saya menulis 67 artikel
atau kolom; tahun 2002 sebanyak 68; tahun 2003 sebanyak 60, dan tahun
2004 naik lagi menjadi 65. Itu yang berhasil saya dokumentasikan,
karena memang ada sejumlah yang lain yang kurang terlacak. Saya juga
menulis dalam jurnal ilmiah, menyumbang tulisan untuk sejumlah buku,
dan menulis makalah untuk seminar dan diskusi. Boleh dibilang kegiatan
menulis adalah kegiatan utama saya. Saya ingat ucapan dosen saya, pak
Ismail Marahimin: "Kalau anda lulus dan mendapatkan nilai A, itulah
modal hidup anda."

Ide TulisanLalu darimana ide-ide tulisan saya. Pertama, tentunya
berangkat dari kegelisahan pribadi. Saya merupakan pribadi yang
gelisah. Kalau saya merasakan sesuatu, biasanya saya mengambil buku
kecil mencatat ide-ide saya. Atau langsung menulisnya saat itu juga.
Karena dilahirkan dari keluarga miskin dan hidup dalam penderitaan di
Jakarta, selalu saja saya curiga kepada penguasa dan kekuasaan. Boleh
dikatakan saya mempunyai banyak musuh: tentara, laskar, partai politik
(terutama Partai Golkar), dan lain-lainnya. Hal inilah yang membuat
saya terus memproduksi tulisan-tulisan kritis dan emosional, terutama
kalau arogansi kekuasaan muncul. Ide-ide itu juga lahir dari semangat
penolakan kepada argumen-argumen orang lain. Selama tinggal di
Tangerang, saya terbiasa mengkliping artikel-artikel koran dari
penulis ternama, lantas mencorat-coret pikiran-pikiran mereka.

Kedua, ide tulisan yang bersifat perubahan dan pembaharuan muncul dari
keterlibatan saya di banyak organisasi masyarakat sipil, misalnya:
Forum Indonesia Damai, Koalisi untuk Konstitusi Baru, Gerakan Tidak
Pilih Politisi Busuk, Perhimpunan Rakyat Jakarta untuk Pemberantasan
Korupsi, Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua, Koalisi Media
untuk Pemilu Bebas dan Adil, Komisi Darurat Kemanusiaan, Kelas
Indonesia Alternatif dan lain-lain. Berbagai pemikiran yang berkembang
dalam forum-forum itu saya teruskan ke media. Apalagi, sebagai orang
yang mulai dikenal sebagai pengamat politik, saya terkadang merasa
jengah dengan apa yang dikutip dari wawancara dengan saya. Biasanya,
dari sejumlah wawancara panjang, tampilan di media tidaklah utuh.
Makanya, untuk "meluruskan"-nya dan menampilkannya secara utuh, saya
memutuskan menulis tema dari wawancara yang berangkat dari peristiwa
politik itu.

Ketiga: berasal dari fokus penelitian saya selama di CSIS, yakni
menyangkut otonomi daerah, partai politik, demokrasi dan konflik.
Lingkungan pergaulan di CSIS begitu menyenangkan, karena terdapat
banyak nama yang dikenal oleh publik luas, seperti J Kristiadi,
Kusnanto Anggoro, Rizal Sukma, Tommy Legowo, dan lain-lainnya.
Beberapa tugas kantor akhirnya saya rasakan bisa disampaikan kepada
publik. Dari sinilah muncul tulisan-tulisan yang tidak berdasarkan
peristiwa politik, melainkan lebih kepada pengembangan konseptual atau
bahkan hanya sekadar pelipur lara. Tulisan-tulisan ini lebih
reflektif, karena mencoba melihat sesuatu dari luar praktek politik
keseharian.

Keempat, berasal dari fokus pribadi saya, yakni menyangkut tema
masyarakat sipil, Papua dan Aceh. Perjalanan saya ke daerah juga
menjadi inspirator, makanya muncul tulisan soal Samarinda, Pekanbaru,
Maluku, Aceh, Papua, dan lain-lain. Saya selalu ingin mencari tahu ada
apa dibalik perlawanan atas Jakarta. Sesuatu yang saya cita-citakan
sejak dulu, yakni bertualang ke banyak negeri, akhirnya tercapai.
Tidak terasa, saya menjelajahi sebagian besar ibukota provinsi di
Indonesia. Hanya Gorontalo, Kendari (Sulawesi Tenggara), Tanjung
Pinang (Kepulauan Riau), Mamuju (Sulawesi Barat) dan Monokwari (Irian
Jaya Barat) yang belum saya kunjungi. Indonesia nyatanya tidak seperti
yang kita baca lewat informasi buku dan media.

Saya juga mendapatkan ide tulisan dari apa yang saya baca.
Kadang-kadang sepotong berita dan kalimat di sesobek koran. Biasanya,
kalau saya ingin menulisnya, tema atau ide itu terus-menerus mendesak
saya untuk segera dituliskan. Kalau saya sudah mulai menulis, biasanya
saya melupakan yang lain. Tetapi saya juga bisa menulis di tengah
kebisingan atau pembicaraan. Kadang, dalam seminar, ketika menjadi
pembicara, atau ketika berbicara dengan orang lain, saya tiba-tiba
berhenti dan menuliskan sesuatu di catatan atau handphone atau XDA
saya. Saya takut kalau ide atau potongan kalimat itu tiba-tiba hilang,
karena saya pasti menyesalinya.

Anehnya, kalau saya membaca buku serius atau teoritis, saya justru
tidak akan bisa menulis beberapa hari. Saya akan tenggelam dalam buku
itu. Biasanya kalau ada sesuatu yang terbersit, saya menulis di
pinggiran buku itu, misalnya bagian yang hendak saya kutip untuk
makalah atau ide yang hendak saya pertentangkan dengan apa yang
tertulis di buku itu. Makanya, saya kadang-kadang agak kesulitan untuk
"larut" dalam keadaan, karena itu bisa mematikan saya.

Ide juga bisa muncul dari orang lain, dan ini yang dikritik oleh teman
saya sebagai tidak genuine. Misalnya, beberapa redaktur opini meminta
saya menulis tema tertentu dengan waktu tertentu. Biasanya saya cepat
menuliskannya, karena mengejar deadline. Kenapa bisa cepat? Karena
saya mengikuti perkembangan berita dengan rutin, lalu membangun opini
tersendiri atas berita atau peristiwa itu. Hanya, saya merasa
menulisnya tidaklah penting atau tidak punya waktu. Baru ketika
diminta oleh redaktur opini media massa itu saya merasa, "O, menulis
soal ini penting, toh?" Kadang, karena merasa bosan atau tulisan yang
saya kirim lama dimuat atau tidak dimuat sama sekali, saya berhenti
menulis dan menganggap semua hal tidak penting, kecuali tulisan saya
yang lama baru dimuat itu atau yang tidak dimuat itu.

Struktur PenulisanLalu bagaimana saya menuliskan sesuatu yang
"penting" atau "tidak penting" itu sehingga tersaji di depan publik
dalam lembaran-lembaran koran? Bagaimana struktur penulisan yang baik?
Berdasarkan pengalaman, menurut saya, tulisan yang baik itu harus
memuat unsur-unsur berikut. Pertama, kuat dalam data. Kadangkala saya
juga ceroboh dalam hal ini, terutama menyangkut nama, peristiwa,
singkatan, atau bahkan tanggal. Tetapi, karena peristiwa politik
berlangsung cepat, soal data itu juga tidak selalu akurat ditulis oleh
media, karena informasi pagi hari bisa berubah sore dan malam hari.
Tetapi, apapun itu, penulis yang baik hendaknya jangan sekali-kali
memanipulasi data.

Kedua, sedikit teori. Dulu saya sempat menulis dengan cara mengutip
buku, bahkan juga sekarang. Ada kelompok pembaca yang menyenangi jenis
ini, terutama kalau kita mengutip buku atau artikel terbaru berbahasa
Inggris, seperti yang banyak dijumpai di perpustakaan CSIS. Tetapi,
lama kelamaan, saya merasa cara seperti ini tidaklah menarik.
Alasannya antara lain, analisa atau teori dalam buku itu mencakup
spektrum atau konteks tertentu. Teori transisi atau konsolidasi
demokrasi, misalnya, tidak sama antara Philipina, Brazil, Thailand
atau Malaysia. Kalau hanya mengambil kesimpulan akhir dari sebuah buku
atau artikel, berdasarkan uraian panjang lebar atas persoalan
tertentu, berarti yang terjadi adalah inplantasi atau pencangkokan.
Dalam soal artikel koran, saya sependapat dengan Bara Hasibuan betapa
rata-rata kolom di Indonesia terlalu berat, reflektif dan teoritis.
Referensi Bara tentunya International Herald Tribune dan koran-koran
luar negeri lainnya.

Ketiga, tidak mendalam, tetapi juga tidak dangkal. Kalau ingin menulis
mendalam, pakai kerangka teori, sebaiknya tulisan itu dikirimkan ke
jurnal atau lebih baik lagi yang ditulis adalah buku, bukan artikel
atau kolom. Yang diperlukan adalah bingkai dari keseluruhan tulisan
dan bagaimana bingkai itu diberi daging opini dan bahkan selimut
pendapat. Kalau terlalu dalam, bisa-bisa tulisan itu malah menyesatkan
atau liar kemana-mana. Makanya, bagi sejumlah kawan penulis opini
media, biasanya yang dicari adalah judul tulisan terlebih dahulu,
ketimbang isinya. Tetapi ada juga yang menjadikan pemberian judul
setelah tulisan selesai. Saya menggunakan keduanya, sekalipun saya
lebih senang dan cepat menulis kalau sudah menemukan judul yang cocok.

Keempat, ringkas. Ringkas bukan berarti padat atau ringkasan. Saya
biasanya kebingungan kalau membaca kolom atau artikel ekonomi yang
dipenuhi dengan angka dan prosentase serta istilah-istilah teknis
lainnya. Pembaca koran yang baik mungkin memerlukan kamus khusus untuk
bisa memahami artikel itu. Tetapi bagaimana bisa anda menyiapkan kamus
di terminal bus atau di kursi pesawat yang terbang jauh di atas
langit? Tulisan ringkat bisa memuat unsur 5W-1H, tetapi sekaligus
juga mengandung tiga hal: pembuka (angle), isi dan penutup (refleksi).
Tulisan ringkas juga sedapat mungkin menggunakan pilihan kata
populer/sederhana, ketimbang teknis ilmiah.

Kelima, tepat sasaran. Anda ingin menujukan tulisan buat siapa? Kalau
saya menulis agak panjang (1200 karakter, misalnya), biasanya saya
tujukan tulisan itu ke kalangan mahasiswa atau pembaca yang biasa
mengkliping artikel. Tetapi kalau tulisan pendek, dalam pikiran saya
langsung tergambar siapa saja orang yang saya "tembak" dengan tulisan
itu. Tentu berlainan antara tulisan yang ingin ditujukan ke kalangan
pengambil keputusan dengan tulisan kepada khalayak ramai yang ingin
"memahami" sebuah peristiwa. Sebagaimana media mencari pangsa pasar,
maka dalam diri penulis mestinya juga sudah tersedia sejumlah pangsa
pasar bagi pembaca tulisan-tulisannya.

Keenam, karakter media. Media tentu juga memiliki visi dan misi.
Karakter masing-masing media berlainan. Saya punya catatan khusus
tentang media-media tempat saya mengirimkan tulisan saya, serta saya
gunakan untuk mengirimkan tulisan saya. Biasanya, saya tidak berpikir
untuk menulis sebuah kolom atau artikel dengan cara sesudah selesai
baru dipikirkan mau dikirim kemana. Ketika menulis, saya sudah tahu
tulisan ini ditujukan ke media apa, lalu secara "otomatis"
kalimat-kalimat yang saya bangun juga akan "sebangun" dengan media
itu. Hal ini memang berat, karena karakter penulis bisa-bisa hilang.
Tetapi saya selalu mempunyai sejumlah hal yang menurut saya "khas"
saya, sehingga orang mengenali itu sebagai tulisan saya. Saya
sebetulnya juga berharap bahwa tulisan-tulisan saya dibaca bukan
karena saya penulisnya, tetapi karena ada cita-rasa tersendiri dari
tulisan itu.

Ketujuh, sebetulnya boleh ada kutipan (awal, tengah atau akhir
tulisan). Tetapi ini konsep yang sangat klasik. Terkadang saya tidak
mengutip, tetapi memberikan cerita. Kutipan juga seringkali menjadi
sempalan dari sebuah tulisan, karena kalau tidak tepat menempatkannya,
bisa-bisa ia menjadi semacam benalu atau kangker. Kutipan yang baik
adalah yang bisa menyatu dengan keseluruhan tulisan. Dulu saya
mengutip lewat wawancara, sekarang yang makin sering adalah lewat sms.
Saya pernah kaget ketika Revrisond Baswir menulis di Republika dengan
diawali oleh sms dari saya. Saya juga pernah menulis di Koran Tempo
dengan kutipan langsung sms dua orang menteri, tetapi saya tidak
menyebutkan siapa menteri itu karena kurang etis.

Sebetulnya apa yang saya tuliskan ini sangat pribadi. Mungkin banyak
yang tidak memahaminya, karena memang keluar dari kerangka umum.
Sebelum menjadi penulis, bertahun-tahun saya membeli buku-buku tentang
penulisan, baik ilmiah atau populer. Banyak teori penulisan yang
muncul dalam buku-buku yang mudah didapatkan di loakan itu. Tetapi,
ketika saya menulis, tentu buku-buku itu tidak ada lagi di meja saya.
Sesekali saya memang perlu membacanya untuk sekadar mengambil jarak
atas tulisan-tulisan saya sendiri.

Tips KhususBagi penulis baru atau lama, ada beberapa tips khusus yang
saya rasa perlu, terutama untuk "menembus" media massa mapan. Anda
bahkan bisa menjadi penulis produktif kalau mempraktekkannya. Ketika
saya mempraktekkannya, dulu, saya pernah kaget ketika tanggal 9 bulan
itu saya sudah menemukan 10 tulisan saya di media cetak. Artinya,
tulisan saya itu lebih dari satu dalam sehari. "Kegilaan" itu tidak
saya lanjutkan, karena ada banyak nasehat agar saya bisa menjaga
jarak. Apalagi motif saya menulis kala itu salah satunya uang, karena
dari menulis saja saya bisa mendapatkan Rp. 5 Juta per bulan.

Tips khusus itu adalah, pertama, perhatikan headline atau tajuk
rencana harian/majalah yang bersangkutan. Dari headline dan tajuk
rencana itu, kita bisa membaca kearah mana setting agenda dari media
yang bersangkutan. Kalau anda temukan headline tertentu dan tajuk
rencana tertentu ditulis berkali-kali, tetapi tidak ada juga opini
yang ditulis pihak luar, maka kesempatan masuknya tulisan anda bisa
100%. Saya sering "tertawa" ketika menemukan kolom atau opini yang
tidak terlalu bagus, tetapi tetap dimuat, karena memang sangat sesuai
dengan concern media itu dalam tajuk rencana dan headlinenya. Kalau
perlu, anda kutip tajuk rencana media tersebut, lalu mengupas dan
mengkritiknya.

Kedua, temukan judul yang pas dan ringkas terlebih dahulu. Judul
adalah otak dan otot bagi sebuah tulisan pendek. Sering malah sebuah
tulisan dimuat karena judulnya, sekalipun isinya biasa-biasa saja.
Karena memang ditujukan kepada orang yang mungkin sedang minum kopi
atau istirahat, sebuah artikel pendek akan langsung dibaca ketika
judulnya menarik. Isinya bisa apa saja, tetapi judul sudah menjadi
iklan yang luar biasa. Saya sering mendapatkan komentar atas tulisan,
hanya karena judulnya. "Kursi RI 1 untuk Apa, Jenderal" (Kompas, 29
April 2004) termasuk yang mendapatkan banyak reaksi positif. Padahal,
tulisan itu sempat dirombak dan diganti judul, sekalipun isinya tidak
banyak berubah.

Ketiga, kalau ingin menjadi penulis terkenal, sebaiknya kejar media
"besar" terlebih dahulu, namun jangan berlebihan. Saya kira "teori"
kirim 100 artikel sekalipun ditolak gugurkan saja. Untuk apa anda
mengirim 100 artikel kalau semuanya tidak dimuat? Kalau anda
betul-betul bertahan dalam susah, lalu memperbaiki tulisan anda,
lantas sekali sebulan mengirim ke media besar yang sama, saya kira
anda akan mendapat tempat. Tetapi jangan lupa, bahwa dengan cara
seperti itu anda sebetulnya harus bersiap-siap untuk mendiskusikan
tulisan anda jauh lebih dalam dari apa yang anda tulis.

Keempat, usahakan menjadi spesialis. Banyak yang menyebut saya bukan
spesialis ilmu tertentu, karena tema yang saya tulis terlalu banyak.
Spesialisasi saya, ya, sebagai penulis saja. Akan lain misalnya
seorang penulis mempunyai spesialisasi ilmu pengetahuan tertentu,
karena dia akan dicari pascatulisan itu terbit. Saya akui, dulu saya
menulis banyak hal, sekalipun pelan-pelan ingin saya arahkan ke
satu-dua tema saja. Tetapi kesulitan menjadi spesialis juga ada, yakni
anda akan sangat tergantung kepada momentum. Penulis yang baik harus
bisa menyiasati momentum, sekalipun punya spesialisasi, yakni dengan
menjadikan peristiwa apapun sebagai jalan pembuka. Ahli-ahli pemilu,
misalnya, akan sulit menulis ketika musim pemilu sudah lewat. Kalau ia
kreatif, setiap bulan bisa saja menulis segala sesuatu lalu
mengaitkannya dengan pemilu.

Kelima, jangan lupa membikin tabungan naskah. Anda pasti akan
membutuhkannya, terutama kalau anda betul-betul menjadi penulis besar.
Ketika produktifitas tulisan saya begitu tinggi, sebagian saya ambil
dari tulisan ketika mahasiswa. Untunglah saya memasukkan beberapa ke
dalam komputer, sehingga tinggal mengolahnya lagi sesuai dengan
kebutuhan sekarang. Akan tetapi, model dan karakter tulisan mahasiswa
itu tentulah berlainan dengan sekarang. Tetapi ada keinginan
tersendiri betapa apa yang pernah saya tulis itu harus sampai kepada
publik, kalau memang saya menganggap tulisan itu bisa memberikan
perspektif.

PenutupApa yang saya tuliskan ini tentulah belumlah semuanya. Apalagi
di tengah kesibukan sekarang, tentu semakin sulit bagi saya meluangkan
waktu untuk menulis. Harus ada banyak penyiasatan atas waktu. Dulu,
apabila saya bosan atas sesuatu, biasanya saya pergi ke tiga tempat,
yakni toko buku, pasar dan laut. Dengan mengunjungi toko buku, saya
merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. Kalau ke pasar dan
menemukan kuli, ibu-ibu penjual sayur, atau bau busuk, saya merasa
sebagai orang paling malas di dunia. Di pinggir pantai saya merasa
menjadi orang paling kecil di tepian galaksi. Biasanya, saya kembali
segar, lantas berusaha untuk tidak malas.

Dari menulis, saya mendapatkan banyak manfaat. Seringkali orang merasa
saya orang pintar. Padahal, banyak orang yang lebih pintar dan cerdas
yang saya temui dan kagumi. Saya justru merasa, kepintaran bukan
ukuran untuk menjadi seorang penulis. Yang paling penting barangkali
empati atau keinginan merasakan apa yang diderita atau dipikirkan atau
dirasakan orang lain, seperti orang lain itu memikirkan atau
merasakannya. Kalau sisi humanisme hilang dalam diri saya, barangkali
saya tidaklah akan bisa menjadi seorang penulis.

Saya memang mendapatkan uang, "ketenaran" dan segala macam hal lainnya
dengan menulis. Banyak yang tertipu dengan usia saya, pendidikan saya
(saya baru menyelesaikan S-1 Jurusan Ilmu Sejarah UI), sosok saya
(saya tidak pakai kacamata dan agak gaul, bukan ada di perpustakaan
penuh debu), orangtua saya (saya bukan anak jenderal, pengusaha besar
atau pejabat negara, karena ayah-ibu saya hanyalah petani dan
pensiunan pegawai negeri sipil golongan rendah), atau kondisi keuangan
saya (sekarang memang sudah lebih mapan, punya mobil, tiga kantor,
tetapi saya tinggal di rumah mertua di lingkungan yang "buruk": banyak
preman, kyai, etnis, juga ada banyak penjual narkoba, pelacur, dll, di
kawasan Jalan Krukut, Jakarta Kota), dan lain-lain.

Sebagai pemompa semangat, dengan menulis katakanlah 350 artikel saja
selama 5 tahun ini, lalu rata-rata artikel itu dihargai Rp. 500.000,-
(ada yang lebih ada yang kurang), berarti saya sudah mengumpulkan uang
kira-kira sebesar Rp. 175.000.000,- atau Rp. 35.000.000,- setahun.
Kalau ukurannya uang, sebetulnya menulis artikel hanyalah perantara
kepada kegiatan lain, seperti seminar, pelatihan, dan lain-lainnya
yang uangnya lebih besar, selain tentunya tawaran gaji yang lebih
tinggi dari lembaga-lembaga yang menginginkan saya bekerja di sana.
Silakan tebak, berapa saya punya penghasilan.

Menjadi penulis menurut saya bukan berarti harus menjadi miskin.
Tetapi tetap saja menjadi sebuah kesalahan pikiran kalau tujuan
menjadi penulis adalah mencari kekayaan atau ketenaran. Pengalaman
menunjukkan, ketika saya ingin bersembunyi dan menyendiri, tiba-tiba
ada saja yang kenal dan harus diajak bicara. Kehadiran televisi
sebetulnya bisa menggerus kemampuan seorang penulis, kalau penulis itu
yang seharusnya menulis, tetapi harus hadir di televisi menjadi
seorang pembicara atau komentator.

Lebih dari segalanya, kebutuhan penulis di Indonesia masihlah besar.
Selain itu, nasib penulis Indonesia juga kurang beruntung. Jangankan
untuk mentraktir orang lain, bahkan untuk makan layak saja tidaklah
cukup. Saya punya sejumlah teman yang duluan terkenal, tetapi hidupnya
pas-pasan karena hanya mengandalkan tulisan. Karena media massa juga
punya keterbatasan, misalnya paling tinggi memuat dua tulisan dari
satu penulis dalam sebulan, kehidupan penulis bukanlah sesuatu yang
menyenangkan. Untuk makan saja tidak cukup, apalagi untuk membeli
buku, bepergian, meneliti, atau ketemu dengan orang lain mendiskusikan
sesuatu.

Bagi saya, nasib penulis haruslah diperbaiki. Sekarang saya mencoba
membangun sebuah organisasi yang menaungi penulis, bersama Andrinof
Chaniago, Jeffrie Geovanie, Saldi Isra, dan lain-lainnya. Mungkin
namanya Indonesian Writer's Institute (IWI). Gagasan ini sudah lama
saya perjuangkan dan peminatnya tidak sedikit. Kehadiran organisasi
ini tinggal menunggu waktu, paling lama tahun depan. Dengan cara itu,
mudah-mudahan ada banyak jalan untuk menghasilkan para penulis, juga
memperbaiki kehidupan (ekonomi) para penulis, tanpa mereka harus
kehilangan jati diri, cita-cita, dan idealismenya

Tidak ada komentar: