Sabtu, 11 Oktober 2008

menulis dengan EYD perlukah...

Masalah semacam ini memang dialami oleh banyak penulis.
Dari pengamatan saya, ternyata ada juga lho penulis yang telah
menerbitkan buku tetap dibuat pusing dengan masalah kalimat baku, EYD,
dan konco-konconya.

Saran saya, sebaiknya Mas Arief rombak keyakinan (atau apa pun
namanya) bahwa menulis harus memakai kalimat baku dan kalimat baku
harus mematuhi pakem S-P-O. Pasal, kata guru saya dulu, syarat sebuah
kalimat cukup S-P. Bahkan, dalam sebuah dialog, teriakan "Tidak!"
sudah bisa disebut sebagai sebuah kalimat yang berdiri sendiri(mohon
dikoreksi kalau keliru).

Satu hal yang mesti kita catat. Sering kita takut menulis sebuah
kalimat hanya karena ketakutan kita kepada kaidah EYD. Padahal, kita
tahu. Guru kita sering mengajarkan kepada kita tentang bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Baik dulu, baru benar.

Bahasa yang baik (lagi-lagi menurut guru saya dulu) adalah bahasa yang
dipakai sesuai konteks, sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang
sesuai kaidah kebahasaan (kalau buat kita di Indonesia ya EYD itu Mas).

Oleh karena itu, tak heran jika muncul berbagai ragam bahasa. Ada
ragam bahasa ilmu, ada ragam bahasa sastra, ada ragam bahasa
undang-undang, ada ragam bahasa jurnalistik, dan lain-lain. Bahkan
ragam bahasa sastra pun tentu akan berbeda antara bahasa prosa, puisi,
dan drama. Apakah ragam bahasa sastra ini sepenuhnya benar (mengikuti
kaidah kebahasaan atau EYD?) Saya yakin tidak. Meskipun ragam bahasa
sastra tidak selalu benar, bahasa dalam karya sastra adalah bahasa
yang baik karena konteksnya adalah karya sastra. Coba Mas Arief
bayangkan bagaimana kalau sebuah karya sastra (cerpen atau puisi,
misalnya) menggunakan ragam bahasa ilmu seperti yang dipakai dalam
karya ilmiah, skripsi, tesis, atau disertasi, misalnya. Wah, kacau deh.

Mungkin itu saja dulu. Semoga bermanfaat. Terima kasih dan salam dari
Semarang.


Ugie
www.ugieyogyakarta. blogspot. com

Tidak ada komentar: