Sabtu, 11 Oktober 2008

Beternak Ide

*Beternak Ide*
Oleh Nursalam AR



*"Uang hanyalah sebuah ide." (Robert T. Kiyosaki)*



Jika uang hanyalah sebuah ide maka memperbanyak ide sebanyak-banyaknya
sama
saja dengan mengembangbiakkan uang yang akan didapat. Dalam konteks
industri
kepenulisan --yang aroma bisnisnya tak beda jauh dari industri *real
estate*yang ditekuni Kiyosaki yang juga penulis buku
*Rich Dad Poor Dad*-–ide harus ditangkap bahkan harus diternakkan. Ibarat
hewan ternak, ia harus dirawat, dikembangbiakkan dan tak ayal dijual.
Lihat
saja fenomena novel *Ayat-Ayat Cinta*-nya Habiburrahman El-Shirazy
atau *Laskar
Pelangi* karya Andrea Hirata yang menuai royalti milyaran rupiah dan
menjejak dunia layar lebar. Inilah contoh nyata betapa ide bagi seorang
penulis tak ubahnya hewan ternak yang merupakan aset tak ternilai.



Jika ide adalah hewan liar maka ia harus ditangkap, dijinakkan,
didomestikasi. Seperti halnya orang-orang dulu mendomestikasi kuda
atau unta
untuk menjadi tunggangan yang bermanfaat untuk keperluan manusia. Sarana
penangkapnya bisa dengan banyak cara. Hemmingway menangkap ide dengan
jalan
mengetik apa saja di mesin ketiknya jika mengalami kemampatan ide.
Gola Gong
melakukan perjalanan keliling dunia untuk menjaring ide *Balada Si
Roy* dan
*Perjalanan di Asia*. A.A Navis memilih nongkrong di toilet berjam-jam –
hingga konon ia terserang wasir—demi mengejar sang ide.



Beberapa penulis lain ada yang menenggelamkan diri dalam tumpukan buku,
ngopi di kafe dengan laptop siaga di ujung jari atau sekedar bermain voli
untuk menjinakkan makhluk bernama ide ini. Intinya: ide harus ditangkap.
Karena ide juga ibarat sambaran kilat. Jika tak cekatan disergap, ia akan
meluncur menghunjam bumi dan teredam, tak berdayaguna apa-apa. Maka
tangkaplah ide dengan keberanian Benjamin Franklin – sang penemu arde
alias
penangkal petir --menangkap petir dengan layang-layang yang digantungi
kunci
besi pada benangnya di tengah hujan deras yang ramai kilat. Sebuah
keberanian bernyali dengan keingintahuan yang besar dan semangat mencoba
sesuatu yang baru.



Jadi sudah basi – dan tipikal adegan di film Indonesia era 70an – jika
kita
membayangkan seorang penulis mencari ide dengan hanya
terbengong-bengong di
depan alat tulis dan kertas atau memegangi kepala dengan rokok mengepul
seperti asap kereta uap. Seperti kata Umar bin Khattab,"Rejeki tidak jatuh
begitu saja dari langit. Bekerjalah!" Ide juga harus disodok jatuh seperti
kita menyodok mangga ranum dari pohon yang rimbun.



Jika mangga sudah jatuh, jika hewan liar sudah ditangkap dan
dijinakkan, apa
yang harus kita lakukan? Dengan segala amsal tersebut, ide yang lebih
mahal
dari Buah Merah asal Papua dan lebih ajaib dari hewan Pegasus dalam
mitologi
Yunani adalah harta karun yang wajib didepositokan dan hewan ternak yang
teramat mahal untuk tidak dipiara. Dan perlu jurus-jurus khusus untuk
beternak ide.



*Jurus Pertama: Kandangkan*

Kandangkan ide dalam laptop, komputer, USB, disket, mesin ketik, notes,
agenda atau diary atau apapun fasilitas penyimpan data yang kita miliki.
Meskipun hanya berupa satu kalimat yang diperoleh dalam lintasan di benak
saat menunggu kereta api yang telat, misalnya,"Kereta yang ingkar janji".
Jangan remehkan kuantitasnya karena itu adalah embrio yang terlalu mahal
untuk diaborsi.Siapa mengira jika coretan ide JK Rowling di atas tisu
bekas
akan menjelma menjadi bayi raksasa bernama *Harry Potter* yang
bertahun-tahun menghipnotis dunia?



Jadi jangan biarkan ide hanya berkelebat mampir di benak. Kurung ia karena
ia lebih liar dan lebih mudah pergi bahkan lebih rentan dicuri daripada
uang. Jika perlu, perlakukan ide sama berharganya dengan uang yang kita
setorkan ke bank. Milikilah bank ide – dalam bentuk apapun -- yang isinya
selalu dapat kita setor dan tarik setiap saat.



*Jurus Kedua: Beri makan*

Jika bakpao adalah makanan untuk badan, buku dan kontemplasi (zikir,
tadabbur, meditasi, yoga dll) adalah makanan untuk otak dan jiwa. Inilah
asupan terbaik untuk hewan ternak bernama ide. Semakin variatif dan
bergizi
jenis asupan semakin bongsor dan berbobot ide tersebut.



"Every man's work, whether it be literature or music or pictures or
architecture or anything else, is always a portrait of himself."(Samuel
Butler).Dalam konteks tersebut sebuah pepatah berbahasa Inggris cukup
relevan jadi panduan. "Ordinary people talk about people; mediocre people
talk about events and extraordinary people talk about ideas." Orang-orang
kelas bawah membicarakan orang, orang –orang kelas pertengahan
membicarakan
peristiwa sementara orang-orang yang berkaliber luarbiasa membicarakan ide
atau gagasan. Jika dunia seorang penulis hanya melulu sarat dengan bacaan
ringan, gosip selebritas dan hal-hal remeh temeh maka output dan kualitas
tulisannya tak jauh dari apa yang dimamahnya tersebut.Ia hanya menjadi
penulis berkategori kelas bawah bukan yang sedang-sedang saja apalagi
luarbiasa. Seperti kata orang bijak, jangan penuhi pikiranmu dengan
hal-hal
kecil karena akan terlalu sedikit ruang untuk pikiran-pikiran besar.



*Jurus Ketiga: Kembangbiakkan*

Kawinkan ide baik dengan inseminasi atau kawin silang. Sapi Madura
petarung
karapan yang tangguh adalah hasil percampuran benih sapi pilihan. Ide
unggulan juga begitu, ia mewarisi kualitas genetis masukan yang
membentuknya. Dalam *How To Be A Smart Writer**,* Afifah Afra –
penulis top
FLP dengan sederet novel *best seller* salah satunya novel sejarah
*Javasche
Orange* – mengenalkan dua cara mengembangbiakkan ide yakni – yang saya
istilahkan inseminasi dan kawin silang. *Inseminasi* adalah memasukkan
elemen baru terhadap sebuah ide atau kisah lama. Misalnya, jika dalam
dongeng Malin Kundang yang menjadi batu adalah Malin Kundang, mungkin
sangat
menarik jika yang menjadi batu adalah ibunya karena dinilai lalai dan
bertanggung jawab terhadap perubahan akhlak si Malin.



Sementara *kawin silang* adalah memadukan dua unsur cerita yang berbeda.
Ambil contoh kisah Cinderella dan Putri Salju (*Snow White*). Cinderella
yang berbahagia karena sepatunya pas dengan ukuran sepatu kaca bisa saja
kemudian tewas memakan apel beracun. Kemudian ia hidup kembali setelah
dicium sang pangeran. Atau jika ingin lebih komedik, Cinderella hidup
kembali setelah mencium bau sepatu kaca yang disodorkan tujuh kurcaci.



*Jurus Keempat: Jual*

Juallah ide dalam bentuk menuliskannya. "Ikatlah ilmu dengan
menuliskannya,"
demikian pesan Ali bin Abi Thalib, yang kerap diusung tokoh motivator
menulis Hernowo dalam berbagai bukunya. Jika tidak mampu
menuliskannya, ide
tersebut dapat dijual ke seorang teman yang menuliskannya. Soal
hitung-hitungan finansial itu bisa jadi kesepakatan. Dalam dunia sinetron
sudah lazim seorang penulis menjual ide dan soal eksekusi penggarapan
diserahkan kepada tim penulis skenario. Si penulis sendiri mungkin hanya
sekedar mensupervisi atau menjadi *head writer*. Itu sekedar contoh. Namun
kita tentu layak dan amat berhak menerima kehormatan untuk menuliskannya
sendiri. Tentu jika kita berani memanen setelah susah-payah menebar benih
dan merawatnya.



Nah, nikmatilah hasil beternak ide. Namun pertanyaan pertama, sudahkah
kita
punya nyali untuk beternak ide?



*Jakarta, 17 Maret 2008*

*www.nursalam.multiply.com*

Tidak ada komentar: