Sabtu, 11 Oktober 2008

Fiksi Islami, antara konsptual dan industri

Tulisan ini terinspirasi oleh komentar mas Sakti Wibowo yang dimuat
pada kata pengantar untuk novel "Dan Cinta pun Rukuk" karya Dhani
Ardiansyah dan Lulu L Maknun. Berikut cuplikannya.

"…. Hampir seluruh penerbit fiksi Islam, di tahun 2007 ini
mengeluh. Dunia penerbitan fiksi Islam sedang mengalami titik
kejenuhan yang parah, oleh sebah ceruk kecil itu sekarang begitu sesak
pemain. Penjualan fiksi Islam mengalami terjun bebas, dan begitu
banyak judul yang jeblok di pasaran.

Penulis-penulis yang dulu berbondong-bondong menjadi penulis fiksi
Islam, kini juga sudah mulai berbondong-bondong lagi menjadi penulis
fiksi umum…."

Saya mencoba berbaik sangka terhadap mas Sakti Wibowo atas kutipan di
atas. Saya yakin mas Sakti tentu punya pemahaman yang sangat luas
mengenai konsep "fiksi Islam". Tapi entah kenapa, saya merasa amat
tergelitik membaca tulisan itu, dan akhirnya menggerakkan saya untuk
menulis artikel ini.

Saya tak akan bicara soal perkembangan sastra islam, khususnya
kebangkitannya kembali setelah FLP berdiri. Sudah demikian banyak
tulisan yang membahas hal ini. Kali ini, saya hanya akan membahas satu
di antara fenomena sastra Islam yang menggejala (bahkan memprihatinkan
sebenarnya) pada era tahun 1997 hingga 2004 lalu.

Saat itu, banyak sekali penerbit yang menerbitkan sastra Islami. Bukan
hanya penerbit Islam (maksudnya, penerbit yang memang benar-benar
punya misi dan visi untuk menyebarluaskan nilai-nilai Islam lewat
buku), tapi juga penerbit umum yang hanya berorientasi bisnis semata.

Saat itu pula, buku-buku fiksi dengan label "Islam" (seperti NORI -
novel remaja islami - di DAR! Mizan, dan Fikri - fiksi remaja islam -
di Gema Insani) laris manis di mana-mana. Maka, banyak sekali penerbit
yang berlomba-lomba menerbitkan buku fiksi dengan label "cerita Islami".

Saya pernah bertanya kepada seorang editor di sebuah penerbit Islam.
Dia memang mengakui bahwa cerita-cerita Islami sedang tren dan laku keras.

Di satu sisi, kita sebagai umat Islam memang bangga dengan fenomena
ini. Ini artinya bahwa nilai-nilai Islam semakin populer dan bisa
diterima oleh khalayak ramai. Alhamdulillah, kita patut bersyukur.

Tapi di sisi lain, ini juga sebenarnya bisa menjadi bumerang
tersendiri. Saya tak akan berpanjang-panjang dalam teori. Tapi
komentar mas Sakti Wibowo di atas, bagi saya sudah merupakan bukti
yang sangat nyata.

Komentar tersebut membuat saya bertanya-tanya, "Apakah jika seorang
penulis menerbitkan buku umum, apakah bukunya itu dijamin tidak islami?"

Terus terang saya sering merasa bingung ketika mendengar pembicaraan
antara editor sebuah penerbit Islam dengan seorang penulis:

"Saya mau mengirim naskah ke penerbit Anda," ujar si penulis.
"Apakah penerbit Anda hanya menerbitkan buku-buku Islam?"

"Tidak. Kami juga menerbitkan buku-buku umum, kok," jawab si
editor dengan santainya.

Ini bukan pembicaraan fiktif semata, tapi saya seringkali mendengar
pembicaraan semacam itu.

Dan lewat komentar mas Sakti di atas, saya seperti kembali
mendengarkan pembicaraan yang sama, dalam susunan redaksional yang
berbeda. Sebuah ungkapan yang di telinga saya terdengar sebagai sebuah
pemikiran yang berbau sekularisme. Sebuah ungkapan yang seolah-olah
berisi penegasan bahwa "novel-novel yang tidak diberi label Islam
adalah tidak Islami".

Ya, seandainya ucapan seperti itu keluar dari seorang editor dari
penerbit umum, terlebih lagi jika dia bukan beragama Islam, saya akan
sangat maklum. Tapi jika keluar dari seorang editor dari penerbit
Islam, yang selama ini dikenal memiliki visi dan misi untuk berdakwah
lewat penerbitan buku, terus terang saya agak merasa bingung.

Maka saya kira, dalam hal inilah kita perlu bijak dalam membedakan
mana "fiksi islam" dalam konteks industri dan mana "fiksi islam" dalam
konteks konseptual.

Dalam konteks industri, kita memang tak bisa menafikan bahwa para
penerbit mau tidak mau harus memberikan label tertentu pada buku-buku
terbitan mereka. Tujuannya tentu saja agar buku tersebut dibaca oleh
segmen yang tepat, sesuai dengan konsep marketing mereka.

Maka, penerbit pun memberikan label "cerita islami" pada novel
tertentu, dengan harapan agar novel tersebut dibaca oleh kalangan
pembaca yang familiar bahkan cinta terhadap nilai-nilai Islam. Jika
segmen pembaca mereka adalah anak-anak ABG yang doyan pergi ke mal dan
jarang shalat, mereka tak akan memberi label "cerita islami" pada
novel tersebut.

Lagipula, karena novel-novel berlabel "cerita islami" sedang tren di
mana-mana, para penerbit pun berlomba-lomba memberikan label seperti
itu pada novel-novel yang mereka terbitkan.

Dan kini, ketika penjualan novel-novel yang berlabel "cerita islami"
anjlok drastis atawa terjun bebas, maka para penerbit pun membuang
label "cerita islami" dari buku-buku mereka. Sepanjang pengamatan
saya, DAR! Mizan termasuk penerbit yang cukup antisipatif terhadap
masalah ini. Ketika mereka melihat bahwa prospek penerbitan cerita
islami mulai turun, mereka segera mendirikan Penerbit Cinta yang
bersifat umum.

Ya, memang demikianlah sistem kerja sebuah industri. Kita tak bisa
menyalahkan mereka.

* **

Dalam hal konseptual, saya kira pengertian "fiksi islami" atau "sastra
islami" atau "cerita islami" benar-benar jauh berbeda dengan
"definisi" ala industri di atas. Agaknya saya tak perlu berpanjang
lebar menjelaskan bagaimana definisi yang konseptual mengenai cerita
islami. Sudah demikian banyak artikel yang membahas masalah ini. Yang
jelas, novel-novel terbitan Gramedia atau Gagasmedia pun bisa saja
Islami. Bahkan novel-novel yang di dalamnya sama sekali tak ada
simbol-simbol Islam pun bisa saja sangat islami. Sekadar reminder,
saya pernah membahas film "30 Hari Mencari Cinta" yang menurut saya
memiliki pesan moral yang Islami.

Islam adalah masalah NILAI yang terkandung di dalam sesuatu, BUKAN
SIMBOL yang dihadirkan oleh sesuatu tersebut.

Dalam hal inilah saya merasa tergelitik membaca komentar mas Sakti di
atas. Okelah, saya mencoba berbaik sangka. Mas Sakti tentu sangat
paham mengenai definisi yang konseptual mengenai "fiksi islami".

Namun, kenapa komentar seperti di atas masih muncul dari pikiran dan
goresan pena Mas Sakti? Dugaan saya, mungkin ini disebabkan mas Sakti
selama bertahun-tahun menjadi editor di penerbit. Dan tanpa sadar,
pikiran beliau sudah "dirasuki" oleh definisi sastra islami ala
industri. Semoga ini hanya prasangka buruk dan saya mohon maaf jika
memang keliru.

* * *

Bagi seorang muslim yang telah paham mengenai konsep "fiksi islam"
yang sejati, saya kira anjloknya atau terjun bebasnya penjualan
buku-buku berlabel "Islam" sama sekali tak perlu dikhawatirkan. Tak
ada yang perlu disesali. Biarkan saja. Memang dunia industri seperti
itu. Suka naik turun. Berubah-ubah semaunya.

Kenapa kita tak perlu khawatir? Sebab yang anjok itu hanya labelnya.
Apalah arti sebuah label! Yang penting nilai-nilai Islam di dalam hati
dan pikiran kita tidak ikut anjlok. Yang penting muatan nilai-nilai
Islam di dalam tulisan-tulisan kita tidak ikut anjlok bahkan hilang.
Dan bagi penerbit: yang penting nilai-nilai islam tetap berkibar di
dalam buku-buku terbitan mereka, walau buku-buku itu sama sekali tidak
ditempeli label-label berbau Islam.

* * *

Dan kalau bicara soal strategi, saya kira banyak kiat yang bisa kita
lakukan untuk menyiasati kelesuan industri fiksi islam saat ini.

Bagi penulis: karanglah sebuah novel atau cerpen yang sama sekali
tidak menampilkan simbol-simbol islam, tapi nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya tetap islami.

Bagi penerbit: dirikanlah sebuah divisi penerbitan yang menerbitkan
buku-buku BERLABEL umum, tapi buku-buku tersebut tetap sarat oleh
nilai-nilai islam.

Saya tidak berani mengatakan bahwa buku-buku Penerbit Cinta itu
dijamin islami. Tapi saya berani menyampaikan bahwa strategi DAR!
Mizan ketika mendirikan Penerbit Cinta patut ditiru oleh
penerbit-penerbit Islam lainnya.

* * *

Saya ingat pada ucapan Maman S Mahayana pada acara Milad FLP ke-10
bulan Februari 2007 lalu. Katanya, "Salah satu strategi agar
karya-karya penulis FLP bisa diterima oleh khalayak umum, mereka harus
rajin menerbitkan buku-buku mereka di penerbit-penerbit umum."
Maksudnya (ini dalam versi saya - Jonru), janganlah kita hanya
menerbitkan buku di penerbit-penerbit Islam yang selama ini sudah
menjadi `langganan tetap' penulis-penulis FLP.

Saya "setengah setuju" dengan pendapat Bang Maman ini. Di satu sisi,
saya memang sependapat bahwa ini bisa menjadi salah satu strategi agar
penulis-penulis FLP mulai diterima di "dunia luar".

Tapi di sisi lain, saya juga mengkawatirkan satu hal: Jika semua
penulis FLP menerbitkan buku di penerbit umum dan meninggalkan
penerbit-penerbit Islam yang selama ini sangat setia mendukung FLP,
apakah itu bukan berkhianat namanya?

Karena itulah, saya punya ide yang semoga bisa menjadi jalan tengah.

Wahai para penerbit Islam! Dirikanlah satu atau beberapa lini
penerbitan, yang menerbitkan buku-buku umum, tapi muatannya tetap
Islami. Lalu ajaklah para penulis FLP untuk menyumbangkan
naskah-naskah mereka. Saya yakin, banyak penulis di kalangan FLP
(termasuk saya, hehehe…) yang tertarik dengan sistem ini.

Saya kira, ini bukan hanya masalah strategi untuk menyiasati kelesuan
pasar. Tapi:

1. Ini juga bisa menjadi strategi dakwah yang sangat jitu. Sebab
dengan menerbitkan buku bermuatan Islam tapi jauh dari simbol-simbol
Islam, diharapkan buku-buku tersebut bisa menjangkau kalangan
masyarakat yang selama ini memang masih antipati terhadap segala
sesuatu yang berbau Islam.
2. Karya-karya penulis FLP tetap diterbitkan oleh penerbit-penerbit
Islam yang selama ini setia mendukung FLP.
3. Karya-karya penulis FLP diharapkan makin diterima luas oleh
masyarakat umum.

Yang kita butuhkan saat ini adalah membuka pikiran dan wawasan yang
seluas-luasnya. Saatnya kita - baik penulis maupun penerbit - menata
ulang persepsi kita selama ini yang mungkin masih salah mengenai
definisi fiksi Islam.

Cipayung, 14 Mei 2007
Jonru

Tidak ada komentar: