Rabu, 31 Desember 2008

Tips menulis Fiksi...

tips nulis fiksi
by: adhitya mulya

Dari pertama gua nulis, udah lumayan banyak orang yang dateng ke gua minta diajarin bagaimana cara nulis buku. Kebanyakan jawaban gua udah ada sebenernya dalam pelajaran bahasa indonesia kelas 1-2-3 SMP dan 1-2-3 SMA.

Dari mulai hal-hal yang seperti: bikin tema, bikin sinopsis, membagi paragraf yang baik, semuanya adalah bekal teknis yang cukup untuk menulis buku. Tulisan di bawah adalah ringkasan gua secara menyeluruh tentang pertanyaan-pertanyaan dari banyak orang yang gua gak bisa jawab satu-satu. Bahasan akan gua bagi jadi 3 bagian penting.
Pre-production, production dan post-production.
Ini adalah tiga fase penulisan buku yang dalam masing-masing fase, ada hal-hal yang bisa membantu lu membuat buku yang baik….setidaknya baik versi pengalaman gua. Ini mungkin bukan tips yang terbaik yang lu denger tapi yang terbaik yang gua tahu. Penulis-penulis lain yang punya pengalaman beda mungkin akan gak setuju dengan isi blog ini, tapi again, ini adalah yang gua alami.
Di sini gua juga pengen memanage expectation orang karena normally orang yang mau menulis buku itu menggebu-gebu dan ditakutkan tidak memperhatikan beberapa elemen penting. Apalagi di jaman sekarang di mana buku fiksi itu sudah overrated kalo gua bilang.

I. Pre-Production
I.1 Ide Cerita
Ada 2 alasan besar kenapa orang beli buku lu:
1. Ide cerita lu
2. Cara lu menuturkan cerita.
Di section ini kita akan bahas ide cerita dulu.
Fiksi: Beberapa macam ide cerita fiksi yang bagus adalah
1. Yang beda dari yang lain. Ide cerita yang unik lumayan bikin orang penasaran.
2. Sesuatu yang mendasar dan terjadi di setiap orang.
3. Atau gak perlu beda dari yang lain tapi lu ambilnya dari sudut pandang lain.
Elu dituntut untuk melatih diri menjadi kreatif. Jangan berhenti bertanya ’kenapa?’ dan ’bagaima jika...?’
Yang harus dihindari dari persepsi gua adalah:
1. Topik yang udah banyak orang bahas.
2. Membuat karya fiksi dari pengalaman sendiri.
Again, dari persepsi gua, gua gak terlalu suka membaca karya fiksi yang sebenernya adalah hasil dari pengalaman pribadi. Gua gak suka, karena gua dulu ditempa menjadi penulis dengan ajaran: karya fiksi itu lahir dari proses kreatif. Nah kalo pengalaman kita sendiri kita fiksikan, proses kreatifnya minim.

Orang-orang yang nulis pengalaman pribadi, biasanya jarang memiliki kemampuan untuk menulis novel kedua (Ini bukan teori, ini pengamatan dari pengalaman seseorang). Semua isi perutnya udah abis disebar-sebar di buku pertama. Kalau pun iya, biasanya buku kedua terjual lebih edikit dari buku pertamanya.

Penulis yang konsisten memberikan ide fiksi tidak akan memiliki masalah memulai buku keduanya karena mentalnya penulis.

Nah gua gak bilang bahwa lu gak boleh memasukkan pengalaman pribadi lu ke dalam fiksi lu. Terserah elu itu mah. Toh ada beberapa buku yang seperti ini yang juga gemilang. Andrea Hirata men-tetralogikan pengalaman hidupnya dalam karya :

Laskar Pelangi
Sang pemimpi
Edensor
yang terakhir belum dia reveal apa judulnya

Ini diakui secara publik lho. And you know what? Bukunya bagus! Gaya ceritanya bagus. Ide ceritanya (pengalaman hidupnya) bagus. Ternyata gua lihat bahwa bedanya dia dengan yang lain adalah bahwa ide ceritanya inspiratif. Kata seseorang yang komentar di comment post ini, Salman Rushdie juga sering make pengalaman pribadinya dan bagus. Good for him then.

Jadi terserah kita. Kalo Kita mikir pengalaman pribadi kita bisa memberi hikmah / menghibur / menginspirasi orang banyak dalam bentuk fiksi, silahkan tulis. Kalo nggak, mending jangan saran gua.
Non-fiksi: Jika ingin menceritakan pengalaman pribadi, mending sekalian aja menulis buku non-fiksi. Raditya Dika dengan buku-bukunya adalah contoh yang sempurna akan hal ini. Dari awal dia memang sudah niat nulis pengalaman pribadinya dan dia go public mencetak bukunya dengan label ’Ini pengalaman pribadi’. Cara dia bercerita dan materi yang dia ceritakan sangat
kocak.

Tips memilih topik untuk non fiksi adalah:

1. Pengalaman lu yang unik yang gak dialamin banyak orang

2. Hindari kecenderungan memamerkan sesuatu yang orang banyak gak punya karena nanti lu akan kehilangan sense of belongingnya pembaca.

3. Persepsi lu akan sesuatu. Isman Suryaman dengan ’Bertanya Atau mati’ adalah contoh yang baik dalam penulisan on-fiksi yang tidak menceritakan pengalaman pribadi tapi lebih ke persepsi dia akan segala seuatu.

I.2. Target Audience
Penulis yang baik juga harus cukup peka untuk bisa mereka segmen usia dan segmen uang mana yang akan membaca bukunya. Gak usah pake bahasa yang rumit jika kita menarget pembaca di desa. Buku-buku Umar kayam dapat dinikmati oleh tukang pisang goreng sampe manager karena penuturannya baik dan pas bagi semua orang. Ide cerita yang terlalu high class akan ditinggalkan orang-orang susah. Intinya, ide dan cara bertutur yang pas akan mampu merangkul lebih banyak pembaca dari segala segmen.

I.3. Judul
Secara general, ada baiknya lu bukin sinopsis. Sinopsis ini akan kerasa gunanya di kala kita udah mulai nulis nanti. Judul dan tema juga penting agar kita tidak melebar dalam bercerita. Biasanya gini: Sinopsis adalah cerita lu dalam 3 paragraf

Tema adalah cerita lu dalam 1 kalimat

Judul adalah cerita lu dalam 1, 2 atau 3 kata

Kalo gua, jujur aja gua udah bikin 3 buku dan sampe sekarang masih gak becus aja nyari judul. Nyari tema sih oke. Ngembangin tema ke cerita oke. Tapi nyusutin dari tema ke judul? I am total crap at it.

II. Production

Dalam production, ada 2 hal yang penting. Penulisan dan kritik.

II.1. Penulisan

II.1.1. Penokohan (matrix)
Salah satu yang sering penulis baru lakukan adalah penokohan yang tidak proporsional. Ini berhubungan dengan keterbasan buku sebagai media 1 dimensi. Buku hanya mampu bercerita dengan tulisan dan tidak dengan visual sehingga ketika orang membaca sebuah nama, dia akan berasumsi bahwa tokoh yang diberi nama ini, adalah tokoh penting dalam buku. Sering didapati bahwa penulis bercerita panjang lebar tentang tokoh ’Irwan’ di bab 2, tapi Irwan tidak muncul lagi di bab-bab berikutnya. Intinya jika kita menulis terlalu banyak nama/tokoh, pembaca akan bingung. Untuk itu sebelum menulis, minimal kita harus membuat sebuah matrix penokohan. Tokoh-tokoh utama harus jelas asal-usulnya dan kondisi fisik dan mental mereka. Untuk itu matrix penokohan di bawah akan sangat membantu. Semakin penting peran si tokoh, semakin detil kita harus gambarkan. Semakin gak penting peran dia, kita gak perlu detil-detil amat menggambarkan mereka.
Nama Peran Background Kondisi psikologis Kondisi fisik
Rani Utama Lulus dari perbanas bareng tokoh2 lain Ambisius, terbayang2 olehj kekejaman sang ayah, dll Rambut merah sebahu, tinggi, kurus, sawo matang, dll
Julius Utama Lulus perbanas 1 tahun lebih cepat dari rani Punya 2 kepribadian tapi dia gak sadar akan hal itu, baik,dll Cepak, punya luka di tangan kiri, tatao di tangan kanan
Rahmat pendukung Temen rani di perbanas, kerja di toko kocak Keriting.
XXX
YYY

Biasanya penulis sudah cukup kuat untuk menyimpan semua informasi ini dalam otak. Tapi gua sih nggak. Akhirnya gua melakukan deskripsi fisik yang berbeda akan tokoh yang sama dalam buku GMC. Memalukan. Sejak itu gua pake matrix ini. Matrix ini sangat berguna jika lu nekat ingin nulis buku dengan tokoh utama dna pendukung yang banyak. Contohnya buku ’Arus Balik’ Pramoedya Ananta Toer. Itu buku tokohnya banyak banget tapi detil mereka terjaga dengan baik.
II.1.2. Struktur Cerita
Metode
Umumnya drama 3 babak sudah cukup untuk mengakomodir penyaluran cerita. Kalo mau kreatif sedikit mungkin kita utak-atik depan belakang dan tengahnya. Buku ’100 years of solitude’ dari Gabriel Garcia Marquez adalah contoh yang unik untuk ini. Buku tersebut dia awali dengan endingnya. Buku itu dia awali dengan menceritakan bahwa pemeran utamanya akan ditembak mati oleh pasukan penembak. Dari sana dia flash back ke 100 tahun ke belakang kehidupan keluarganya.
Drama 3 babak berkomposisikan:

Babak 1: perkenalan masalah

Babak 2: masalahnya

Babak 3: penyelesaian
Setelah gua banyak baca, setidaknya gua pribadi mendapati bahwa buku yang tamat gua baca adalah buku-buku yang babak 1-nya singkat dan mampu memperkenalkan masalah dalam bukunya dalam jumlah halaman yang gak terlalu banyak. Tapi ini juga bukan pedoman. Ambil da Vinci Code-nya Dan Brown. Gua mendapati bahwa di akhir setiap bab selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita meneruskan membaca ke depannya. Itu bagus. Misterinya berlapis-lapis tapi masing-masing misteri itu gak bertele-tele. 600 halaman tu gak kerasa. Ada novel yang masalahnya hanya muter-muter di situ tapi dikemas dalam 700 halaman seperti the Historian. Itu buku gua tinggal di halaman 600 karena gua gak kuat. Buku itu membutuhkan 250 halaman untuk bilang bahwa tubuhnya drakula mencari kepalanya, yang mana udah bisa gua tebak dari 50 halaman pertama dari 250 halaman itu.
Ada lagi yang strukturnya dibuat persis seperti kita nonton film. Dan Brown adalah penulis yang bertipe seperti ini. Baik dalam Da Vinci Code atau Angels & Demons, tiap babnya gak terlalu banyak. Tapi jika kita ukur dan bayangkan, satu bab dalam bukunya gak susah kita bayangkan sebagai 1 adegan. Dan dari 1 bab ke bab lainnya menceritakn semua tokoh secara terpisah dan lama-lama terasa koneksinya dan makin konvergen.

II.1.3. Konvergensi cerita
Kalo gua pribadi, gua gak akan mulai menulis sebuah buku fiksi sebelum gua tahu endingnya seperti apa. Ninit Yunita, penulis testpack punya metode yang lebih efektif di mana dia mulai menulis setelah minimal 70% yakin akan endingnya. Minimal jika ending berubah, perubahan itu gak jauh-jauh amat.
Penulis pemula umumnya memiliki nafsu menulis tinggi sekali. Mereka mulai menulis sebelum tahu endingnya gimana, akhirnya tulisan mereka cenderung melebar (divergen). Semuanya ingin diceritakan. Pertama nulis tentang A, kemudian tentang B, kemudian tentang C tapi di tengah jadi bingung mikirin bagaimana caranya mengikat A, B dan C itu. Akhirnya buku itu dia tinggal. Dia ganti judul baru tapi dengan pola kerja yang salah, di judul baru ini dia mengalami kesulitan yang sama. Makanya, menulis konvergen itu akan menghemat waktu. Bikin sinopsis sebelum menulis.

II.1.4. Gaya/Cara bertutur
Seperti yang gua bilang ada 2 hal yang pada akhirnya membuat buku lu dibaca: ide cerita dan gaya nulis lu.
Sementara semua orang punya kemampuan untuk membuahkan ide yang kreatif, gak semua orang punya kemampuan bercerita dengan unik. Kalo kita udah nemu sebuah gaya bercerita, biasanya itu akan menjadi trade mark lu dan lu bawa di semua buku lu. Gua seperti ini. Ada lagi penulis yang di tiap bukunya gaya nulisnya beda. That's fine juga.

Gaya menulis yang unik pun gak bisa gua ajarin di sini. Itu adalah sebuah skill yang hanya lu sendiri bisa latih dan bisa tumbuhkan. Kalo dari pengalaman gua, sebelum gua nulis buku, gua habiskan satu tahun untuk menulis di blog. Cari-cari gaya bahasa yang lucu dan bisa bikin orang terhibur. Satu tahun. Itu proses yang lama. Gua gak bikin jomblo dalam 1 malam. Nasihat gua sih,
1. jangan terlalu ingin instan langsung bikin buku. Latihan dulu di blog atau di mana pun, akan bisa.
2. rajin-rajin baca buku fiksi / non-fiksi. Perhatikan bagaimana cara penulis-penulis lain bercerita. Bagiamana mereka mendeliver cerita mereka, bagaimana mereka mengerem dan menggas cerita untuk mendapatkan suspense pembaca. Bahasa formal/non-formal yang bagaimana yang mereka bungkuskan pada cerita mereka. Semua itu penting untuk disimak.
Untuk nulis lu butuh 2 hal. Talent dan practice untuk mengasah talent itu menjadi lebih baik.

II.2. Kritik
II.2.1. Ego Penulis
Gua adalah seorang kritikus buku yang dingin. Kalo jelek ya gua bilang jelek dengan catatan gua kasih mereka input. Hasilnya lumayan. Sejauh ini 4 dari sekian jumlah buku yang gua kritik, dapet kontrak film. 3 di antaranya terjual banyak juga.
Tapi yang sering gua dapati adalah bahwa penulis-penulis pemula yang datang ke gua, egonya besar sekali sampai mereka gak terima masukan gua. Dan orang-orang ini pun ketika akhirnya menerbitkan buku mereka, gak terjual seberapa banyak ketimbang mereka yang mampu nerima input. Gua ceritain ini bukan karena nasihat gua adalah jimat tapi karena they wouldn't listen.
Setelah dialog dengan seorang editor terkemuka, kita berdua mendapati bahwa jaman sekarang ini banyak yang penulis pemula yang merasa karya pertamanya adalah maha karya tanpa cacat dan secara mengejutkan sulit sekali nasihatin mereka. Sulit sekali bagi mereka untuk menelan komentar
”karya kamu itu jelek.”
Gua ditolak 3 kali oleh 2 penerbit sebelum Jomblo diterbitkan gagas. Dan gua bersyukur mereka menolak karena di saat penolakan itu mereka memberi input terhadap kelemahan yang selama ini gua gak sadari ada.
Coba kalahkan ego lu. Penulis itu sering mengalami apa yang dalam dunia statistik ’figure blind’. Setelah menghabiskan ratusan jam penulis menjadi subjektif dengan karyanya dan cenderung tidak mampu melihat kekurangan dalam karyanya. Makanya penting bagi lu untuk meminta orang lain untuk membaca dan memberikan lu kritik. Lebih baik dibantai selagi masih bentuk draft, offline ketimbang dibantai setelah jadi buku di media. Kalo draft udah jadi buku, that’s it. Malu banget untuk dirubah.
II.2.2. Feedback System
Sebaiknya lu punya feedback system sendiri. Maksudnya adalah sebuah mekanisme yang lu buat gimana caranya sehingga lu bisa menguji sejauh mana draft lu diterima di masyarakat. Untuk sharing aja, kalo gua:
1. Setelah selesai draft 1 gua cari 6-10 orang yang gua gak terlalu kenal dan gua minta mereka baca dan minta input mereka.
2. Input mereka ini akan menjadi bahan untuk gua kaji apakah gua ada ide dan gaya penulisan yang gua harus rubah. Perubahan ini menjadi draft 2.
3. Setelah selesai draft 2, gua lakukan lagi ke 6-10 orang yang berbeda. Ambil input dari mereka lagi. Dan lakukan hal yang sama dengan #2.
Gua melakukan ini secara konsisten dan serius karena gua percaya reaksi orang-orang yang gak gua kenal itu adalah cermin dari reaksi pasar jika buku itu terbit.Kritis terhadap diri sendiri juga penting. Sering-sering baca draftnya lagi dari awal dengan asumsi kita orang luar. Itu akan membantu objektifitas. In time setelah lu menulis 3-4 buku dengan cara ini lu akan sadar sendiri dan meng-kaji tulisan sendiri dengan lebih objektif.

III. Post-Production
Kalo lu pikir bahwa tugas lu nulis buku udah selesai di sini, salah. Justru 30% waktu total pembuatan buku jatuh di post-productionnya. Berikut adalah aspek-aspek yang lu harus kenali dalam post-production.
III.1. Supporting Elements
III.1.1. Cover
Pada kenyataannya, people do judge books by the covers. Di era di mana banyak buku yang bersaing untuk djual, peran cover mau gak mau jadi penting. Berikut adalah jenis-jenis cover yang gua klasifikasikan berdasarkan pengalaman gua.
1. Simbolik. Contoh yang sangat bagus untuk jenis ini adalah 5 CM-nya Donny Dirgantara. Hanya ada tulisan 5 CM dengan all black dan ada emboss tulisan-tulisan lain. Hitamnya ini cowok banget dan bikin penasaran. Bagi gua covernya bagus banget. Tapi bagi gua, isinya not my cup of tea. Contoh lain yang simbolik adalah Soulate-nya Jessica Huwae. Simple, putih dan hanya ada mouse sebagai vocal point dari gambar. Very nice.
2. Explicit. Gua dan Ninit sejauh ini cenderung explisit kalo milih cover. Ada gambar orang-orang karena kita pengen covernya ngerelate ke ceritanya. Bagi gua dari semua cover kita, yang paling bagus adalah cover testpack.
3. Permen. Warnanya extreme pink, extreme red. Cover-cover seperti ini lumayan menonjol disbanding buku-buku lain ketika mereka dipajang berbarengan.
III.1.2. Back Cover Comments
Back Cover comments (BCC) bukan faktor utama dalam orang memilih buku. Dan meski gua sendiri sampai sekarang masih pake, gua berencana agar buku gua berikutnya sudah gak make lagi. Kelemahan memakai BCC adalah: Orang yang lu minta BCC belum tentu ada waktu untuk baca buku lu karena dia sibuk. Lu juga gak bisa ngapa-ngapain karena posisi lu adalah minta ke dia. Lu juga gak mungkin marah-marah ke dia.
III.1.3. Synopsis
Jaman gua nulis buku, nerbitin buku tuh sedemikian susahnya sehingga ketika pada akhirnya Jomblo diterbitkan, gua mudah sekali bersaing dengan penulis-penulis lain. Tapi jaman sekarang udah beda. Pasar buku itu udah oversupplied. Dulu ketika orang punya uang 20000 dan pergi ke gramedia, dia gak punya banyak pilihan.

Jaman sekarang ketika dia pergi ke gramedia untuk beli buku fiksi, dia bingung. Ada berbagai judul untuk semua genre dan segmen umur. Di sini lah pentingnya sinopsis 1 paragraf di cover belakang. Sinopsis itu tidak akan membantu buku lu terjual. Sinopsis itu akan membantu orang memutuskan apakah dia akan membeli buku lu atau tidak.

III.2. Publishing
III.2.1. Penerbit yang benar
Industri buku dan outputnya yaitu dunia sastra, mengalami perubahan besar-besaran dari tahun 2004. Jaman dulu, masukin buku itu susahnya selangit. Gua masih mending ditolak 3 kali oleh 2 penerbit. Hilman Hariwijaya yang terpaut 10 tahun lebih tua dari gua, ditolak gak kurang dari 7 kali.

Intinya gini: sampai dengan tahun 2003, penerbit itu masih melihat buku sebagai medium penyaluran karya sastra. Mereka tidak melihat bahwa buku bisa juga sebagai medium hiburan seperti Jomblo dan Lupus. Setelah tahun 2003 baru lah mereka sepertinya sadar bahwa buku juga medium hiburan. Lantas semua penerbit beramai-ramai mencari naskah yang menghibur. Keluar label metropop, teenlit, de el el.

Sebenernya ini sah-sah aja, tapi imbasnya kebanyakan penerbit menurunkan standar kualitas teknik menulis dan penceritaan. Padahal seharusnya mereka tidak melakukan ini. Dari pendapat gua, seharusnya yang terjadi dalam industri buku fiksi adalah:
1. tetap menset standar yang tinggi untuk teknik penulisan
2. membuka mata lebih lebar untuk genre-genre hiburan.
Gara-gara ini tidak dilakukan, sekarang banyak sekali buku yang beredar. Dan dari semua yang gua pelajari, gua bisa bilang banyak juga dari buku yang beredar itu sub-standard dalam aspek yang berbeda-beda. Nah di sini gua delete beberapa contoh yang gua temukan karena gua mendapati ada orang-orang yang merasa, kelemahan-kelemahan yang gua spot itu bukan kelemahan. Ya sudah silahkan percaya sama masing-masing.
Yang jelas, penerbit tidak ingin kehilangan kesempatan memiliki lupus kedua sehingga mereka tidak memperhatikan kualitas-kualitas yang selama ini mereka junjung. Padahal kalo kita liat lupus dulu, meski pun konyol, dia tetap memakai teknik menulis yang descent. Dulu penulis harus sabar editor baca naskah 3 bulan. Sekarang, kasus paling parah yang gua pernah tahu adalah masukin siang, sorenya di-approve.
Makanya, berikut adalah hal-hal yang harus dicermati dari penerbit:
1. Jika approvalnya sangat cepat (1 hari), maka lu harus hati-hati. Logisnya, penerbit menerima puluhan jika tidak belasan naskah tiap hari. Kecil kemungkinan naskah lu bisa dibaca dalam 1 hari. Kalo responnya secepat ini, takutnya mereka gak care akan karya lu, mereka cuman gak pengen kehilangan kesempatan aja.
2. Dan lu harus selalu cari penerbit yang care pada penulisnya. Jangan masukin karya fiksi lu ke penerbit buku pertanian. Gak cocok. Lihat baik-baik genre lu dan genre dari penerbit lu.
3. Nisha Rahmanti yang pernah nulis Cintapuccino pernah bilang sesuatu yang valid : milih penerbit itu kayak milih pacar. Lu mesti cocok sama mereka. Ada beberapa penerbit yang sangat selektif dengan penulis-penulisnya sehingga penulis yang bernaung di bawah mereka tidak banyak. Tapi penulis-penulis yang mereka ambil sangat mereka sayang. Promonya didukung abis-abisan. Ada penerbit yang penulisnya sejuta umat. Tapi ketika lu telfon dan tanya bagaimana perkembangan mereka gak nanggep.
III. 2.2. Cara masukin buku ke penerbit
Gua sering mendapati penulis baru kirim draft ke gua minta kritik atau kirim draft ke penerbit tapi presentasinya gak representatif. Kita cuman dikasih amplop isinya draft dan dijepit. Daftar isi gak ada. Sinopsis gak ada. Keterangan penulis gak ada. Jaman sekarang, tiap penerbit itu menerima ratusan draft per bulan. Penerbit harus men-thin slice setiap draft untuk mulai membaca. Maksudnya thin slice, dalam waktu yang singkat dia harus menentukan mana yang harus dibaca duluan. Mereka butuh bantuan elu untuk memudahkan mereka membuat keputusan itu. Berikut adalah hal-hal yang sangat esensial kalo draft lu mau cepet dibaca:
1. Draft dijilid rapih. Ini agar halamannya gak lepas-lepas.
2. Kasih 1 halaman sinopsis menjelaskan isi cerita lu. Ini pentig banget agar dalam waktu singkat penerbit bisa memutuskan apakah draft lu lebih layak dibaca ketimbang ratusan draft lain di meja mereka.
3. Kasih ½ halaman A4 yang tentang mengapa menurut lu buku lu layak dibaca dan
diterbitkan.
4. Di dalam draftnya, pake halaman. Ini aja banyak yang melakukannya.
5. Di dalam draftnya, pake daftar isi. Ini akan membantu penerbit menerka flow dari
cerita dalam buku lu.
6. Kalo bisa dateng ke penerbitnya dan kasih langsung ke editor. Kalo ini sih gua aja.
Gua lebih suka mereka ketemu gua in person, agar lebih meyakinkan. Kalo beda
kota, kasih aja lewat pos atau lewat email, tapi 5 poin di atas harus ada.
III.3. Marketing
Gue menemukan banyak penulis yang ketika bukunya udah dicetak dia bilang
’Yang penting gua nulis buku’

Ini gua bilang sebagai mental seniman tapi gak bisa jualan. Trus, mereka bilang

‘Oh sori, buku gua karya seni, gak komersil kayak lo. (bikin darah tinggi gak sih?) Yang penting gua nyumbang sesuatu ke khazanah sastra Indonesia.’

Nulis buku kalo gak dibaca juga mereka gak akan dapet manfaatnya kali. Ngapain kita bikin karya seni tapi gak ada yang baca? Karya seni kita gak akan ada gunanya kalo gak ada yang baca. Jujur gua punya prinsip bahwa penulis yang baik itu adalah penulis yang bukunya dibaca banyak orang dan bukan untuk alasan komersil. Rantainya:
Buku kita punya nilai jual -> buku kita dibeli -> buku kita dibaca -> buku kita dikritik -> kita sebagai penulis, menerima kritik itu dan menjadi penulis yang lebih baik lagi.
Ada lagi penerbit yang bilang

‘ah penerbit X mah gencar promosi doang, isinya gak nyastra. Kita dong nerbitin karya sastra.’

Ini perkataan yang bener-bener pernah keluar dalam persaingan penerbit. Masalahnya, kalo kita nerbitin karya sastra, kita punya tanggung jawab lebih untuk masarin dengan lebih baik kan? Bukan kah karya sastra akan mencerdaskan kehidupan bangsa? Ini mereka gak lakukan.

Memang benar bahwa buku adalah karya seni tapi ketika karya seni itu dicetak 3000 kopi, karya seni itu berubah jadi prioduk massal yang mana kalo gak terjual, penulis akan rugi (baca rantai atas). Jadinya otak komersil kita juga mesti jalan. Otak yang komersil tidak melambangkan buku yang komersil juga kok. Otak yang komersil untuk karya tulis yang berseni akan menguntungkan semua pihak pembaca, penerbit dan diri kita sendiri untuk menjadi penulis yang lebih baik. Intinya: marketing itu penting dan mendukung kita menjadi penulis yang lebih baik.
III.3.1. Market your book
Bikin marketing plan untuk promo. Gak usah yang jelimet. Yang simple-simple aja tapi ngena. Biasanya setiap penerbit punya departemen promo dan ada baiknya lu cuti berapa hari dan diskusi dengan mereka mau promo seperti apa.

Berikut adalah hal-hal yang lu bisa lakukan untuk promo buku lu. Yang di bawah ini juga tanggung jawab departemen promo lu. Jadi jangan takut melakukan ini sendirian. Kalo penerbit lu bagus, departemen promonya biasanya ngerti ini:
1. temu wicara / road show di kampus-kampus
2. sediakan 50 kopi dan kirim ke media massa terkait untuk direview. Tapi ini gambling juga. Kalo buku lu jelek, lu dibantai.
3. targetin beberapa radio dan lakukan talk show di sana. Sesuaikan segmen radionya
dengan segmen buku lu. Kalo bikin chicklit gak perlu ke radio dangdut.
4. Bikin blog.
5. Gabung ke milis-milis, perkenalkan diri lu dan buku lu.

I know seklias baca di atas mungkin risih ya ih kok jualan. Dalam kasus gua, gua 3 tahun di marketing jadi gua sih ngerti kenapa sebuah barang itu mesti dipasarkan. Kalo kalian gak mau melakukan ini gak papa. It will not kill you if you don't do it.
Ya udah. Gitu aja. Semoga berhasil dengan buku pertama lu.
Semoga REVISI DARI posting ini membantu.
Rgds, Adhitya

kelas menulis Di rumah Dunia

KELAS MENULIS RUMAH DUNIA
Oleh Gola Gong

Seorang penulis harus memiliki kerendahan hati, dan seorang calon penulis harus belajar memiliki sikap ini. Namun sikap yang fatal bagi sang calon penulis adalah sikap cepat putus asa. (Ismail Marahimin, Menulis Secara Populer, Pustaka Jaya, 1994)
Setiap 3 bulan sekali, di Rumah Dunia dibuka “kelas menulis”. Sudah berlangsung sekak Januari 2003. Pada 9 Januari 2005, angkatan kelima mulai berlangsung. Januari 2007, tidak terasa, kelas menuils angkatan kesembilan digulirkan. Beruntunglah peserta kelas angkatan kesembilan, karena pemateri tamunya; Arswendo Atmowilo, Naning Pranoto, dan Sides Sudaryato. Agustus nanti, seusai ”Ode Kampung 2: Temu Komunitas Sastra se-Nusantara”, angkatan kesepuluh dibuka.

PEMATERI
Tapi, semua angkatan memiliki keberuntungannya sendiri. Pemberi materinya selain saya yang tetap, juga diselingi Toto ST Radik (puisi), Firman Venayaksa (Presiden Rumah Dunia sejak 2006) dan dari pihak luar; seperti Prana Badrun, dosen Sastra dan Bahasa Matlaul Anwar, Pandeglang tata bahasa), Iman Nur Rosyadi (jurnalistik/Sinar Harapan), Abdul Malik (jurnalistik/Redpel Radar Banten), Wan Anwar (dosen Sastra Untirta Serang), bahkan untuk memompa semangat mereka dalam menulis, saya mendatangkan penulis sungguhan dan penerbit bukunya.
Pada 2003 – 2004, para penulis yang sudah datang memberikan stimulans lewat proses kreatifnya adalah Helvy Tiana Rossa, Ahmadun Yosi Herfanda, Fahri Asiza, Pipit Senja, Ali Muakhir, Chavcay Saefillah, Hudan Hidayat, Asma Nadia, Hilman Lupus, Boim Lebon, dan Gusur. Tahun 2006 giliran Akmal Naesral Baser, Soni Farid Maulana, Jamal D. Rahman, Gus tf sakai, Kurnia Efendi, Nanang Supriyadi, Sugiyanto, Fira Basuki, FX Rudi Gunawan, dan Halim HD serta Herry Latief pun sempat mampir di tahun 2005. Di level penerbit ada Dar! Mizan, Gema Insani Press, Gramedia Pustaka Utama, Akoer, Ufuk, Senayan Abadi, Cakrawala, Gagas Media. dan Zikrul Hakim.
Dalam perjalanannya, ini sangat luar biasa. Pada angkatan ketiga, sudah bisa saya sisipkan di setiap pertemuan, testimoni dari para alumni kelas menulis sebelumnya, yang tulisan fiksi (cerpen) dan nonfiksinya (jurnalistik) dimuat di dua koran lokal; Radar Banten dan Fajar Banten, serta beberapa media masa nasional (majalah Aneka Yess, Annida, dan Mata Baca). Peserta angkatan pertama dan ketiga sudah berhasil membuahkan karya; seperti Qizink La Avia (Gerimis Terakhir, Dar! Mizan, 2004). Qizink sekaragn pengasuh rubrik sastra dan budaya di Radar Banten. Sebelumnya, Najwa termasuk di dalam 7 orang peserta kelas menulis angkatan pertama, yang bergabung dengan saya, Toto ST Radik, dan Tias Tatanka di antoloji cerpen “Kacamata Sidik” (PT. Senayan Abadi, 2004). Kini Ibnu Adam Aviciena (Bidadariku Di mana?, Beranda Hikmah) dan Firman Venayaksa (Sayap-sayap Ababil, Mandar Utama Tiga) menyusul Qizink dengan novelnya.. Aji Setiakarya – angkatan ketiga – sudah menerbikan kumcer ”Padi Memerah”. Dia sekarang jadi PJ Sastra dan Jurnalistik Rumah Dunia. Aji sesekali memberi materi juga di kelas menulis, walaupun tugas utamanya mengajari anak-anak kecil mengarang, membantu Tias Tatanka di ”wisata tulis”. Endang Rukmana - peraih Unicef Award 2004 kini kuliah di Fakultas Sejarah UI - lebih luar biasa lagi. Peserta kelas menulis angkatan pertama ini sudah menelorkan 5 novel di GagasMedia. Minggu 17 Juni 2007 lalu, Endang datagn memberi motivasi ke peserta kelas menulis angkatan kesembilan.

KETRAMPILAN BERBAHASA
Kelas Menulis Rumah Dunia awalnya hanya diperuntukan bagi pelajar dan mahasiswa agar bisa mandiri setelah jadi sarjana nanti. Tapi sejak 2005, guru, karyawan, bahkan pedagang pun ikut serta. Saya tidak tega melarang mereka yang ingin belajar menulis. Di kelas menulis ini, saya memberikan wawasan, bahwa menulis (wartawan atau pengarang) bisa dijadikan profesi terhormat, layak, dan cerah. Dari kelas menulis ini kelak akan muncul satu generasi baru di Banten yang cerdas dan kritis serta sanggup menuangkan gagasan-gagasannya lewat tulisan. Tapi, pesertanya terbatas. Setiap angkatan hanya berkisar 25 sampai 30 orang. Setiap calon peserta harus memberikan (contoh) karyanya; fiksi (cerpen/puisi) atau laporan jurnalistik (feature/news/essay). Dari contoh karya ini, calon peserta disaring. Bagi yang lolos, menunggu persaratan lain, yaitu harus ikhlas menyumbangkan sebuah buku kesayangannya ke Rumah Dunia. Pendidikannya sendiri tidak dipungut bayaran alias gratis.
Nah, saat kelas menulis dimulai, pada pertemuan pertama, para peserta harus maju satu persatu, memperkenalkan dirinya; mulai dari nama pemberian orang tua, tanggal lahir, motivasi ikut kelas menulis, buku-buku apa saja yang pernah dibaca, tertarik ke sastra atau jurnalistik, ingin jadi wartawan atau pengarang. Juga yang terpenting, mereka harus menyebutkan nama pena serta menjelaskan filosofinya. Dengan cara seperti ini, saya mencoba mengamati atau mengindentifikasi wawasan, emosi, serta pengelolaan bahasa atau pemilihan kata si peserta saat berbicara. Ismail Marahimin dalam “Menulis Secara Populer” (Pustaka Jaya, 1999) menulis, bahwa ada ketrampilan berbahasa yang perlu dikuasai untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain; yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan cara seperti ini, kelak selain mahir menulis, mereka juga mahir berbicara di depan orang banyak.
Saya juga menyarankan ke mereka, jangan buru-buru kepingin disebut penulis. Maksud saya, penulis dalam arti sesunguhnya. Berkarya, mengirimkan karyanya ke majalah, koran, dan penerbit, lalu berharap diterbitkan dan dapat honor. Kadang, suka ada para calon penulis yang langsung duduk di depan komputer. Menulis, tapi tidak jadi-jadi. Di Rumah Dunia, yang pertama saya sarankan, mereka banyak membaca karya fiksi orang lain dan terus mengisi jiwa mereka dengan banyak mengamati sekeliling supaya bisa peka (ranah afektif). Isi ceruk jiwa kita. Ismail Marahimin menulis lagi, bahwa hubungan membaca dengan menuilis cukup erat. Untuk dapat menulis, kita harus banyak membaca. Membaca adalah sarana utama menuju ke ketrampilan menulis. Membaca memberikan berbagai-baga ‘tenaga dalam’ (versi saya referensi) yang sangat dibutuhkan oleh penulis. Seperti dalam film-film silat, pesilat yang memounya tenga dalam tampak lebih hebat dari pesilat yang kosong. Ibarat mobil, jika tidak ada bensinnya, tentu mogok. Begitu juga dengan penulis, jika tidak suka membaca, berarti jiwanya akan kosong. Itu akan tercermin dari karya-karyanya yang tidak berjiwa.
Pertemuan kedua, selama sebulan, peserta akan diberikan marteri juralistik. Terutama unsur berita (5W + 1H; where, when, what, who, why, dan how). Metode ini sangat cocok untuk diaplikasikan ke dalam pernulisan fiksi. Misalnya saja unsur “where”; misalnya digunung, di rumah, di pasar. Semua peserta harus mencoba menuliskan imajinasinya tentang tempat-tempat tersebut. Dalam wilayah fiksi, ini dikategorikan setting atau latar tempat. Unsur “who”, peserta bisa menuliskan tentang karakter tokoh apa dan siapa. Setiap pertemuan, selain dikenalkan pada teori, selebihnya adalah praktek, yaitu menulis atau tepatnya mengarang.

PRAKTEK
Di bulan kedua, saya mengenalkan fiksi (prosa/puisi) selama 4 kali pertemuan. Kelas Menulis, tentu pesertanya harus terus berlatih menulis untuk mempraktekkannya. Ini tentu bertahap. Teori saja tidak cukup. Mengutip konsep Dave Meier; accelerated learning, belajar dengan mengerjakan pekerjaan itu sendiri. Di setiap pertemuan, saya menyuruh mereka menulis tentang berita, feature, sinopsis cerita pendek/novel, setting (waktu dan tempat), karakter, dialog. Teknik menulisnya, saya ajarkan yang konvensioal dulu. Lewat cerpen realis. Plotnya bergerak atau linear, belum banyak plot. Untuk plot dengan alur mundur atau flashback, belum dulu. Setiap minggu, mereka diberi pekerjaan rumah atau praktek menulis dan mengarang. Bisa laporan jurnalistik, hardnews, featrure (berita dan profil) dan cerpen. Pada minggu berikutnya, pekerjaan rumah itu harus dikumpulkan dan didiskusikan.
Biasanya praktek menulis ini bersinergi dengan Klab Diskusi Rumah Dunia, yang hampir setiap Sabtu mengadakan diskusi; pendidikan, budaya, launching novel, bedah buku, proses kreatif penulis, dan debat terbuka calon pemimpin di Banten. Pertunjukan seni/film pun jadi bahan tulisan mereka. Hajatan seperti “Ode Kampung 2: Temu Komunitas Sastra se-Nusantar” adalah ajang mereka menimba ilmu dari luar Banten. Para penulis seperti Ahmadun, Saut Situmorang, Acep Zam Zam Noor, Binhad Nurrohmat, Kurnia Efendi, Maman S Mahayana, Wowok Hesti Prabowo, Johi Ariadinata, dan masih banyak lagi. Para peserta kelas mneulis harus memiliki kesabaran untuk jadi penulis. Saya memberi tahu mereka, dalam rentang waktu dua tahun, harus terus berlatih menulis, menulis, dan menulis. Di sela-sela itu, kalau sudah ada yang bagus, saya menyarankan mengirimkannya ke media masa. Jadi, saya tidak menyarankan pada para calon penulis, yang ujuk-ujuk duduk di depan komputer, langsung menulis dan mengiimkannya ke media massa . Harus ada proses revisi, dibacakan ke teman-temannya. Harus mengisi jiwa kita dengan banyak membaca dan bepergian atau mengamati sekeliling.
Kepada alumni kelas pertama, saya sering menyuruh mereka pergi berpetualang, keluar dari rumah untuk melihat dan merasakan banyak hal. Itu sangat perlu agar tubuh dan jiwa kita tertempa serta tidak kosong melompong seperti “tong kosong nyaring bunyinya”. Berpikir (kognitif) terus lewat membaca tidak baik juga. Harus ada ranah afekif (merasakan) dengan cara bepergian ke tempat-tempat yang baru, tapi tidak mesti jauh. Dengan begitu, calon penulis seperti orang yang sedang berguru di padepokan atau shaolin temple. Mereka berlatih keras dengan mengisi tenaga dalamnya, sehingga ketika duduk di depan komputer, semua (para calon penulis) tahu apa yang akan dituliskannya, termasuk penggunaan tanda bacanya, bagaimana menggunakan tanda baca titik, koma, tanda seru, tanda tanya, dll. Jack Lamota alias Lawang Bagja, di awal 2007, kini pergi jauh jadi TKI di Ruwais, Dubai. Belum genap setengah tahun, cerpen-cerpennya yang beraromakan pemderitaan tnaga kerja Indonesia di Timur Tengah bermunculan. Satu cerpennya sudah dimuat Radar Banten. Saya sedang menyemangati Lawang untuk membuat kumcer tentang tnaga kerja Indonmesia. Ibnu Adam Aviciena sejak Februari 2007 kuliah S2 di Leiden, Belanda. ”Saya sedang menulis fiksi berlatarkan Belanda,” kata Ibnu lewat email.

KOMITMEN
Saya sudah berkomitmen untuk terus mendampingi mereka. Jika saya melihat ada karya dari peserta kelas menulis yang bagus tapi perlu direvisi, saya langsung merapatkan diri saya ke dia. Pokoknya, harus turun langsung. Tias juga membntu membaci cerpej-cerpn peserta kelas menulis. Bahkan saya membikinkan kategori ”Kelas Menulis” di situs www.rumahdunia.net. Itu semua stimulus yang saya bangun di kelas menulis; teori dan praktek terus beriringan.
Tak jarang, saya membantu merevisi karya-karya mereka. Dengan cara itu, mereka bisa mengenali di mana letak kekurangannya. Biasanya saya bilang, "Sekarang kamu kursus privat, deh, dengan saya!" Saya sediain waktu Sabtu dan Minggu, di sela-sela waktu luang. Bisa pagi, kapan saja. Kalau lelaki, saya suruh tidur di RD. Kadang pagi-pagi, belum mandi juga, saya sudah stand by di RD. Saya memberi masukan, bahkan, langsung membuka komputer. Karyanya saya baca, saya koreksi. Saya kasih saran, sebaiknya begini, begitu. Learning by doing. atau try and error. “Minggu depan revisiannya harus jadi!” kata saya. Para relawan Rumah Dunia yang bermarkas di lantai dua rumha saya; Langlang Randhawa, Rimba Alangalang, Muhzen Den, Reinhard Renn, Awi, dan Roy mendapatkan fasilitas ini.

PRESTASI
Untuk kelas menulis angkatan pertama, Qizink, Ibnu, Wangsa, Endang, Aad, Ade Jahran, Najwa Fadia. ternyata hanya butuh waktu setahun. Mereka sudah mahir menulis essay, cerpen, dan novel. Qizink kini wartawan Radar Banten. Aji Setiakarya coordinator suplemen “Radr Yunior” di Radar Banten. Endang Rukmana menyabet “Unicef Award 2004” atas essaynya yang menyabet juara pertama lomba essay UNICEF dengan tema anak Indonesia . Aad masuk di 20 besarnya. Kemudian pada IKAPI Book Fair 2004, essay Aad tentang pentingnya membaca menggondol juara pertama. Aad pada 2006 juga menyabet penulisan esay tentang tentang pemuda yang diadakan Kantor Menpora. Tercatat juga Yuanita Utami, peserta angkatan kelima, menruskan jejak Endang Rukmana. Yuanita menyabet ”Unicer Aaward 2006” dan Alfy Syahrani, angkatan ketujuh, menggondol penulisan essay tentang perpustakaan yang diselenggaran Perpusnas.
Di kelas menulis angkatan ketiga juga muncul 4 nama; RG Kedungkaban, Aji Setiakarya, dan Rimba Alangalang. Sedangkan di angkatan kelima hanya satu nama yang muncul; Asri Surtayati, pelajar SMA Kavling Cilegong, yang cerpen-cerpennya muncul di majalah Aneka Yess!

PESERTA ISTIMEWA
Kadang muncul rasa lelah di dalam diri saya atau bosan mendera. Atau terganggu pertanyaan, ”Bermanfaatkan kelas menulis Rumah Dunia ini?” Biasanya itu saya obati dengan menerima undangan sebagai pembicara di tempat lain. Dengan cara begitu, selalu ada suasana baru. Atau semagnat itu muncul lagi ketika datang peserta musiman dari luar Banten; Jakarta, Bandung, Depok, Subang. Mereka membaca informasi ini dari koran atau majalah yang memuat kegiatan Rumah Dunia.
Sepertyi ditahun 2005. Sebuah keluarga dari Palembang datang ke Rumah Dunia. Mereka menitipkan putrinya; Wanja Al-Munawar, untuk ikut di kelas menulis angkatan kelima. Wanja cuti kuliah dari Universitas Sriwijaya selama satu semester. Seusai mengikuti kelas, dia juga masih sempat bolak-balik ke Rumah Dunia untuk iukt writing camp, kegiatan puncak dari kelas menulis.
Selama 9 angkatan ini, writing camp baru dua kali diadakan. Saya mengenalkan langsung praktek mnentukan point of view (sudut pandang). Pematerinya selain saya, Firman Venayaksa, Toto Sradik, juga pernah mengundang Irfan Hidayatullah pada 2006 lalu. Dengan writing camp, saya berharp para peserta kelas mneulis bisa mengeluarkan kemampuan panca indranya untuk membaca alam, karena disanalah ide itu berada.
Juga ketika seorang penjual roti bernama Shodik (sekarang memakai nama pena ’Reinhad Renn’) datang ke Rumah Dunia dari Tangerang dengan mengayuh sepeda di akhir pekan. ”Saya ingin belajar menulis,” katanya bermandikan keringat. Atau di hari lain, ada seorang perempuan anak pengusaha di Banten, yang ingin menumpahkan ketertekananbatinnya dengan bwlajar menulis. Juga para guru yang minta diajari menulis. Tapi jauh melebihi itu semua, ketika tiba-tiba saja putri pertamaku; Nabila Nurkhalishah Harris menyelesaikan novel pertamanya; Beautiful Days, serta diterbitkan oleh Dar! Mizan pada Februari 2007 lalu. Jikas sudah begini, saya tidak akan menghentikan kelas menulis Rumah Dunia. Jika saya sakit atau Allah memanggil saya untuk pulang, saya yakin, generasi Firman Venayaksa serta para alumni kelas menulis akan mneruskannya, karena ”sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain”.

OPERASIONAL
Perlakuan saya pada mereka yang mahir menulis, sambil berjalan mulai memperkenalkan teknik penulisan lain serta target pembaca yang harus dibidik, sekaligus mempraktekkannya. Saya langsung mengajak mereka berlatih dengan tema-tema yang beragam. Mulai dari tema cinta, ktitik sosial, politik, dan human interest. Teknik penulisannya pun mulai dari realis, surealis, bahkan absurd.. Jika ada yang bagus tapi masih bolong-bolong, langsung saya tangani. Nongkrong bareng di depan komputer. Alhamdulillah. Hingga tahun 2007 kelas menulis Rumah Dunia sudah meluncurkan antologi cerpen:
1. Kacamata Sidik (kritik sosial politik, Senayan Abadi, 2004)
2. Harga Sebuah Hati (human interest, Akoer, 2005)
3. Padi Memerah (kritik sosial, MU3, 2005)
4. Masih Ada Cinta di Senja Itu (Senayan Abadi, 2005)
5. Dongeng Sebelum Tidur (Gramedia, 2006)
6. Pelangi Jatuh di Kotaku (kritik sosial politik, 3 Serangkai, 2008)
Saya juga mengenalkan kepada mereka, agar memahami target pembaca yang akan dibidik. Ini memang amat melelahkan. Tapi, kalau ingin membantu proses regenerasi memang harus begitu. Pada awal 2005 (Januari) nanti, saya sudah mengajak Qizink dan Ibnu menjadi editor awal untuk membacai cerpen-cerpen yang masuk dari peserta kelas menulis. Jadi, saya tidak akan menerima cerpen mentah. Mereka dulu yang nyeleksi cerpen itu, terutama dari pengunaan tanda bacanya. Proses revisi ada di mereka. Setelah 90%, baru ke saya untuk finishing touch.
Begitulah yang saya maksud dengan harus sabar kalau ingin jadi penulis. Ada proses dan prosedur yang harus dilewati. Dua tahun waktu yang ideal. Tapi, setahun bisalah jika mereka bekerja keras; menulis, revisi, menghadiri diskusi, launching dan bedah novel, dan tentu saja membaca. Dengan melewati itu, percayalah, kelak akan muncul para penulis yang konsisten dan tahan lama, bukan instan atau karbitan.
Produk-produk dari “Kelas Menulis Rumah Dunia” itu tak bisa dilepaskan dari biaya operasional atau uang kas Rumah Dunia. Selain dari zakat perseorangan, dari produk-produk antoloji cerpen dan novel perorangan itulah, kas Rumah Dunia kecipratan rezeki. Terutama untuk dana Program 2005. Jika sebuah antoloji cerpen diterbitkan, 50% royalti/honorarium penulis disumbangkan ke Rumah Dunia. Sedangkan untuk novel perorangan, cukup 25% saja. Pada tutup tahun ini, alhamdulillah, kami menyisihkan sedikit rupiah dan berhasil menyicil motor (dinas Rumah Dunia) untuk operasional. Kami mesti menyicil selama 18 bulan. Insya Allah, akan teratasi. Dana “Program 2005 Rumah Dunia” ini tidak dipakai untuk biaya makan para volunteer, tapi murni untuk kegiatan, yang difokuskan pada penembangan bakat anak-anak (siswa), pemuda (siswa, pelajar, dan mahasiswa) Banten, yang ingin maju tapi tertindas dan terpinggirkan secara ekonomi.

CINTA
Percayalah, membangun Banten itu tidak perlu dengan sok tau ikut-ikutan mengurusi masyarakat dengan cara merasa berhak mengambil dana APBD. Biarlah itu urusan para birokrat dan pejabat di pemerintahan. Mereka ‘ kan kita bayar untuk mengurusi kita. Kami melakukan kegiatan dalam bentuk partisipasi masyarakat dengan rasa cinta dan keikhlasan untuk berbagi.
Tulisan John Gerassi tentang Che Guevara di biografi “Che Guevara, Revolusi Rakyat” (Teplok) perlu disimak, “Cinta tidak mungkin ada diantara tuan dan budak. Bahwa hubungan tuan-budak harus dihancurkan. Che tahu, bahwa sekali dihancurkan, hubungan yang baru – cinta -- tidak tumbuh dengan sendiirnya. Cinta tidak keluar dari perbuatan dari atas. Ia datang dari akar, rakyat, bekerja di dalamnya dari bawah. Cinta bukanlah kilatan cahaya atau sebuah peristiwa mistik yang berlangsung cepat. Ia adalah sebuah upaya. Ia merupakan sesuatu yang bisa dibangun manusia dengan cara bekerja padanya. Sebelum masyarakat bisa bekerja pada cinta mereka dan merasa senang dengan kegembiraan orang lain, merasa puas dengan memuaskan orang lain, mereka terlebih dulu harus mampu berkomunikasi dengan maksud mereka sederajat. Orang kaya yang “mencintai” orang miskin adalah penawaran belaskasihan bukan cinta. Dia yang ingin menjadi generasi cinta terlebih dahulu harus menghancurkan generasi benci, yang didukung oleh orang-orang serakah, orang yang serba tahu dan oleh para majikan.”
Nah, Rumah Dunia dibangun berdasarkan cinta dari para volunteernya, dari orang-orang di sekitarnya, dari rakyat yang tertindas dan yang terpinggirkan. Kami bekerja pada “cinta” itu sendiri. Kami bahkan memposisikan diri sebagai pelayan bagi rakyat. Tapi, kami tidak mengatasnamakan siapapun, kecuali pada sebuah generasi baru yang kritis, cerdas, dan siap melawan kebatilan yang terjadi di Banten lewat pena! Maka, orang-orang yang selalu menggerogoti kekayaan Banten untuk dirinya dan kepentingan sekelompok orang, bersiap-siaplah menghadapi pena kami!
Rumah Dunia, Desember 2004 – 27 Juni 2007
www.rumahdunia.net
www.keluargapengarang.wordpress.com
www.golagong.com

tips menulis cerita pendek...

Kiat/Ilmu Penulisan
Apakah Cerita Pendek Itu?
Penulis: Rinurbad

Mengarang cerita pendek susah-susah mudah. Sebagai langkah awal, ketahuilah elemen-elemen penting dalam sebuah cerita pendek seperti yang dikemukakan pada situs Webcom.com.

1. Jenis kelamin tokoh utama: pria atau wanita

2. Pekerjaan atau profesi tokoh utama: unsur ini menjadi dasar konsep kehidupan sehari-harinya, pertimbangannya, tingkat pendapatannya, bakatnya, dan seterusnya.

3. Karakter idola: pola karakteristik yang muncul dalam kelompok kejiwaan manusia, dan terulang dengan sendirinya secara eksternal" (dari Inner Work oleh Robert A. Johnson) tipe-tipe dalam kisah boleh universal atau tidak, mulai dari Robin Hood sampai Paus.

4. Simbol atau Objek Kunci: sebilah pisau membuat Anda berpikir tentang apa? Bagaimana dengan sikat rambut? Objek-objek dalam keseharian ini dapat digunakan untuk merancang tema cerita atau menjadi kunci plot cerita.

5. Setting: waktu dan/atau tempat kisah ini berlangsung.

6. Tema: isu psikologis/spiritual/moral untuk tokoh protagonis lebih besar dari kekuatan tokoh jahatnya.

Cerita Anda tidak perlu selalu mengandung unsur-unsur ini. Cerita Anda mungkin berkembang dengan sendirinya pada bagian-bagian tertentu dan menambahkan detil-detil menarik. Atau mungkin Anda mempunyai gambaran tokoh yang lebih baik, disertai plot yang masuk akal, tetapi ingin unsur-unsur ini lebih berarti tanpa mengetahui apa yang harus Anda lakukan. Dalam beberapa kasus, unsur yang dipilih secara acak menghasilkan alur pikiran yang lebih sesuai untuk penulis, tetapi jangan ragu-ragu membuang satu atau dua unsur yang Anda anggap tidak relevan!



Sedangkan situs www.shortstorygroup.com memberikan keterangan mengenai karakter cerita pendek untuk memperjelas gambaran dan arah penulisan kita, yaitu sebagai berikut:

1. Memiliki tema yang jelas.

2. Tentang apa cerita ini? Pertanyaan ini mempertanyakan pesan atau pernyataan di balik kata-kata yang ada. Lakukan dengan benar dan kisah Anda akan terkenang lama dalam benak pembaca.

3. Cerita pendek yang efektif mencakup satu periode yang singkat.

4. Mungkin hanya satu kejadian dalam hidup si tokoh utama, dan kejadian itu yang menghiasi tema.

5. Tokohnya sedikit.
Setiap tokoh baru membawa dimensi baru pada cerita yang Anda tulis, karena itu pastikan beberapa tokoh saja cukup untuk mendukung tema yang ada.

6. Pastikan setiap kata berguna.
Tidak ada tempat untuk perpenjangan kalimat di dalam cerita pendek. Setiap kata yang tidak mendukung gagasan harus dibuang.

7. Fokus.
Cerita yang baik mengikuti satu jalur cerita. Apa topik cerita Anda? Anda harus membuat jalur yang singkat dan sempit, kalau tidak cerita Anda akan berakhir dalam bentuk awal sebuah novel atau setumpuk ide yang tidak menghasilkan apa-apa.

Sebagian tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Lembar Klab Baca Pramoedya, terbit di Bandung.