Sabtu, 11 Oktober 2008

catatan seorang pengarang (Hamka)...

Kerap kali datang pertanyaan kepada Bung Haji : "Bagaimana jalannya
supaya dapat menjadi pengarang seperti dia". Demikian juga kepada
pengarang yang lain. Sebab rupanya banyak pula orang ingin hendak
menjadi pengarang. Ketika hal ini ditanyakan kepadanya,

dia telah menjawab :
"Sebetulnya saya sendiri tidak dapat menunjukkan suatu macam teori
atau sistem, bagaimana cara saya mengarang. Apakah dahulunya saya
belajar atau tidak. Memang, dengan kekuatan membaca tulisan orang
lain, timbul pula dorongan jiwa kita untuk turut mengarang. Tetapi
kita bukan kita kalah hanya menjadi pak Turut ! Setiap pengarang
adalah mempunyai langgam dan gaya bahasa sendiri. Langgam (style) Haji
A. Salim sebagai pengarang, berbeda dengan langgam Abdul Muis, dan
saya berbeda dengan St. Takdir Ali Syahbana. Pengarang yang berdiri
sendiri ialah menempuh jalan sendiri.

Saya mulanya juga tidak tahu, apakah saya ini sudah dilahirkan untuk
jadi pengarang. Kalau dikatakan bahwa saya dilahirkan untuk menjadi
ulama itu adalah lebih tepat. Dikiri kanan saya dalam lingkungan saya,
kitab-kitab ayah saya yang tersusun dalam alamari, yang berderet-dert
di dinding, perdebatan yang hampir setiap hari terjadi di rumah atau
di surau beliau tentang perkara-perkara hukum agama, semestinya
membentuk saya menjadi ulama saja, bukan ulama yang disertai menjadi
pengarang. Kalau saya mengarang juga tentulah urusan keagamaan
semata-mata yang akan saya karangkan. Tetapi meskipun yang
menggelorakan karangan keluar itulah jiwa keIslaman, sampai batas umur
saya 45 tahun, orang lebih suka menamai saya seorang pengarang dan
seorang ulama juga. Dan saya sendiri pun lebih suka dikatakan
pengarang daripada dikatakan ulama ! Tetapi setelah lepas usia 45
tahun, tambah keatas umur saya bertambah condonglah harapan orang agar
saya jadi ulama dan karangan saya yang keluar
selepas usia 45 tahun, dengan saya sadari atau tidak lebih condonglah
kepada soal-soal agama Islam dengan falsafahnya.

Teringatlah saya seketika saya memandui Prof. Contwel Smith dari Mc
Gill University menjelajahi Sumatera Barat tahun 1955. Kami termenung
terpesona melihat keindahan Danau Maninjau dari embun pagi (Padang
Gelanggang). Setelah termenung lama, saya pun bertanya :

Bagaimana kesan Tuan melihat keindahan Danau Maninjau ini, sesudah
kemaren Tuan saya bawa melihat keindahan Danau Singkarak ?

Prof. Smith menjawab sesudah mengeluh panjang dari sangat terpesona
membanding kedua danau itu. Lalu beliau menjawab : Danau Singkarak
indah dan gembira laksana terkejut kemalu-maluan. Begitulah perasaan
kita bila merasakan hembusan anginnya. Tetapi Maninjau ? Maninjau
meninggalkan kesan yang dalam sekali di hati kita. Bertambah lama kita
duduk bertambah kita dipukaunya. Dia adalah laksana seorang tua yang
banyak menempuh pahit getir hidup. Dia menyuruh kita berhenti sebentar
buat mendengar fatwa yang akan diberikannya. Danau Maninjau adalah
laksana seorang Failasof. Kepribadian Danau Maninjau itu tuan Hamka
sadari atau tidak, melekat kepada diri tuan sendiri.

Usia kawan kita waktu itu 47 tahun.
Mengapa jadi pengarang saya ini ?

Dalam riwayat hidup dan perjalanan yang telah tuan baca itu, tuan
telah mengetahui bahwa asalnya adalah karena keinginan menulis,
sebagai keinginan yang ada juga pada pemuda-pemuda yang lain. Membaca
banyak-banyak, lalu menulis. Dari usia 17 tahun telah dimulai, ketika
mengarang buku kecil Khatibul Ummah (1925), mengambil bahan dari
pidato kawan-kawan.

Saya hanya mengatasi zamanku ! Tidak lebih tidak kurang.

Di tahun 1925, kawan-kawan yang disekitarku belum seluas orang
sekarang pengertiannya dan belum seluas sekarang tersiar karangannya.
Jadi kalau ada karangan kita dicetak, walaupun jika diukur dengan
zaman sekarang sudah sangat ditinggalkan zaman dan mungkin tidak ada
isinya dan tidak pula bagus bahasanya, namun buat zaman itu, dia sudah
termasuk yang lebih indah.

Empat lima buku yang saya keluarkan di tahun 1929. Ada yang berkenaan
dengan tarik, ada yang berkenaan dengan soal sosial. Jika buku itu
saya baca sekarang, saya tertawa dan geli. Buku itu tidak ada isinya.
Tetapi yang membaca sekarang ialah Hamka sekarang dan yang menulis
buku itu ialah Hamka tahun 1929; Tentu jauh bedanya. Dalam hal yang
terpenting rupanya ia keberanian mengatasi zaman. Dan tidak bosan
memperbaiki, mengisi dan memperluas, sehingga yang ditulis di
belakang, lebih bagus hendaknya daripada yang ditulis lebih dahulu.

Bukan sedikit kawan saya yang mundur maju, dipertakut-takuti oleh
orang yang memang terlalu banyak teori. Merasa ilmunya belum cukup
buat mengarang, mesti lengkap syarat dan rukun, mesti tahu
paramasastera bahasa, mesti banyak penyelidikan, baru menulis.

Kalau dalam hal yang berkenaan dengan salah satu cabang ilmu
pengetahuan, saya sangat menyetujui pendirian yang demikian. Hendaklah
kita dalami soal-soal yang akan kita tulis. Tetapi saya lihat, bagi
temanku hal itu bukanlah menimbulkan berani, melainkan menimbulkan
takut dan ragu. Padahal fikirannya kadang-kadang lebih tinggi dari
fikiran saya dan karangannya lebih berisi dari karangan saya. Dia
karam dalam keraguannya, dan saya jalan terus dengan berpegang petua
orang tua-tua : "Perasaan, jadi pengajaran". Titel buku saya Di Bawah
Lindungan Ka'aabah adalah titel dari buku yang sedianya dikarang oleh
seorang teman dengan jalan cerita yang lain. Tetapi dia ragu-ragu saja
hendak meneruskan mengarang bukunya. Setelah buku saya keluar dia
menyesali keraguannya.

Dalam mengarang, kita akan bertemu kegagalan. Dalam mengarang, kita
akan bertemu angin baik dan angin buruk. Kadang-kadang dalam sedikit
tahun kita mendapat inspirasi berturu-turut, sehingga kita digelari
orang produktif, mengeluarkan hasil banyak. Tetapi dalam waktu ang
lain, kita "sepi". Hanya ilhamlah kawan pengarang yang karib. Ilham
itu pun tidak datang ! Apa daya !

Kita tidak boleh berputus asa, karena di dalam jiwa kita tidaklah
padam keinginan hendak mengarang. Tuan fikirkan sendirilah !

Di tahun 1925 saya telah mulai menulis. Baru beberapa tahun kemudian,
karangan kita diberi " honorarium" yang dapat buat belanja ! Ketua
pengarang Pedoman Masyarakat di tahun 1936 di Medan gajinya hanya f
17,50 satu bulan. Terang bahwa mengarangpun sebagai perniagaan pula.
Di permulaan membuka, belum ada harapan akan mendapat hasil daripadanya.

Banyak soal-soal yang harus kita hadapi menjadi pengarang. Mengarang
itu banyak alirannya, dan semuanya sulit.

Apakah kita pengarang yang berupa wartawan ? Nampaknya wartawan-lah
yang paling mudah, sebab dia tidak berkehendak kepada inspirasi
banyak, tidak berkehendak kepada renung dan samadi. Asal giat
mengumpul berita sudah cukup !

Setiap hari ada saja bahan yang muncul. Tetapi jelas sekarang bahwa
pekerjaannya sangat sulit dan susah, terutama sejak tanah air kita
merdeka. Berapa bahasa harus diketahui wartawan dan segala soal-soal
politik, ekonomi sosial, kehidupan orang besar-besar, riwayat negeri
asing, pergolakan ideologi, politik, turun naik kompas masyarakat,
harus diketahuinya. Tulisannya mesti tepat, timbangannya mesti benar
dan adil, dan mesti berani. Wartawanlah yang menentukan turun naiknya
timbangan masyarakat. Dia menaikkan, dia menjatuhkan. Siapa yang
dibelanya terangkat; siapa yang dicelanya mesti jatuh. Fikiran orang
banyak dibentuknya dan dia mesti mempunyai pendirian sendiri, bukan
hanya membebek-bebek mengekor dan menjilat kepada pemerintah. Tetapi
bukan pula keritik asal keritik. Pemerintah itu kembali dibelanya,
kalau menurut keyakinannya dalam hal itu pemerintahlah yang benar.
Sebab itu makanya tiap-tiap partai berusaha menerbitkan surat-surat
kabar sendiri, supaya journalis yang
menulis di dalamnya, ialah menurut "dictee" dari ideologi partai itu,
guna mempengaruhi fikiran umum.

Lihatlah pula megahnya journalist itu ! Lihatlah bagaimana penghargaan
atasnya. Dalam pertemuan umum, dalam resepsi, diner, pembukaan
parlemen, dimana saja dia mendapat tempat istimewa. Kalau seorang
menteri, dan seorang diplomat mengadakan konperensi press, kaum
journalist duduk berhadap-hadapan dengan "orang penting" itu, dan si
"orang penting", sangat berhati-hati berbicara, jangan sampai si
journalis salah menerima dan salah pula menyampaikan kepada umum.
Siapapun dia tak perduli, baik Truman atau Stalin, baik Romulo atau
Nehru, semua hendak dikorek isi hatinya. Kadang-kadang rahasia
tersembunyi hendak dicarinya sampai dapat dan kemudian disiarkannya.

Tadinya nampak mudah !

Tetapi setelah beberapa patah kalimat tentang journalis saya
terangkan, sudah nyata bahwa diantara pekerjaan pengarang,
journalistiklah yang sangat sulit. Barangkali telah 30 tahun yang
telah lalu, lagu "jurnalis desa", sebagai yang dikatakan Parada
Harahap, seketika dia mencela teman rekannya di Medan ! Tetapi di
zaman sekarang, kalah sekolah tidak tinggi, janganlah menjadi jadi
journalist; Angkatan journalist lama barangkali masih terpakai
menunggu dia mati, atau tua. Setinggi-tingginya akan menjadi "sunting"
dari salah satu surat khabar; "Surat khabar ini didirikan oleh tuan
Fulan ditahun 1920" dan sebagainya. Tetapi buat ke depan tidak dapat lagi.

Barangkali mengarang romanlah yang paling mudah, tidak sesukar menjadi
journalist !

Setelah dijalani akan ternyatalah, bahwa mengarang roman lebih berat
sepuluh kali dari jadi jurnalis. Kita mesti tahu beberapa macam ilmu,
mahir ilmu masyarakat dan ilmu jiwa, filsafat, dan tiap-tiap perkara
yang kita bicarakan di dalamnya ada pengetahuan kita, meskipun tentang
dasarnya. Karakter dan bawaan tiap-tiap orang kita bicarakan harus
hidup dalam ingatan pembaca. Harus kita ketahui kesukaan dan tradisi
tiap-tiap lingkungan yang akan kita bicarakan.

Saya mendapat beberapa pengalaman pahit dalam hal mengarang roman !
Saya mulai dari si Sabariyah, naik setingkat kepada Laila Majnun, naik
setingkat lagi ke Dibawah Lindungan Ka'baah. Dari sana sampai ke
puncaknya yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Dan dari tahun 1942
selanjutnya saya tidak lagi mengarang roman.

Tetapi Henrette Roland Holst pernah mengatakan, bahwa ciptaan pujangga
itu memang hanya sekali-sekali, dan ciptaannya yang kemudian,
kebanyakan menurut kepada ciptaan yang mencapai puncak itu.

Jadi pengarang apa ? Barangkali tuan sangka akan lebih mudah lagi jika
mengarang soal-soal agama. Itupun bukan sedikit kesulitannya. Sebab
pengarang itu harus bebas daripada taklid harus berpendirian sendiri,
walaupun berlawanan dengan pendirian mazhab dan ulama yang dahulu.
Sebab yang dinantikan orang dari seorang pengarang, bukan gramofon
pikiran orang lain tetapi pendapatnnya sendiri.

"Tentukan tujuan hidup, dan berjuanglah untuk mencapainya !" Itulah
nasihat yang dapat diberikan kepada pemuda, yang katanya ingin hendak
menjadi pengarang. Di negeri yang telah maju, pengaranglah yang
memberi isi kebudayaan bangsa dan fikirannya, lebih dalam daripada
yang diisikan journalis ! Journalis memperkatakan yang telah ada,
pengarang membentuk yang akan diadakan. Dia pelopor yang berjalan di
muka sekali. Dia menjadi kebanggaan daripada bangsanya. Inggris
mempunyai orang-orang sebagai H.G. Wells, Huxley, Shaw. Perancis
mempunyai orang-orang sebagai Andre Gide, Andre Mourois. Amerika
mempunyai Ralph Waldo Emerson ! Mereka adalah pengarang buku, tukang
karang roman, pengarang sandiwara. Tetapi kemajuan kebudayaan bangsa
telah memberikan kepada mereka jaminan hidup. Mengarang sajalah; soal
makan jangan takut ! Astaghfirullah ! Bukan urusan makan; Bahkan villa
tempat istirahat, kereta mahal yang indah, khutub khanah yang lengkap
! Semuanya tersedia buat mereka. Lantaran
itu maka fikiran yang tinggi-tinggilah yang mereka hadiahkan kepada
bangsanya dan kepada dunia ! Dan sekolahnya ? Tentu saja keluaran
sekolah tinggi ! Peradaban Eropah telah tinggi. Pengarang harus
mengatasi zamannya !

Kita masih jauh dari itu, tetapi kita harus meneruskan perjalanan !
Supaya hati jangan patah, jangan diingat villa Andre Gide yang dalam
usia 80 tahun, masih sempat membaca dan menulis enam jam dalam sehari,
karena hidup senang dan terjamin ! Tetapi tengok sajalah kepada masa
15 tahun yang telah lalu, seketika gaji Adinegoro di Perwata Deli,
yang keluaran Universiti di Muncen hanya f 250,- satu bulan. Itulah
gaji yang setinggi-tingginya pada masa itu. Dan golongan pengarang
masih jauh dari itu, sehingga belum dapat menyandarkan kehidupan
kepada mengarang. Bagaimana akan sempat mengarang kalau wang sekolah
anak belum dibayar ? Bahkan kadang-kadang itu pulalah yang menjatuhkan
mutu karangan ! Kadang-kadang penerbit yang tidak mengenal kasihan dan
tidak mengenal harga seni "memesan" karangan, "menempahkan" karangan
kata orang Deli kepada seorang pengarang, dan mendesak supaya keluar
pada masa sekian, bulan sekian ! Karena hutang telah banyak, terpaksa
diterima juga. Dan
terpaksa dikerjakan dengan tergesa ! Maka runtuhlah keistimewaan
karangan lantaran lapar.

Penghargaan bagi pengarang amat besar buat zaman depan. Bilamana buat
huruf telah dapat dibasmi, dan percetakan buku telah miliunan, baru
pengarang akan "goyang kaki". Sekarang masa itu belum datang.
Pengarang Indonesia sekarang adalah "pelopor" buat yang datang
kemudian. Kalau tidak mengingat kewajiban yang lebih suci, agaknya
banyaklah yang tercecer di tengah jalan. Tetapi, bahwa sekarang sudah
jauh lebih maju adalah hal yang tak dapat dimungkiri lagi.

Menjadi pengarang ! Bercita-cita janganlah tanggung-tanggung. Dan
isilah cita-cita itu menurut kesanggupan. Saya ingin dan orang
diizinkan menyatakan keinginannya; saya ingin jadi Hamka di Indonesia,
sebagai Tagore di India atau Iqbal di Pakista atau Mustafa Sadik
Rafi'ie di Mesir !

Apalah salahnya keinginan ? Tetapi bagaimana hasilnya kelak ?
Sepuhkanlah sejarah berkata !

Sebab tiap-tiap pujangga bangsa itu, adalah tumbuh menurut pertumbuhan
bangsanya pula !

Kegagalan mesti bertemu, kekecewaan mesti ada ! Tetapi dengan
kegagalan dan kekecewaan itulah kita dapat mengenal tentang hal yang
mana kesanggupan kita. Kalau sudah berkali-kali kita tempuh suatu
jalan, juga, mengelaklah ke jalan yang lain, tandanya itu bukan
pekerjaan kita. Mata perjuangan bukanlah satu saja ! Lebih baik kita
besar di jalan kita sendiri !

Dan ingatlah sekali lagi : "Pengarang harus mengatasi zamannya"

(HAMKA)

Tidak ada komentar: