Rabu, 31 Desember 2008

Tips menulis Fiksi...

tips nulis fiksi
by: adhitya mulya

Dari pertama gua nulis, udah lumayan banyak orang yang dateng ke gua minta diajarin bagaimana cara nulis buku. Kebanyakan jawaban gua udah ada sebenernya dalam pelajaran bahasa indonesia kelas 1-2-3 SMP dan 1-2-3 SMA.

Dari mulai hal-hal yang seperti: bikin tema, bikin sinopsis, membagi paragraf yang baik, semuanya adalah bekal teknis yang cukup untuk menulis buku. Tulisan di bawah adalah ringkasan gua secara menyeluruh tentang pertanyaan-pertanyaan dari banyak orang yang gua gak bisa jawab satu-satu. Bahasan akan gua bagi jadi 3 bagian penting.
Pre-production, production dan post-production.
Ini adalah tiga fase penulisan buku yang dalam masing-masing fase, ada hal-hal yang bisa membantu lu membuat buku yang baik….setidaknya baik versi pengalaman gua. Ini mungkin bukan tips yang terbaik yang lu denger tapi yang terbaik yang gua tahu. Penulis-penulis lain yang punya pengalaman beda mungkin akan gak setuju dengan isi blog ini, tapi again, ini adalah yang gua alami.
Di sini gua juga pengen memanage expectation orang karena normally orang yang mau menulis buku itu menggebu-gebu dan ditakutkan tidak memperhatikan beberapa elemen penting. Apalagi di jaman sekarang di mana buku fiksi itu sudah overrated kalo gua bilang.

I. Pre-Production
I.1 Ide Cerita
Ada 2 alasan besar kenapa orang beli buku lu:
1. Ide cerita lu
2. Cara lu menuturkan cerita.
Di section ini kita akan bahas ide cerita dulu.
Fiksi: Beberapa macam ide cerita fiksi yang bagus adalah
1. Yang beda dari yang lain. Ide cerita yang unik lumayan bikin orang penasaran.
2. Sesuatu yang mendasar dan terjadi di setiap orang.
3. Atau gak perlu beda dari yang lain tapi lu ambilnya dari sudut pandang lain.
Elu dituntut untuk melatih diri menjadi kreatif. Jangan berhenti bertanya ’kenapa?’ dan ’bagaima jika...?’
Yang harus dihindari dari persepsi gua adalah:
1. Topik yang udah banyak orang bahas.
2. Membuat karya fiksi dari pengalaman sendiri.
Again, dari persepsi gua, gua gak terlalu suka membaca karya fiksi yang sebenernya adalah hasil dari pengalaman pribadi. Gua gak suka, karena gua dulu ditempa menjadi penulis dengan ajaran: karya fiksi itu lahir dari proses kreatif. Nah kalo pengalaman kita sendiri kita fiksikan, proses kreatifnya minim.

Orang-orang yang nulis pengalaman pribadi, biasanya jarang memiliki kemampuan untuk menulis novel kedua (Ini bukan teori, ini pengamatan dari pengalaman seseorang). Semua isi perutnya udah abis disebar-sebar di buku pertama. Kalau pun iya, biasanya buku kedua terjual lebih edikit dari buku pertamanya.

Penulis yang konsisten memberikan ide fiksi tidak akan memiliki masalah memulai buku keduanya karena mentalnya penulis.

Nah gua gak bilang bahwa lu gak boleh memasukkan pengalaman pribadi lu ke dalam fiksi lu. Terserah elu itu mah. Toh ada beberapa buku yang seperti ini yang juga gemilang. Andrea Hirata men-tetralogikan pengalaman hidupnya dalam karya :

Laskar Pelangi
Sang pemimpi
Edensor
yang terakhir belum dia reveal apa judulnya

Ini diakui secara publik lho. And you know what? Bukunya bagus! Gaya ceritanya bagus. Ide ceritanya (pengalaman hidupnya) bagus. Ternyata gua lihat bahwa bedanya dia dengan yang lain adalah bahwa ide ceritanya inspiratif. Kata seseorang yang komentar di comment post ini, Salman Rushdie juga sering make pengalaman pribadinya dan bagus. Good for him then.

Jadi terserah kita. Kalo Kita mikir pengalaman pribadi kita bisa memberi hikmah / menghibur / menginspirasi orang banyak dalam bentuk fiksi, silahkan tulis. Kalo nggak, mending jangan saran gua.
Non-fiksi: Jika ingin menceritakan pengalaman pribadi, mending sekalian aja menulis buku non-fiksi. Raditya Dika dengan buku-bukunya adalah contoh yang sempurna akan hal ini. Dari awal dia memang sudah niat nulis pengalaman pribadinya dan dia go public mencetak bukunya dengan label ’Ini pengalaman pribadi’. Cara dia bercerita dan materi yang dia ceritakan sangat
kocak.

Tips memilih topik untuk non fiksi adalah:

1. Pengalaman lu yang unik yang gak dialamin banyak orang

2. Hindari kecenderungan memamerkan sesuatu yang orang banyak gak punya karena nanti lu akan kehilangan sense of belongingnya pembaca.

3. Persepsi lu akan sesuatu. Isman Suryaman dengan ’Bertanya Atau mati’ adalah contoh yang baik dalam penulisan on-fiksi yang tidak menceritakan pengalaman pribadi tapi lebih ke persepsi dia akan segala seuatu.

I.2. Target Audience
Penulis yang baik juga harus cukup peka untuk bisa mereka segmen usia dan segmen uang mana yang akan membaca bukunya. Gak usah pake bahasa yang rumit jika kita menarget pembaca di desa. Buku-buku Umar kayam dapat dinikmati oleh tukang pisang goreng sampe manager karena penuturannya baik dan pas bagi semua orang. Ide cerita yang terlalu high class akan ditinggalkan orang-orang susah. Intinya, ide dan cara bertutur yang pas akan mampu merangkul lebih banyak pembaca dari segala segmen.

I.3. Judul
Secara general, ada baiknya lu bukin sinopsis. Sinopsis ini akan kerasa gunanya di kala kita udah mulai nulis nanti. Judul dan tema juga penting agar kita tidak melebar dalam bercerita. Biasanya gini: Sinopsis adalah cerita lu dalam 3 paragraf

Tema adalah cerita lu dalam 1 kalimat

Judul adalah cerita lu dalam 1, 2 atau 3 kata

Kalo gua, jujur aja gua udah bikin 3 buku dan sampe sekarang masih gak becus aja nyari judul. Nyari tema sih oke. Ngembangin tema ke cerita oke. Tapi nyusutin dari tema ke judul? I am total crap at it.

II. Production

Dalam production, ada 2 hal yang penting. Penulisan dan kritik.

II.1. Penulisan

II.1.1. Penokohan (matrix)
Salah satu yang sering penulis baru lakukan adalah penokohan yang tidak proporsional. Ini berhubungan dengan keterbasan buku sebagai media 1 dimensi. Buku hanya mampu bercerita dengan tulisan dan tidak dengan visual sehingga ketika orang membaca sebuah nama, dia akan berasumsi bahwa tokoh yang diberi nama ini, adalah tokoh penting dalam buku. Sering didapati bahwa penulis bercerita panjang lebar tentang tokoh ’Irwan’ di bab 2, tapi Irwan tidak muncul lagi di bab-bab berikutnya. Intinya jika kita menulis terlalu banyak nama/tokoh, pembaca akan bingung. Untuk itu sebelum menulis, minimal kita harus membuat sebuah matrix penokohan. Tokoh-tokoh utama harus jelas asal-usulnya dan kondisi fisik dan mental mereka. Untuk itu matrix penokohan di bawah akan sangat membantu. Semakin penting peran si tokoh, semakin detil kita harus gambarkan. Semakin gak penting peran dia, kita gak perlu detil-detil amat menggambarkan mereka.
Nama Peran Background Kondisi psikologis Kondisi fisik
Rani Utama Lulus dari perbanas bareng tokoh2 lain Ambisius, terbayang2 olehj kekejaman sang ayah, dll Rambut merah sebahu, tinggi, kurus, sawo matang, dll
Julius Utama Lulus perbanas 1 tahun lebih cepat dari rani Punya 2 kepribadian tapi dia gak sadar akan hal itu, baik,dll Cepak, punya luka di tangan kiri, tatao di tangan kanan
Rahmat pendukung Temen rani di perbanas, kerja di toko kocak Keriting.
XXX
YYY

Biasanya penulis sudah cukup kuat untuk menyimpan semua informasi ini dalam otak. Tapi gua sih nggak. Akhirnya gua melakukan deskripsi fisik yang berbeda akan tokoh yang sama dalam buku GMC. Memalukan. Sejak itu gua pake matrix ini. Matrix ini sangat berguna jika lu nekat ingin nulis buku dengan tokoh utama dna pendukung yang banyak. Contohnya buku ’Arus Balik’ Pramoedya Ananta Toer. Itu buku tokohnya banyak banget tapi detil mereka terjaga dengan baik.
II.1.2. Struktur Cerita
Metode
Umumnya drama 3 babak sudah cukup untuk mengakomodir penyaluran cerita. Kalo mau kreatif sedikit mungkin kita utak-atik depan belakang dan tengahnya. Buku ’100 years of solitude’ dari Gabriel Garcia Marquez adalah contoh yang unik untuk ini. Buku tersebut dia awali dengan endingnya. Buku itu dia awali dengan menceritakan bahwa pemeran utamanya akan ditembak mati oleh pasukan penembak. Dari sana dia flash back ke 100 tahun ke belakang kehidupan keluarganya.
Drama 3 babak berkomposisikan:

Babak 1: perkenalan masalah

Babak 2: masalahnya

Babak 3: penyelesaian
Setelah gua banyak baca, setidaknya gua pribadi mendapati bahwa buku yang tamat gua baca adalah buku-buku yang babak 1-nya singkat dan mampu memperkenalkan masalah dalam bukunya dalam jumlah halaman yang gak terlalu banyak. Tapi ini juga bukan pedoman. Ambil da Vinci Code-nya Dan Brown. Gua mendapati bahwa di akhir setiap bab selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita meneruskan membaca ke depannya. Itu bagus. Misterinya berlapis-lapis tapi masing-masing misteri itu gak bertele-tele. 600 halaman tu gak kerasa. Ada novel yang masalahnya hanya muter-muter di situ tapi dikemas dalam 700 halaman seperti the Historian. Itu buku gua tinggal di halaman 600 karena gua gak kuat. Buku itu membutuhkan 250 halaman untuk bilang bahwa tubuhnya drakula mencari kepalanya, yang mana udah bisa gua tebak dari 50 halaman pertama dari 250 halaman itu.
Ada lagi yang strukturnya dibuat persis seperti kita nonton film. Dan Brown adalah penulis yang bertipe seperti ini. Baik dalam Da Vinci Code atau Angels & Demons, tiap babnya gak terlalu banyak. Tapi jika kita ukur dan bayangkan, satu bab dalam bukunya gak susah kita bayangkan sebagai 1 adegan. Dan dari 1 bab ke bab lainnya menceritakn semua tokoh secara terpisah dan lama-lama terasa koneksinya dan makin konvergen.

II.1.3. Konvergensi cerita
Kalo gua pribadi, gua gak akan mulai menulis sebuah buku fiksi sebelum gua tahu endingnya seperti apa. Ninit Yunita, penulis testpack punya metode yang lebih efektif di mana dia mulai menulis setelah minimal 70% yakin akan endingnya. Minimal jika ending berubah, perubahan itu gak jauh-jauh amat.
Penulis pemula umumnya memiliki nafsu menulis tinggi sekali. Mereka mulai menulis sebelum tahu endingnya gimana, akhirnya tulisan mereka cenderung melebar (divergen). Semuanya ingin diceritakan. Pertama nulis tentang A, kemudian tentang B, kemudian tentang C tapi di tengah jadi bingung mikirin bagaimana caranya mengikat A, B dan C itu. Akhirnya buku itu dia tinggal. Dia ganti judul baru tapi dengan pola kerja yang salah, di judul baru ini dia mengalami kesulitan yang sama. Makanya, menulis konvergen itu akan menghemat waktu. Bikin sinopsis sebelum menulis.

II.1.4. Gaya/Cara bertutur
Seperti yang gua bilang ada 2 hal yang pada akhirnya membuat buku lu dibaca: ide cerita dan gaya nulis lu.
Sementara semua orang punya kemampuan untuk membuahkan ide yang kreatif, gak semua orang punya kemampuan bercerita dengan unik. Kalo kita udah nemu sebuah gaya bercerita, biasanya itu akan menjadi trade mark lu dan lu bawa di semua buku lu. Gua seperti ini. Ada lagi penulis yang di tiap bukunya gaya nulisnya beda. That's fine juga.

Gaya menulis yang unik pun gak bisa gua ajarin di sini. Itu adalah sebuah skill yang hanya lu sendiri bisa latih dan bisa tumbuhkan. Kalo dari pengalaman gua, sebelum gua nulis buku, gua habiskan satu tahun untuk menulis di blog. Cari-cari gaya bahasa yang lucu dan bisa bikin orang terhibur. Satu tahun. Itu proses yang lama. Gua gak bikin jomblo dalam 1 malam. Nasihat gua sih,
1. jangan terlalu ingin instan langsung bikin buku. Latihan dulu di blog atau di mana pun, akan bisa.
2. rajin-rajin baca buku fiksi / non-fiksi. Perhatikan bagaimana cara penulis-penulis lain bercerita. Bagiamana mereka mendeliver cerita mereka, bagaimana mereka mengerem dan menggas cerita untuk mendapatkan suspense pembaca. Bahasa formal/non-formal yang bagaimana yang mereka bungkuskan pada cerita mereka. Semua itu penting untuk disimak.
Untuk nulis lu butuh 2 hal. Talent dan practice untuk mengasah talent itu menjadi lebih baik.

II.2. Kritik
II.2.1. Ego Penulis
Gua adalah seorang kritikus buku yang dingin. Kalo jelek ya gua bilang jelek dengan catatan gua kasih mereka input. Hasilnya lumayan. Sejauh ini 4 dari sekian jumlah buku yang gua kritik, dapet kontrak film. 3 di antaranya terjual banyak juga.
Tapi yang sering gua dapati adalah bahwa penulis-penulis pemula yang datang ke gua, egonya besar sekali sampai mereka gak terima masukan gua. Dan orang-orang ini pun ketika akhirnya menerbitkan buku mereka, gak terjual seberapa banyak ketimbang mereka yang mampu nerima input. Gua ceritain ini bukan karena nasihat gua adalah jimat tapi karena they wouldn't listen.
Setelah dialog dengan seorang editor terkemuka, kita berdua mendapati bahwa jaman sekarang ini banyak yang penulis pemula yang merasa karya pertamanya adalah maha karya tanpa cacat dan secara mengejutkan sulit sekali nasihatin mereka. Sulit sekali bagi mereka untuk menelan komentar
”karya kamu itu jelek.”
Gua ditolak 3 kali oleh 2 penerbit sebelum Jomblo diterbitkan gagas. Dan gua bersyukur mereka menolak karena di saat penolakan itu mereka memberi input terhadap kelemahan yang selama ini gua gak sadari ada.
Coba kalahkan ego lu. Penulis itu sering mengalami apa yang dalam dunia statistik ’figure blind’. Setelah menghabiskan ratusan jam penulis menjadi subjektif dengan karyanya dan cenderung tidak mampu melihat kekurangan dalam karyanya. Makanya penting bagi lu untuk meminta orang lain untuk membaca dan memberikan lu kritik. Lebih baik dibantai selagi masih bentuk draft, offline ketimbang dibantai setelah jadi buku di media. Kalo draft udah jadi buku, that’s it. Malu banget untuk dirubah.
II.2.2. Feedback System
Sebaiknya lu punya feedback system sendiri. Maksudnya adalah sebuah mekanisme yang lu buat gimana caranya sehingga lu bisa menguji sejauh mana draft lu diterima di masyarakat. Untuk sharing aja, kalo gua:
1. Setelah selesai draft 1 gua cari 6-10 orang yang gua gak terlalu kenal dan gua minta mereka baca dan minta input mereka.
2. Input mereka ini akan menjadi bahan untuk gua kaji apakah gua ada ide dan gaya penulisan yang gua harus rubah. Perubahan ini menjadi draft 2.
3. Setelah selesai draft 2, gua lakukan lagi ke 6-10 orang yang berbeda. Ambil input dari mereka lagi. Dan lakukan hal yang sama dengan #2.
Gua melakukan ini secara konsisten dan serius karena gua percaya reaksi orang-orang yang gak gua kenal itu adalah cermin dari reaksi pasar jika buku itu terbit.Kritis terhadap diri sendiri juga penting. Sering-sering baca draftnya lagi dari awal dengan asumsi kita orang luar. Itu akan membantu objektifitas. In time setelah lu menulis 3-4 buku dengan cara ini lu akan sadar sendiri dan meng-kaji tulisan sendiri dengan lebih objektif.

III. Post-Production
Kalo lu pikir bahwa tugas lu nulis buku udah selesai di sini, salah. Justru 30% waktu total pembuatan buku jatuh di post-productionnya. Berikut adalah aspek-aspek yang lu harus kenali dalam post-production.
III.1. Supporting Elements
III.1.1. Cover
Pada kenyataannya, people do judge books by the covers. Di era di mana banyak buku yang bersaing untuk djual, peran cover mau gak mau jadi penting. Berikut adalah jenis-jenis cover yang gua klasifikasikan berdasarkan pengalaman gua.
1. Simbolik. Contoh yang sangat bagus untuk jenis ini adalah 5 CM-nya Donny Dirgantara. Hanya ada tulisan 5 CM dengan all black dan ada emboss tulisan-tulisan lain. Hitamnya ini cowok banget dan bikin penasaran. Bagi gua covernya bagus banget. Tapi bagi gua, isinya not my cup of tea. Contoh lain yang simbolik adalah Soulate-nya Jessica Huwae. Simple, putih dan hanya ada mouse sebagai vocal point dari gambar. Very nice.
2. Explicit. Gua dan Ninit sejauh ini cenderung explisit kalo milih cover. Ada gambar orang-orang karena kita pengen covernya ngerelate ke ceritanya. Bagi gua dari semua cover kita, yang paling bagus adalah cover testpack.
3. Permen. Warnanya extreme pink, extreme red. Cover-cover seperti ini lumayan menonjol disbanding buku-buku lain ketika mereka dipajang berbarengan.
III.1.2. Back Cover Comments
Back Cover comments (BCC) bukan faktor utama dalam orang memilih buku. Dan meski gua sendiri sampai sekarang masih pake, gua berencana agar buku gua berikutnya sudah gak make lagi. Kelemahan memakai BCC adalah: Orang yang lu minta BCC belum tentu ada waktu untuk baca buku lu karena dia sibuk. Lu juga gak bisa ngapa-ngapain karena posisi lu adalah minta ke dia. Lu juga gak mungkin marah-marah ke dia.
III.1.3. Synopsis
Jaman gua nulis buku, nerbitin buku tuh sedemikian susahnya sehingga ketika pada akhirnya Jomblo diterbitkan, gua mudah sekali bersaing dengan penulis-penulis lain. Tapi jaman sekarang udah beda. Pasar buku itu udah oversupplied. Dulu ketika orang punya uang 20000 dan pergi ke gramedia, dia gak punya banyak pilihan.

Jaman sekarang ketika dia pergi ke gramedia untuk beli buku fiksi, dia bingung. Ada berbagai judul untuk semua genre dan segmen umur. Di sini lah pentingnya sinopsis 1 paragraf di cover belakang. Sinopsis itu tidak akan membantu buku lu terjual. Sinopsis itu akan membantu orang memutuskan apakah dia akan membeli buku lu atau tidak.

III.2. Publishing
III.2.1. Penerbit yang benar
Industri buku dan outputnya yaitu dunia sastra, mengalami perubahan besar-besaran dari tahun 2004. Jaman dulu, masukin buku itu susahnya selangit. Gua masih mending ditolak 3 kali oleh 2 penerbit. Hilman Hariwijaya yang terpaut 10 tahun lebih tua dari gua, ditolak gak kurang dari 7 kali.

Intinya gini: sampai dengan tahun 2003, penerbit itu masih melihat buku sebagai medium penyaluran karya sastra. Mereka tidak melihat bahwa buku bisa juga sebagai medium hiburan seperti Jomblo dan Lupus. Setelah tahun 2003 baru lah mereka sepertinya sadar bahwa buku juga medium hiburan. Lantas semua penerbit beramai-ramai mencari naskah yang menghibur. Keluar label metropop, teenlit, de el el.

Sebenernya ini sah-sah aja, tapi imbasnya kebanyakan penerbit menurunkan standar kualitas teknik menulis dan penceritaan. Padahal seharusnya mereka tidak melakukan ini. Dari pendapat gua, seharusnya yang terjadi dalam industri buku fiksi adalah:
1. tetap menset standar yang tinggi untuk teknik penulisan
2. membuka mata lebih lebar untuk genre-genre hiburan.
Gara-gara ini tidak dilakukan, sekarang banyak sekali buku yang beredar. Dan dari semua yang gua pelajari, gua bisa bilang banyak juga dari buku yang beredar itu sub-standard dalam aspek yang berbeda-beda. Nah di sini gua delete beberapa contoh yang gua temukan karena gua mendapati ada orang-orang yang merasa, kelemahan-kelemahan yang gua spot itu bukan kelemahan. Ya sudah silahkan percaya sama masing-masing.
Yang jelas, penerbit tidak ingin kehilangan kesempatan memiliki lupus kedua sehingga mereka tidak memperhatikan kualitas-kualitas yang selama ini mereka junjung. Padahal kalo kita liat lupus dulu, meski pun konyol, dia tetap memakai teknik menulis yang descent. Dulu penulis harus sabar editor baca naskah 3 bulan. Sekarang, kasus paling parah yang gua pernah tahu adalah masukin siang, sorenya di-approve.
Makanya, berikut adalah hal-hal yang harus dicermati dari penerbit:
1. Jika approvalnya sangat cepat (1 hari), maka lu harus hati-hati. Logisnya, penerbit menerima puluhan jika tidak belasan naskah tiap hari. Kecil kemungkinan naskah lu bisa dibaca dalam 1 hari. Kalo responnya secepat ini, takutnya mereka gak care akan karya lu, mereka cuman gak pengen kehilangan kesempatan aja.
2. Dan lu harus selalu cari penerbit yang care pada penulisnya. Jangan masukin karya fiksi lu ke penerbit buku pertanian. Gak cocok. Lihat baik-baik genre lu dan genre dari penerbit lu.
3. Nisha Rahmanti yang pernah nulis Cintapuccino pernah bilang sesuatu yang valid : milih penerbit itu kayak milih pacar. Lu mesti cocok sama mereka. Ada beberapa penerbit yang sangat selektif dengan penulis-penulisnya sehingga penulis yang bernaung di bawah mereka tidak banyak. Tapi penulis-penulis yang mereka ambil sangat mereka sayang. Promonya didukung abis-abisan. Ada penerbit yang penulisnya sejuta umat. Tapi ketika lu telfon dan tanya bagaimana perkembangan mereka gak nanggep.
III. 2.2. Cara masukin buku ke penerbit
Gua sering mendapati penulis baru kirim draft ke gua minta kritik atau kirim draft ke penerbit tapi presentasinya gak representatif. Kita cuman dikasih amplop isinya draft dan dijepit. Daftar isi gak ada. Sinopsis gak ada. Keterangan penulis gak ada. Jaman sekarang, tiap penerbit itu menerima ratusan draft per bulan. Penerbit harus men-thin slice setiap draft untuk mulai membaca. Maksudnya thin slice, dalam waktu yang singkat dia harus menentukan mana yang harus dibaca duluan. Mereka butuh bantuan elu untuk memudahkan mereka membuat keputusan itu. Berikut adalah hal-hal yang sangat esensial kalo draft lu mau cepet dibaca:
1. Draft dijilid rapih. Ini agar halamannya gak lepas-lepas.
2. Kasih 1 halaman sinopsis menjelaskan isi cerita lu. Ini pentig banget agar dalam waktu singkat penerbit bisa memutuskan apakah draft lu lebih layak dibaca ketimbang ratusan draft lain di meja mereka.
3. Kasih ½ halaman A4 yang tentang mengapa menurut lu buku lu layak dibaca dan
diterbitkan.
4. Di dalam draftnya, pake halaman. Ini aja banyak yang melakukannya.
5. Di dalam draftnya, pake daftar isi. Ini akan membantu penerbit menerka flow dari
cerita dalam buku lu.
6. Kalo bisa dateng ke penerbitnya dan kasih langsung ke editor. Kalo ini sih gua aja.
Gua lebih suka mereka ketemu gua in person, agar lebih meyakinkan. Kalo beda
kota, kasih aja lewat pos atau lewat email, tapi 5 poin di atas harus ada.
III.3. Marketing
Gue menemukan banyak penulis yang ketika bukunya udah dicetak dia bilang
’Yang penting gua nulis buku’

Ini gua bilang sebagai mental seniman tapi gak bisa jualan. Trus, mereka bilang

‘Oh sori, buku gua karya seni, gak komersil kayak lo. (bikin darah tinggi gak sih?) Yang penting gua nyumbang sesuatu ke khazanah sastra Indonesia.’

Nulis buku kalo gak dibaca juga mereka gak akan dapet manfaatnya kali. Ngapain kita bikin karya seni tapi gak ada yang baca? Karya seni kita gak akan ada gunanya kalo gak ada yang baca. Jujur gua punya prinsip bahwa penulis yang baik itu adalah penulis yang bukunya dibaca banyak orang dan bukan untuk alasan komersil. Rantainya:
Buku kita punya nilai jual -> buku kita dibeli -> buku kita dibaca -> buku kita dikritik -> kita sebagai penulis, menerima kritik itu dan menjadi penulis yang lebih baik lagi.
Ada lagi penerbit yang bilang

‘ah penerbit X mah gencar promosi doang, isinya gak nyastra. Kita dong nerbitin karya sastra.’

Ini perkataan yang bener-bener pernah keluar dalam persaingan penerbit. Masalahnya, kalo kita nerbitin karya sastra, kita punya tanggung jawab lebih untuk masarin dengan lebih baik kan? Bukan kah karya sastra akan mencerdaskan kehidupan bangsa? Ini mereka gak lakukan.

Memang benar bahwa buku adalah karya seni tapi ketika karya seni itu dicetak 3000 kopi, karya seni itu berubah jadi prioduk massal yang mana kalo gak terjual, penulis akan rugi (baca rantai atas). Jadinya otak komersil kita juga mesti jalan. Otak yang komersil tidak melambangkan buku yang komersil juga kok. Otak yang komersil untuk karya tulis yang berseni akan menguntungkan semua pihak pembaca, penerbit dan diri kita sendiri untuk menjadi penulis yang lebih baik. Intinya: marketing itu penting dan mendukung kita menjadi penulis yang lebih baik.
III.3.1. Market your book
Bikin marketing plan untuk promo. Gak usah yang jelimet. Yang simple-simple aja tapi ngena. Biasanya setiap penerbit punya departemen promo dan ada baiknya lu cuti berapa hari dan diskusi dengan mereka mau promo seperti apa.

Berikut adalah hal-hal yang lu bisa lakukan untuk promo buku lu. Yang di bawah ini juga tanggung jawab departemen promo lu. Jadi jangan takut melakukan ini sendirian. Kalo penerbit lu bagus, departemen promonya biasanya ngerti ini:
1. temu wicara / road show di kampus-kampus
2. sediakan 50 kopi dan kirim ke media massa terkait untuk direview. Tapi ini gambling juga. Kalo buku lu jelek, lu dibantai.
3. targetin beberapa radio dan lakukan talk show di sana. Sesuaikan segmen radionya
dengan segmen buku lu. Kalo bikin chicklit gak perlu ke radio dangdut.
4. Bikin blog.
5. Gabung ke milis-milis, perkenalkan diri lu dan buku lu.

I know seklias baca di atas mungkin risih ya ih kok jualan. Dalam kasus gua, gua 3 tahun di marketing jadi gua sih ngerti kenapa sebuah barang itu mesti dipasarkan. Kalo kalian gak mau melakukan ini gak papa. It will not kill you if you don't do it.
Ya udah. Gitu aja. Semoga berhasil dengan buku pertama lu.
Semoga REVISI DARI posting ini membantu.
Rgds, Adhitya

kelas menulis Di rumah Dunia

KELAS MENULIS RUMAH DUNIA
Oleh Gola Gong

Seorang penulis harus memiliki kerendahan hati, dan seorang calon penulis harus belajar memiliki sikap ini. Namun sikap yang fatal bagi sang calon penulis adalah sikap cepat putus asa. (Ismail Marahimin, Menulis Secara Populer, Pustaka Jaya, 1994)
Setiap 3 bulan sekali, di Rumah Dunia dibuka “kelas menulis”. Sudah berlangsung sekak Januari 2003. Pada 9 Januari 2005, angkatan kelima mulai berlangsung. Januari 2007, tidak terasa, kelas menuils angkatan kesembilan digulirkan. Beruntunglah peserta kelas angkatan kesembilan, karena pemateri tamunya; Arswendo Atmowilo, Naning Pranoto, dan Sides Sudaryato. Agustus nanti, seusai ”Ode Kampung 2: Temu Komunitas Sastra se-Nusantara”, angkatan kesepuluh dibuka.

PEMATERI
Tapi, semua angkatan memiliki keberuntungannya sendiri. Pemberi materinya selain saya yang tetap, juga diselingi Toto ST Radik (puisi), Firman Venayaksa (Presiden Rumah Dunia sejak 2006) dan dari pihak luar; seperti Prana Badrun, dosen Sastra dan Bahasa Matlaul Anwar, Pandeglang tata bahasa), Iman Nur Rosyadi (jurnalistik/Sinar Harapan), Abdul Malik (jurnalistik/Redpel Radar Banten), Wan Anwar (dosen Sastra Untirta Serang), bahkan untuk memompa semangat mereka dalam menulis, saya mendatangkan penulis sungguhan dan penerbit bukunya.
Pada 2003 – 2004, para penulis yang sudah datang memberikan stimulans lewat proses kreatifnya adalah Helvy Tiana Rossa, Ahmadun Yosi Herfanda, Fahri Asiza, Pipit Senja, Ali Muakhir, Chavcay Saefillah, Hudan Hidayat, Asma Nadia, Hilman Lupus, Boim Lebon, dan Gusur. Tahun 2006 giliran Akmal Naesral Baser, Soni Farid Maulana, Jamal D. Rahman, Gus tf sakai, Kurnia Efendi, Nanang Supriyadi, Sugiyanto, Fira Basuki, FX Rudi Gunawan, dan Halim HD serta Herry Latief pun sempat mampir di tahun 2005. Di level penerbit ada Dar! Mizan, Gema Insani Press, Gramedia Pustaka Utama, Akoer, Ufuk, Senayan Abadi, Cakrawala, Gagas Media. dan Zikrul Hakim.
Dalam perjalanannya, ini sangat luar biasa. Pada angkatan ketiga, sudah bisa saya sisipkan di setiap pertemuan, testimoni dari para alumni kelas menulis sebelumnya, yang tulisan fiksi (cerpen) dan nonfiksinya (jurnalistik) dimuat di dua koran lokal; Radar Banten dan Fajar Banten, serta beberapa media masa nasional (majalah Aneka Yess, Annida, dan Mata Baca). Peserta angkatan pertama dan ketiga sudah berhasil membuahkan karya; seperti Qizink La Avia (Gerimis Terakhir, Dar! Mizan, 2004). Qizink sekaragn pengasuh rubrik sastra dan budaya di Radar Banten. Sebelumnya, Najwa termasuk di dalam 7 orang peserta kelas menulis angkatan pertama, yang bergabung dengan saya, Toto ST Radik, dan Tias Tatanka di antoloji cerpen “Kacamata Sidik” (PT. Senayan Abadi, 2004). Kini Ibnu Adam Aviciena (Bidadariku Di mana?, Beranda Hikmah) dan Firman Venayaksa (Sayap-sayap Ababil, Mandar Utama Tiga) menyusul Qizink dengan novelnya.. Aji Setiakarya – angkatan ketiga – sudah menerbikan kumcer ”Padi Memerah”. Dia sekarang jadi PJ Sastra dan Jurnalistik Rumah Dunia. Aji sesekali memberi materi juga di kelas menulis, walaupun tugas utamanya mengajari anak-anak kecil mengarang, membantu Tias Tatanka di ”wisata tulis”. Endang Rukmana - peraih Unicef Award 2004 kini kuliah di Fakultas Sejarah UI - lebih luar biasa lagi. Peserta kelas menulis angkatan pertama ini sudah menelorkan 5 novel di GagasMedia. Minggu 17 Juni 2007 lalu, Endang datagn memberi motivasi ke peserta kelas menulis angkatan kesembilan.

KETRAMPILAN BERBAHASA
Kelas Menulis Rumah Dunia awalnya hanya diperuntukan bagi pelajar dan mahasiswa agar bisa mandiri setelah jadi sarjana nanti. Tapi sejak 2005, guru, karyawan, bahkan pedagang pun ikut serta. Saya tidak tega melarang mereka yang ingin belajar menulis. Di kelas menulis ini, saya memberikan wawasan, bahwa menulis (wartawan atau pengarang) bisa dijadikan profesi terhormat, layak, dan cerah. Dari kelas menulis ini kelak akan muncul satu generasi baru di Banten yang cerdas dan kritis serta sanggup menuangkan gagasan-gagasannya lewat tulisan. Tapi, pesertanya terbatas. Setiap angkatan hanya berkisar 25 sampai 30 orang. Setiap calon peserta harus memberikan (contoh) karyanya; fiksi (cerpen/puisi) atau laporan jurnalistik (feature/news/essay). Dari contoh karya ini, calon peserta disaring. Bagi yang lolos, menunggu persaratan lain, yaitu harus ikhlas menyumbangkan sebuah buku kesayangannya ke Rumah Dunia. Pendidikannya sendiri tidak dipungut bayaran alias gratis.
Nah, saat kelas menulis dimulai, pada pertemuan pertama, para peserta harus maju satu persatu, memperkenalkan dirinya; mulai dari nama pemberian orang tua, tanggal lahir, motivasi ikut kelas menulis, buku-buku apa saja yang pernah dibaca, tertarik ke sastra atau jurnalistik, ingin jadi wartawan atau pengarang. Juga yang terpenting, mereka harus menyebutkan nama pena serta menjelaskan filosofinya. Dengan cara seperti ini, saya mencoba mengamati atau mengindentifikasi wawasan, emosi, serta pengelolaan bahasa atau pemilihan kata si peserta saat berbicara. Ismail Marahimin dalam “Menulis Secara Populer” (Pustaka Jaya, 1999) menulis, bahwa ada ketrampilan berbahasa yang perlu dikuasai untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain; yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan cara seperti ini, kelak selain mahir menulis, mereka juga mahir berbicara di depan orang banyak.
Saya juga menyarankan ke mereka, jangan buru-buru kepingin disebut penulis. Maksud saya, penulis dalam arti sesunguhnya. Berkarya, mengirimkan karyanya ke majalah, koran, dan penerbit, lalu berharap diterbitkan dan dapat honor. Kadang, suka ada para calon penulis yang langsung duduk di depan komputer. Menulis, tapi tidak jadi-jadi. Di Rumah Dunia, yang pertama saya sarankan, mereka banyak membaca karya fiksi orang lain dan terus mengisi jiwa mereka dengan banyak mengamati sekeliling supaya bisa peka (ranah afektif). Isi ceruk jiwa kita. Ismail Marahimin menulis lagi, bahwa hubungan membaca dengan menuilis cukup erat. Untuk dapat menulis, kita harus banyak membaca. Membaca adalah sarana utama menuju ke ketrampilan menulis. Membaca memberikan berbagai-baga ‘tenaga dalam’ (versi saya referensi) yang sangat dibutuhkan oleh penulis. Seperti dalam film-film silat, pesilat yang memounya tenga dalam tampak lebih hebat dari pesilat yang kosong. Ibarat mobil, jika tidak ada bensinnya, tentu mogok. Begitu juga dengan penulis, jika tidak suka membaca, berarti jiwanya akan kosong. Itu akan tercermin dari karya-karyanya yang tidak berjiwa.
Pertemuan kedua, selama sebulan, peserta akan diberikan marteri juralistik. Terutama unsur berita (5W + 1H; where, when, what, who, why, dan how). Metode ini sangat cocok untuk diaplikasikan ke dalam pernulisan fiksi. Misalnya saja unsur “where”; misalnya digunung, di rumah, di pasar. Semua peserta harus mencoba menuliskan imajinasinya tentang tempat-tempat tersebut. Dalam wilayah fiksi, ini dikategorikan setting atau latar tempat. Unsur “who”, peserta bisa menuliskan tentang karakter tokoh apa dan siapa. Setiap pertemuan, selain dikenalkan pada teori, selebihnya adalah praktek, yaitu menulis atau tepatnya mengarang.

PRAKTEK
Di bulan kedua, saya mengenalkan fiksi (prosa/puisi) selama 4 kali pertemuan. Kelas Menulis, tentu pesertanya harus terus berlatih menulis untuk mempraktekkannya. Ini tentu bertahap. Teori saja tidak cukup. Mengutip konsep Dave Meier; accelerated learning, belajar dengan mengerjakan pekerjaan itu sendiri. Di setiap pertemuan, saya menyuruh mereka menulis tentang berita, feature, sinopsis cerita pendek/novel, setting (waktu dan tempat), karakter, dialog. Teknik menulisnya, saya ajarkan yang konvensioal dulu. Lewat cerpen realis. Plotnya bergerak atau linear, belum banyak plot. Untuk plot dengan alur mundur atau flashback, belum dulu. Setiap minggu, mereka diberi pekerjaan rumah atau praktek menulis dan mengarang. Bisa laporan jurnalistik, hardnews, featrure (berita dan profil) dan cerpen. Pada minggu berikutnya, pekerjaan rumah itu harus dikumpulkan dan didiskusikan.
Biasanya praktek menulis ini bersinergi dengan Klab Diskusi Rumah Dunia, yang hampir setiap Sabtu mengadakan diskusi; pendidikan, budaya, launching novel, bedah buku, proses kreatif penulis, dan debat terbuka calon pemimpin di Banten. Pertunjukan seni/film pun jadi bahan tulisan mereka. Hajatan seperti “Ode Kampung 2: Temu Komunitas Sastra se-Nusantar” adalah ajang mereka menimba ilmu dari luar Banten. Para penulis seperti Ahmadun, Saut Situmorang, Acep Zam Zam Noor, Binhad Nurrohmat, Kurnia Efendi, Maman S Mahayana, Wowok Hesti Prabowo, Johi Ariadinata, dan masih banyak lagi. Para peserta kelas mneulis harus memiliki kesabaran untuk jadi penulis. Saya memberi tahu mereka, dalam rentang waktu dua tahun, harus terus berlatih menulis, menulis, dan menulis. Di sela-sela itu, kalau sudah ada yang bagus, saya menyarankan mengirimkannya ke media masa. Jadi, saya tidak menyarankan pada para calon penulis, yang ujuk-ujuk duduk di depan komputer, langsung menulis dan mengiimkannya ke media massa . Harus ada proses revisi, dibacakan ke teman-temannya. Harus mengisi jiwa kita dengan banyak membaca dan bepergian atau mengamati sekeliling.
Kepada alumni kelas pertama, saya sering menyuruh mereka pergi berpetualang, keluar dari rumah untuk melihat dan merasakan banyak hal. Itu sangat perlu agar tubuh dan jiwa kita tertempa serta tidak kosong melompong seperti “tong kosong nyaring bunyinya”. Berpikir (kognitif) terus lewat membaca tidak baik juga. Harus ada ranah afekif (merasakan) dengan cara bepergian ke tempat-tempat yang baru, tapi tidak mesti jauh. Dengan begitu, calon penulis seperti orang yang sedang berguru di padepokan atau shaolin temple. Mereka berlatih keras dengan mengisi tenaga dalamnya, sehingga ketika duduk di depan komputer, semua (para calon penulis) tahu apa yang akan dituliskannya, termasuk penggunaan tanda bacanya, bagaimana menggunakan tanda baca titik, koma, tanda seru, tanda tanya, dll. Jack Lamota alias Lawang Bagja, di awal 2007, kini pergi jauh jadi TKI di Ruwais, Dubai. Belum genap setengah tahun, cerpen-cerpennya yang beraromakan pemderitaan tnaga kerja Indonesia di Timur Tengah bermunculan. Satu cerpennya sudah dimuat Radar Banten. Saya sedang menyemangati Lawang untuk membuat kumcer tentang tnaga kerja Indonmesia. Ibnu Adam Aviciena sejak Februari 2007 kuliah S2 di Leiden, Belanda. ”Saya sedang menulis fiksi berlatarkan Belanda,” kata Ibnu lewat email.

KOMITMEN
Saya sudah berkomitmen untuk terus mendampingi mereka. Jika saya melihat ada karya dari peserta kelas menulis yang bagus tapi perlu direvisi, saya langsung merapatkan diri saya ke dia. Pokoknya, harus turun langsung. Tias juga membntu membaci cerpej-cerpn peserta kelas menulis. Bahkan saya membikinkan kategori ”Kelas Menulis” di situs www.rumahdunia.net. Itu semua stimulus yang saya bangun di kelas menulis; teori dan praktek terus beriringan.
Tak jarang, saya membantu merevisi karya-karya mereka. Dengan cara itu, mereka bisa mengenali di mana letak kekurangannya. Biasanya saya bilang, "Sekarang kamu kursus privat, deh, dengan saya!" Saya sediain waktu Sabtu dan Minggu, di sela-sela waktu luang. Bisa pagi, kapan saja. Kalau lelaki, saya suruh tidur di RD. Kadang pagi-pagi, belum mandi juga, saya sudah stand by di RD. Saya memberi masukan, bahkan, langsung membuka komputer. Karyanya saya baca, saya koreksi. Saya kasih saran, sebaiknya begini, begitu. Learning by doing. atau try and error. “Minggu depan revisiannya harus jadi!” kata saya. Para relawan Rumah Dunia yang bermarkas di lantai dua rumha saya; Langlang Randhawa, Rimba Alangalang, Muhzen Den, Reinhard Renn, Awi, dan Roy mendapatkan fasilitas ini.

PRESTASI
Untuk kelas menulis angkatan pertama, Qizink, Ibnu, Wangsa, Endang, Aad, Ade Jahran, Najwa Fadia. ternyata hanya butuh waktu setahun. Mereka sudah mahir menulis essay, cerpen, dan novel. Qizink kini wartawan Radar Banten. Aji Setiakarya coordinator suplemen “Radr Yunior” di Radar Banten. Endang Rukmana menyabet “Unicef Award 2004” atas essaynya yang menyabet juara pertama lomba essay UNICEF dengan tema anak Indonesia . Aad masuk di 20 besarnya. Kemudian pada IKAPI Book Fair 2004, essay Aad tentang pentingnya membaca menggondol juara pertama. Aad pada 2006 juga menyabet penulisan esay tentang tentang pemuda yang diadakan Kantor Menpora. Tercatat juga Yuanita Utami, peserta angkatan kelima, menruskan jejak Endang Rukmana. Yuanita menyabet ”Unicer Aaward 2006” dan Alfy Syahrani, angkatan ketujuh, menggondol penulisan essay tentang perpustakaan yang diselenggaran Perpusnas.
Di kelas menulis angkatan ketiga juga muncul 4 nama; RG Kedungkaban, Aji Setiakarya, dan Rimba Alangalang. Sedangkan di angkatan kelima hanya satu nama yang muncul; Asri Surtayati, pelajar SMA Kavling Cilegong, yang cerpen-cerpennya muncul di majalah Aneka Yess!

PESERTA ISTIMEWA
Kadang muncul rasa lelah di dalam diri saya atau bosan mendera. Atau terganggu pertanyaan, ”Bermanfaatkan kelas menulis Rumah Dunia ini?” Biasanya itu saya obati dengan menerima undangan sebagai pembicara di tempat lain. Dengan cara begitu, selalu ada suasana baru. Atau semagnat itu muncul lagi ketika datang peserta musiman dari luar Banten; Jakarta, Bandung, Depok, Subang. Mereka membaca informasi ini dari koran atau majalah yang memuat kegiatan Rumah Dunia.
Sepertyi ditahun 2005. Sebuah keluarga dari Palembang datang ke Rumah Dunia. Mereka menitipkan putrinya; Wanja Al-Munawar, untuk ikut di kelas menulis angkatan kelima. Wanja cuti kuliah dari Universitas Sriwijaya selama satu semester. Seusai mengikuti kelas, dia juga masih sempat bolak-balik ke Rumah Dunia untuk iukt writing camp, kegiatan puncak dari kelas menulis.
Selama 9 angkatan ini, writing camp baru dua kali diadakan. Saya mengenalkan langsung praktek mnentukan point of view (sudut pandang). Pematerinya selain saya, Firman Venayaksa, Toto Sradik, juga pernah mengundang Irfan Hidayatullah pada 2006 lalu. Dengan writing camp, saya berharp para peserta kelas mneulis bisa mengeluarkan kemampuan panca indranya untuk membaca alam, karena disanalah ide itu berada.
Juga ketika seorang penjual roti bernama Shodik (sekarang memakai nama pena ’Reinhad Renn’) datang ke Rumah Dunia dari Tangerang dengan mengayuh sepeda di akhir pekan. ”Saya ingin belajar menulis,” katanya bermandikan keringat. Atau di hari lain, ada seorang perempuan anak pengusaha di Banten, yang ingin menumpahkan ketertekananbatinnya dengan bwlajar menulis. Juga para guru yang minta diajari menulis. Tapi jauh melebihi itu semua, ketika tiba-tiba saja putri pertamaku; Nabila Nurkhalishah Harris menyelesaikan novel pertamanya; Beautiful Days, serta diterbitkan oleh Dar! Mizan pada Februari 2007 lalu. Jikas sudah begini, saya tidak akan menghentikan kelas menulis Rumah Dunia. Jika saya sakit atau Allah memanggil saya untuk pulang, saya yakin, generasi Firman Venayaksa serta para alumni kelas menulis akan mneruskannya, karena ”sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain”.

OPERASIONAL
Perlakuan saya pada mereka yang mahir menulis, sambil berjalan mulai memperkenalkan teknik penulisan lain serta target pembaca yang harus dibidik, sekaligus mempraktekkannya. Saya langsung mengajak mereka berlatih dengan tema-tema yang beragam. Mulai dari tema cinta, ktitik sosial, politik, dan human interest. Teknik penulisannya pun mulai dari realis, surealis, bahkan absurd.. Jika ada yang bagus tapi masih bolong-bolong, langsung saya tangani. Nongkrong bareng di depan komputer. Alhamdulillah. Hingga tahun 2007 kelas menulis Rumah Dunia sudah meluncurkan antologi cerpen:
1. Kacamata Sidik (kritik sosial politik, Senayan Abadi, 2004)
2. Harga Sebuah Hati (human interest, Akoer, 2005)
3. Padi Memerah (kritik sosial, MU3, 2005)
4. Masih Ada Cinta di Senja Itu (Senayan Abadi, 2005)
5. Dongeng Sebelum Tidur (Gramedia, 2006)
6. Pelangi Jatuh di Kotaku (kritik sosial politik, 3 Serangkai, 2008)
Saya juga mengenalkan kepada mereka, agar memahami target pembaca yang akan dibidik. Ini memang amat melelahkan. Tapi, kalau ingin membantu proses regenerasi memang harus begitu. Pada awal 2005 (Januari) nanti, saya sudah mengajak Qizink dan Ibnu menjadi editor awal untuk membacai cerpen-cerpen yang masuk dari peserta kelas menulis. Jadi, saya tidak akan menerima cerpen mentah. Mereka dulu yang nyeleksi cerpen itu, terutama dari pengunaan tanda bacanya. Proses revisi ada di mereka. Setelah 90%, baru ke saya untuk finishing touch.
Begitulah yang saya maksud dengan harus sabar kalau ingin jadi penulis. Ada proses dan prosedur yang harus dilewati. Dua tahun waktu yang ideal. Tapi, setahun bisalah jika mereka bekerja keras; menulis, revisi, menghadiri diskusi, launching dan bedah novel, dan tentu saja membaca. Dengan melewati itu, percayalah, kelak akan muncul para penulis yang konsisten dan tahan lama, bukan instan atau karbitan.
Produk-produk dari “Kelas Menulis Rumah Dunia” itu tak bisa dilepaskan dari biaya operasional atau uang kas Rumah Dunia. Selain dari zakat perseorangan, dari produk-produk antoloji cerpen dan novel perorangan itulah, kas Rumah Dunia kecipratan rezeki. Terutama untuk dana Program 2005. Jika sebuah antoloji cerpen diterbitkan, 50% royalti/honorarium penulis disumbangkan ke Rumah Dunia. Sedangkan untuk novel perorangan, cukup 25% saja. Pada tutup tahun ini, alhamdulillah, kami menyisihkan sedikit rupiah dan berhasil menyicil motor (dinas Rumah Dunia) untuk operasional. Kami mesti menyicil selama 18 bulan. Insya Allah, akan teratasi. Dana “Program 2005 Rumah Dunia” ini tidak dipakai untuk biaya makan para volunteer, tapi murni untuk kegiatan, yang difokuskan pada penembangan bakat anak-anak (siswa), pemuda (siswa, pelajar, dan mahasiswa) Banten, yang ingin maju tapi tertindas dan terpinggirkan secara ekonomi.

CINTA
Percayalah, membangun Banten itu tidak perlu dengan sok tau ikut-ikutan mengurusi masyarakat dengan cara merasa berhak mengambil dana APBD. Biarlah itu urusan para birokrat dan pejabat di pemerintahan. Mereka ‘ kan kita bayar untuk mengurusi kita. Kami melakukan kegiatan dalam bentuk partisipasi masyarakat dengan rasa cinta dan keikhlasan untuk berbagi.
Tulisan John Gerassi tentang Che Guevara di biografi “Che Guevara, Revolusi Rakyat” (Teplok) perlu disimak, “Cinta tidak mungkin ada diantara tuan dan budak. Bahwa hubungan tuan-budak harus dihancurkan. Che tahu, bahwa sekali dihancurkan, hubungan yang baru – cinta -- tidak tumbuh dengan sendiirnya. Cinta tidak keluar dari perbuatan dari atas. Ia datang dari akar, rakyat, bekerja di dalamnya dari bawah. Cinta bukanlah kilatan cahaya atau sebuah peristiwa mistik yang berlangsung cepat. Ia adalah sebuah upaya. Ia merupakan sesuatu yang bisa dibangun manusia dengan cara bekerja padanya. Sebelum masyarakat bisa bekerja pada cinta mereka dan merasa senang dengan kegembiraan orang lain, merasa puas dengan memuaskan orang lain, mereka terlebih dulu harus mampu berkomunikasi dengan maksud mereka sederajat. Orang kaya yang “mencintai” orang miskin adalah penawaran belaskasihan bukan cinta. Dia yang ingin menjadi generasi cinta terlebih dahulu harus menghancurkan generasi benci, yang didukung oleh orang-orang serakah, orang yang serba tahu dan oleh para majikan.”
Nah, Rumah Dunia dibangun berdasarkan cinta dari para volunteernya, dari orang-orang di sekitarnya, dari rakyat yang tertindas dan yang terpinggirkan. Kami bekerja pada “cinta” itu sendiri. Kami bahkan memposisikan diri sebagai pelayan bagi rakyat. Tapi, kami tidak mengatasnamakan siapapun, kecuali pada sebuah generasi baru yang kritis, cerdas, dan siap melawan kebatilan yang terjadi di Banten lewat pena! Maka, orang-orang yang selalu menggerogoti kekayaan Banten untuk dirinya dan kepentingan sekelompok orang, bersiap-siaplah menghadapi pena kami!
Rumah Dunia, Desember 2004 – 27 Juni 2007
www.rumahdunia.net
www.keluargapengarang.wordpress.com
www.golagong.com

tips menulis cerita pendek...

Kiat/Ilmu Penulisan
Apakah Cerita Pendek Itu?
Penulis: Rinurbad

Mengarang cerita pendek susah-susah mudah. Sebagai langkah awal, ketahuilah elemen-elemen penting dalam sebuah cerita pendek seperti yang dikemukakan pada situs Webcom.com.

1. Jenis kelamin tokoh utama: pria atau wanita

2. Pekerjaan atau profesi tokoh utama: unsur ini menjadi dasar konsep kehidupan sehari-harinya, pertimbangannya, tingkat pendapatannya, bakatnya, dan seterusnya.

3. Karakter idola: pola karakteristik yang muncul dalam kelompok kejiwaan manusia, dan terulang dengan sendirinya secara eksternal" (dari Inner Work oleh Robert A. Johnson) tipe-tipe dalam kisah boleh universal atau tidak, mulai dari Robin Hood sampai Paus.

4. Simbol atau Objek Kunci: sebilah pisau membuat Anda berpikir tentang apa? Bagaimana dengan sikat rambut? Objek-objek dalam keseharian ini dapat digunakan untuk merancang tema cerita atau menjadi kunci plot cerita.

5. Setting: waktu dan/atau tempat kisah ini berlangsung.

6. Tema: isu psikologis/spiritual/moral untuk tokoh protagonis lebih besar dari kekuatan tokoh jahatnya.

Cerita Anda tidak perlu selalu mengandung unsur-unsur ini. Cerita Anda mungkin berkembang dengan sendirinya pada bagian-bagian tertentu dan menambahkan detil-detil menarik. Atau mungkin Anda mempunyai gambaran tokoh yang lebih baik, disertai plot yang masuk akal, tetapi ingin unsur-unsur ini lebih berarti tanpa mengetahui apa yang harus Anda lakukan. Dalam beberapa kasus, unsur yang dipilih secara acak menghasilkan alur pikiran yang lebih sesuai untuk penulis, tetapi jangan ragu-ragu membuang satu atau dua unsur yang Anda anggap tidak relevan!



Sedangkan situs www.shortstorygroup.com memberikan keterangan mengenai karakter cerita pendek untuk memperjelas gambaran dan arah penulisan kita, yaitu sebagai berikut:

1. Memiliki tema yang jelas.

2. Tentang apa cerita ini? Pertanyaan ini mempertanyakan pesan atau pernyataan di balik kata-kata yang ada. Lakukan dengan benar dan kisah Anda akan terkenang lama dalam benak pembaca.

3. Cerita pendek yang efektif mencakup satu periode yang singkat.

4. Mungkin hanya satu kejadian dalam hidup si tokoh utama, dan kejadian itu yang menghiasi tema.

5. Tokohnya sedikit.
Setiap tokoh baru membawa dimensi baru pada cerita yang Anda tulis, karena itu pastikan beberapa tokoh saja cukup untuk mendukung tema yang ada.

6. Pastikan setiap kata berguna.
Tidak ada tempat untuk perpenjangan kalimat di dalam cerita pendek. Setiap kata yang tidak mendukung gagasan harus dibuang.

7. Fokus.
Cerita yang baik mengikuti satu jalur cerita. Apa topik cerita Anda? Anda harus membuat jalur yang singkat dan sempit, kalau tidak cerita Anda akan berakhir dalam bentuk awal sebuah novel atau setumpuk ide yang tidak menghasilkan apa-apa.

Sebagian tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Lembar Klab Baca Pramoedya, terbit di Bandung.

Sabtu, 11 Oktober 2008

perhatian penerbit pada penulis

Republika Minggu, 13 Januari 2008 | Selisik

Perhatian Penerbit Pada Penulis
------------ --------- --------- -
>> Anwar Holid

SELISIK saya di awal tahun 2008 ini agak murung. Bukan karena di
bulan Januari ini kita hampir tiap hari diguyur hujan, tapi karena
saya mendengar kabar buruk buat penulis. Kabar itu ialah minimnya
perhatian penerbit pada judul atau penulis tertentu.

Dalam pertemuan penerbit-penulis- peresensi di acara Kompas-Gramedia
Fair (KGF) 2007 di Sabuga, saya mendapati fakta bahwa penerbit besar
seperti Elexmedia saja tak menyediakan dana untuk launching setiap
buku. Yang dianggarkan ialah dana promosi untuk keseluruhan buku,
terutama dalam setiap acara yang diikuti penerbit. Jelas ini membuat
setiap judul sulit menonjol, minimal sekali saja persis begitu
terbit. Memang kesempatan sebuah buku bisa menonjol masih terbuka,
misalnya terpilih ikut disertakan dalam iklan ramai-ramai di koran,
atau karena pertimbangan tertentu, judul tersebut dipajang poster X-
bannernya. Contoh Cherish Every Moment karya Arvan Pradiansyah (Elex,
2007), yang X-bannernya dipasang persis di gerbang ruang utama
pameran KGF. Baik Arvan dan bukunya tak muncul dalam rangkaian acara
KGF, tapi bisa jadi karena dua buku dia sebelumnya (Life is Beautiful
dan You Are a Leader!) termasuk bestseller, Elex memutuskan
mengiklankan buku ke-3 dia.

Harus diakui penerbit memang penuh pertimbangan dalam mengiklankan
buku. Baru ketika sebuah judul mampu mengangkat reputasi penerbit dan
jelas mendatangkan keuntungan, mereka mau berisiko mempromosikan
buku.

Ada alasan tertentu kenapa penerbit cenderung hanya mau mendukung 1 -
2 judul bestseller dalam anggaran mereka, yaitu masalah posisi tawar
penerbit terhadap toko buku. Makin bestseller, makin banyak
diperbincangkan sebuah judul, akan membuat penerbit punya daya tawar
bahwa produknya laku dan menguntungkan toko. Harapannya penerbit bisa
menegaskan dan berharap lantas produk mereka lainnya bisa ikut
terangkat dan terdisplay dengan pantas. Hukum pasar berlaku. Wajar
bila penerbit berhitung atas setiap rupiah pengeluaran. Memang
penerbit hingga sekarang masih penasaran apa bedah buku dan
sejenisnya beriringan dengan larisnya sebuah judul.

Salah satu aspek yang juga patut diperhatikan ialah ada baiknya
seorang penulis memiliki event organiser atau 'publisis' yang mau
fokus terus-menerus mengusahakan promosi bukunya. Kondisi ini
sebenarnya kurang ideal bagi penulis, sebab secara finansial
keuntungan penulis rata-rata hanya 10 per sen dari harga buku. Coba
bayangkan kerepotan penulis harus mencari rekan kerja yang mau
menggulirkan terus ide-ide penerbitan bukunya, belum soal biaya.
Penulis lain, terutama dari kalangan motivator dan manajemen,
menyertakan penjualan bukunya dalam paket training atau seminar yang
dia adakan. Perimbangan keuntungan dengan cara seperti ini lebih
masuk akal; penerbit dan penulis mendapat bagian masing-masing,
sedangkan angka penjualan bisa terus bertambah. Tapi memang sudah ada
banyak contoh betapa buku yang dipromosikan dengan gegap gempitan
(istilahnya 'hype') dengan pantas berbuah jadi bestseller.

PROMOSI pasti berhubungan dengan anggaran, harapan keuntungan, dan
tujuan yang ingin dicapai penerbit; tapi kesan bahwa penerbit pilih
kasih dan kurang perhatian pada terbitan mereka jadi sulit dihindari.
Penulis yang punya energi dan dana lebih kadang-kadang mesti rela
merogoh kantong sendiri untuk berbagai keperluan, baik diskusi,
imbalan resensi, bahkan sejenis promosi dari satu tempat ke tempat
lain. Terbayang betapa 'pengorbanan' penulis yang amat besar buat
bukunya, bahkan akhirnya jadi terasa berlebihan karena kurang
didukung sungguh-sungguh oleh penerbit. Pernah saya dengar pengakuan
tentang penulis yang sampai mesti mengeluarkan uang untuk pembicara
agar mau mengkritik karyanya atau tambahan biaya konsumsi diskusi
bukunya, sementara meminta penerbit serius menyediakan buku untuk
komplimen bagi para rekanan media atau orang yang relevan saja agak
sulit.

Kira-kira setahun lalu saya pernah ketemu penulis muda yang berambisi
agar bukunya mesti disokong promosi, iklan, training, dan sebagainya,
agar idenya bisa massif di ruang publik dan mempengaruhi pembaca
sebanyak mungkin---mirip yang terjadi pada 'ESQ' karya Ary Ginanjar.
Jelas sulit mencari penerbit yang mau setuju dengan klausulnya.
Mendengar itu, saya sengaja mendukung dia dengan bilang
begini, "Terbitkan sendiri saja mas, kan Anda yakin betul dengan
rencana untuk buku itu, apalagi perangkat pendukungnya juga lengkap,
termasuk klik yang siap membantu Anda. Biar semua yang Anda impikan
terwujud dan porsi terbesar keuntungan dari penerbitan itu persis
jatuh ke tangan Anda." Rupanya buku dia akhirnya diterbitkan sebuah
penerbit besar. Tapi barangkali anggaraan promosi untuk buku itu
tetap minim, buku dia terbit begitu saja, tanpa iklan atau rencana-
rencana besar sebagaimana dia impikan. Jelas keinginannya buyar. Saya
berharap, apa pun yang terjadi pada bukunya, semoga buku itu masih
bisa merebut perhatian pembaca, terutama ide-ide orisinal yang keluar
dari kesungguhannya mencerap pemikiran.

Barangkali ada porsi yang patut dilakukan penerbit terhadap judul dan
penulis tertentu. Memang ada penerbit yang agak menolak anggapan
bahwa penerbit adalah pihak yang paling besar mendapat porsi
keuntungan sebuah buku, dengan bilang bahwa pihak yang paling besar
mendapat porsi keuntungan ialah toko buku.

Wah, lepas dari kondisi yang tampak kurang ideal itu, saya berharap
perhatian penerbit terhadap penulis terus meningkat, setidaknya kerja
sama kedua belah pihak itu lebih berimbang. Bila begitu, barangkali
nada murung dalam Selisik bisa sedikit lebih berkurang.[]

Note: Cherish Every Moment (Arvan Pradiansyah) terpilih sebagai salah
satu buku nonfiksi terbaik 2007 versi Ruang Baca Koran Tempo. Kata
Hernadi Tanzil, "buku ini memberikan pesan yang singkat tapi sarat
makna dan menginspirasi agar hidup kita semakin berkualitas, bisa
menikmati hidup yang indah setiap saat, dan menjadi berkat bagi
sesama kita di mana pun dan apa pun yang kita hadapi pada saat ini."
Beberapa orang telah meresensi buku ini, antara lain Akmal Nasery
Basral, Ratih Poeradisastra, Audifax, Wawan Eko Yulianto, juga saya.
Selain mengelola ILM (perusahaan HRD), Arvan Pradiansyah dikenal
sebagai pembicara publik dan motivator. Di radio Ramako, setiap Jumat
pukul 07.00 - 08.00 pagi dia menjadi host talkshow 'Friday Spirit',
tampil sebagai 'personal inspirator.' Cherish Every Moment kini
tengah cetak ulang, dijadwalkan beredar lagi pada awal Februari 2008.
Cetak ulang ini membuktikan bahwa buku-buku Arvan bisa diserap pasar
dengan baik.

ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku
Bandung.

KONTAK: 08156140621 - (022) 2037348 | wartax@yahoo. com | Panorama II
No. 26 B, Bandung 40141

menerbitkan buku secara indie

Senang rasanya mengetahui ada orang yang punya keinginan untuk
menerbitkan hasil karyanya sendiri. Sebab, dengan berani menerbitkan
hasil karya sendiri, berarti Arswendo telah memposisikan diri sebagai
seorang penulis sekaligus pengusaha, yang mana nantinya akan
memberikan dua efek sekaligus, yaitu kepuasan materi dan immateri.

Dari segi kepuasan materi, Arswendo akan mendapat laba penjualan novel
tersebut yang jumlahnya pasti lebih besar daripada royalti yang
didapat jika Arswendo menerbitkannya melalui penerbit lain. Sedangkan
dari segi kepuasan immateri, Arswendo akan merasakan kebanggaan yang
tak terkira karena hasil karyanya telah menjadi sebuah buku dan dapat
dinikmati banyak orang.

Kelebihan dari penerbitan indie adalah bahwa kita yang memegang semua
kendali atas proses penerbitan hasil karya kita. Dari mulai awal
proses penulisan sampai dengan pendistribusia kita bisa mengatur
waktunya sesuai dengan keinginan kita. Hal ini jauh berbeda apabila
kita mengirim naskah kita ke sebuah penerbit. Kita harus menunggu
seleksi, kemudian menunggu proses editing, pracetak dan sampai proses
cetak yang semuanya bisa memakan waktu dari 6 bulan hingga tahunan.

Nah, bagaimana kiat-kiat untuk dapat menerbitkan novel secara indie
label? Jawabannya ada di bawah ini.

1. Naskah.

Poin ini pasti sudah jelas. Sebelum melakukan berbagai proses
penerbitan, kita harus memiliki sebuah naskah. Naskah dapat diperoleh
melalui menulis sendiri atau memperoleh dari orang lain.
2. Editing.

Setelah kita memiliki sebuah naskah, maka tahap selanjutnya adalah
proses editing. Proses ini bertujuan "mempercantik" naskah yang telah
kita miliki agar nantinya dapat dinikmati oleh pembaca.

Jika kita belum mempunyai seorang editor tetap, kita bisa menggunakan
jasa editor freelance.
3. Layout.

Pada tahap ini, naskah yang telah di-edit, kemudian di-layout menjadi
sebuah buku sesuai spesifikasi yang telah kita tentukan sebelumnya.
Proses layout ini mencakup layout isi dan cover yang juga bisa kita
out-sourcing kepada para designer freelance.

4. Cetak.

Setelah proses layout selesai dan kita sudah yakin akan tampilan isi
dan perwajahan buku kita, sekarang saatnya kita mencetak buku
tersebut. Saat ini, sepanjang yang saya ketahui, para penerbit indie
mencetak sebanyak 3000 eksemplar pada proses cetak pertama.

5. Distribusi.

Setelah buku tercetak, pekerjaan kita selanjutnya adalah
mendistribusikannya ke toko-toko agar pembaca dapat membeli buku
tersebut. Dalam mendistribusikan buku-buku itu kita tidak perlu
mengantarnya sendiri ke setiap toko buku, karena selain hal ini tidak
efisien dan membuang banyak waktu serta tenaga, juga sangat tidak
efektif, sebab kemampuan kita untuk mendistribusikan buku itu sendiri
tidak akan bisa mencakup seluruh toko yang ada di Indonesia, padahal
kita ingin agar buku-buku yang telah kita terbitkan itu bisa dipajang
di seluruh toko di Indonesia. Lantas, bagaimana solusinya?

Solusi terbaik adalah menggunakan jasa distributor. Dengan menggunakan
jasa distributor, semua buku kita akan tersebar ke seluruh toko buku
di Indonesia. Biasanya para distributor itu akan meminta bagian
sekitar 35% hingga 55% dari harga buku kita.

Nah, demikian kiat-kiat yang mungkin bisa membantu Arswendo dan
teman-teman lainnya.

Mengenai HAKI, setahu saya dalam menerbitkan novel tidak perlu
mengurus HAKI. Hanya saja, apabila ingin buku kita bisa diterima oleh
toko-toko buku besar, biasanya kita diminta untuk memiliki nomor ISBN
terlebih dahulu, dan pengurusan ISBN ini dapat dilakukan di Perpusnas
dengan biaya Rp25.000,-

Semoga membantu.

Ovan

Hp.0818-123217

menangkap inspirasi

Penulis: Octaviana Dina

Setiap penulis pasti pernah mengalami kebuntuan dalam menulis.
Mendadak macet di tengah-tengah proses penulisan, atau justru melempem
saat baru ingin mulai menulis. Penyebabnya karena padamnya lentera
inspirasi. Jalan pikiran menjadi gelap. Alhasil sang penulis terjebak,
tak tahu harus melanjutkan ke arah mana. Tak ubahnya bagai perahu
layar yang mendadak berhenti melaju akibat mati angin. Tidak maju,
tidak pula mundur. Hanya mengapung-apung di tengah samudera. Jika
sudah begitu, haruskah penulis berhenti menulis sementara menunggu
kembalinya inspirasi?

Inspirasi adalah motor penggerak bagi penulis. Kehadirannya memang tak
bisa ditebak. Kadang datang begitu saja tanpa diminta, kadang tak
kunjung tiba meski sudah dinanti-nanti. Lantas bagaimana seandainya
inspirasi tidak datang juga setelah sekian lama, haruskah penulis
hanya terus menunggunya? Tentu saja tidak, karena jika seorang penulis
baru menulis setelah inspirasi yang ditunggunya tiba, ini akan
menyulitkan si penulis itu sendiri. Ia sulit menjadi produktif apabila
hanya mengandalkan kedatangan inspirasi alias hanya pasif menunggu
sampai inspirasi itu hinggap di kepalanya. Oleh sebab itu, penulis
harus aktif mencari inspirasi. Menangkap inspirasi.

Di mana inspirasi berada? Thornton Wilder (1897-1975), seorang novelis
dan penulis sandiwara terkenal asal Amerika, berkata demikian: "bahan
mentah karya-karya besar hanyut mengapung mengitari dunia, menunggu
untuk dibungkus kata-kata." Dengan kata lain, inspirasi ada di
mana-mana. Dunia di sekeliling kita adalah harta karun inspirasi yang
terus bertambah jumlahnya seiring dengan perjalanan waktu. Setiap hari
selalu ada yang baru. Matahari di hari Senin tak pernah seratus persen
sama dengan Matahari di hari Selasa keesokan harinya. Lagu X yang kita
nikmati di bawah langit cerah pastilah menghasilkan nuansa berbeda
dengan lagu X yang sama yang kita nikmati saat langit kelabu berhujan.
Selalu ada sesuatu yang baru. Betapa melimpahnya inspirasi itu di
sekitar kita. Keseharian kita sesungguhnya bertaburan inspirasi :
filem, berita, buku, musik, langit, bunga, kucing, pakaian, tutur
kata, gerak-gerik, tatapan mata, deru mobil, angin sore, lilin yang
menyala, bulan purnama….; terlalu banyak untuk disebutkan. Itu hanya
sebagian kecil dari sarang inspirasi.

Inspirasi selalu sedang menunggu kita, para penulis, untuk menemukan
dan menangkapnya. Dan kita pasti bisa, sebab kita semua telah
diperlengkapi dengan seperangkat alat penangkapnya: indera. Jadi,
apapun aktivitas keseharian atau kegiatan favorit kita, jangan biarkan
inspirasi berlalu begitu saja tanpa arti. Jangan biarkan filem yang
kita tonton, musik yang kita nikmati, buku yang kita baca, berita yang
kita dengar, kejadian yang kita saksikan, orang-orang yang kita temui
dan sebagainya, lewat dan sirna tanpa kita sempat menangkap inspirasi
yang bertebaran di dalamnya.

Tangkaplah inspirasi itu. Lalu catat dalam sebaris atau dua baris
kalimat agar jangan sampai hilang terlibas keseharian kita yang lain
sebelum akhirnya kita menjadikannya sebagai nafas dari tulisan kita
kemudian.

Jakarta, Juni 2007

Fiksi Islami, antara konsptual dan industri

Tulisan ini terinspirasi oleh komentar mas Sakti Wibowo yang dimuat
pada kata pengantar untuk novel "Dan Cinta pun Rukuk" karya Dhani
Ardiansyah dan Lulu L Maknun. Berikut cuplikannya.

"…. Hampir seluruh penerbit fiksi Islam, di tahun 2007 ini
mengeluh. Dunia penerbitan fiksi Islam sedang mengalami titik
kejenuhan yang parah, oleh sebah ceruk kecil itu sekarang begitu sesak
pemain. Penjualan fiksi Islam mengalami terjun bebas, dan begitu
banyak judul yang jeblok di pasaran.

Penulis-penulis yang dulu berbondong-bondong menjadi penulis fiksi
Islam, kini juga sudah mulai berbondong-bondong lagi menjadi penulis
fiksi umum…."

Saya mencoba berbaik sangka terhadap mas Sakti Wibowo atas kutipan di
atas. Saya yakin mas Sakti tentu punya pemahaman yang sangat luas
mengenai konsep "fiksi Islam". Tapi entah kenapa, saya merasa amat
tergelitik membaca tulisan itu, dan akhirnya menggerakkan saya untuk
menulis artikel ini.

Saya tak akan bicara soal perkembangan sastra islam, khususnya
kebangkitannya kembali setelah FLP berdiri. Sudah demikian banyak
tulisan yang membahas hal ini. Kali ini, saya hanya akan membahas satu
di antara fenomena sastra Islam yang menggejala (bahkan memprihatinkan
sebenarnya) pada era tahun 1997 hingga 2004 lalu.

Saat itu, banyak sekali penerbit yang menerbitkan sastra Islami. Bukan
hanya penerbit Islam (maksudnya, penerbit yang memang benar-benar
punya misi dan visi untuk menyebarluaskan nilai-nilai Islam lewat
buku), tapi juga penerbit umum yang hanya berorientasi bisnis semata.

Saat itu pula, buku-buku fiksi dengan label "Islam" (seperti NORI -
novel remaja islami - di DAR! Mizan, dan Fikri - fiksi remaja islam -
di Gema Insani) laris manis di mana-mana. Maka, banyak sekali penerbit
yang berlomba-lomba menerbitkan buku fiksi dengan label "cerita Islami".

Saya pernah bertanya kepada seorang editor di sebuah penerbit Islam.
Dia memang mengakui bahwa cerita-cerita Islami sedang tren dan laku keras.

Di satu sisi, kita sebagai umat Islam memang bangga dengan fenomena
ini. Ini artinya bahwa nilai-nilai Islam semakin populer dan bisa
diterima oleh khalayak ramai. Alhamdulillah, kita patut bersyukur.

Tapi di sisi lain, ini juga sebenarnya bisa menjadi bumerang
tersendiri. Saya tak akan berpanjang-panjang dalam teori. Tapi
komentar mas Sakti Wibowo di atas, bagi saya sudah merupakan bukti
yang sangat nyata.

Komentar tersebut membuat saya bertanya-tanya, "Apakah jika seorang
penulis menerbitkan buku umum, apakah bukunya itu dijamin tidak islami?"

Terus terang saya sering merasa bingung ketika mendengar pembicaraan
antara editor sebuah penerbit Islam dengan seorang penulis:

"Saya mau mengirim naskah ke penerbit Anda," ujar si penulis.
"Apakah penerbit Anda hanya menerbitkan buku-buku Islam?"

"Tidak. Kami juga menerbitkan buku-buku umum, kok," jawab si
editor dengan santainya.

Ini bukan pembicaraan fiktif semata, tapi saya seringkali mendengar
pembicaraan semacam itu.

Dan lewat komentar mas Sakti di atas, saya seperti kembali
mendengarkan pembicaraan yang sama, dalam susunan redaksional yang
berbeda. Sebuah ungkapan yang di telinga saya terdengar sebagai sebuah
pemikiran yang berbau sekularisme. Sebuah ungkapan yang seolah-olah
berisi penegasan bahwa "novel-novel yang tidak diberi label Islam
adalah tidak Islami".

Ya, seandainya ucapan seperti itu keluar dari seorang editor dari
penerbit umum, terlebih lagi jika dia bukan beragama Islam, saya akan
sangat maklum. Tapi jika keluar dari seorang editor dari penerbit
Islam, yang selama ini dikenal memiliki visi dan misi untuk berdakwah
lewat penerbitan buku, terus terang saya agak merasa bingung.

Maka saya kira, dalam hal inilah kita perlu bijak dalam membedakan
mana "fiksi islam" dalam konteks industri dan mana "fiksi islam" dalam
konteks konseptual.

Dalam konteks industri, kita memang tak bisa menafikan bahwa para
penerbit mau tidak mau harus memberikan label tertentu pada buku-buku
terbitan mereka. Tujuannya tentu saja agar buku tersebut dibaca oleh
segmen yang tepat, sesuai dengan konsep marketing mereka.

Maka, penerbit pun memberikan label "cerita islami" pada novel
tertentu, dengan harapan agar novel tersebut dibaca oleh kalangan
pembaca yang familiar bahkan cinta terhadap nilai-nilai Islam. Jika
segmen pembaca mereka adalah anak-anak ABG yang doyan pergi ke mal dan
jarang shalat, mereka tak akan memberi label "cerita islami" pada
novel tersebut.

Lagipula, karena novel-novel berlabel "cerita islami" sedang tren di
mana-mana, para penerbit pun berlomba-lomba memberikan label seperti
itu pada novel-novel yang mereka terbitkan.

Dan kini, ketika penjualan novel-novel yang berlabel "cerita islami"
anjlok drastis atawa terjun bebas, maka para penerbit pun membuang
label "cerita islami" dari buku-buku mereka. Sepanjang pengamatan
saya, DAR! Mizan termasuk penerbit yang cukup antisipatif terhadap
masalah ini. Ketika mereka melihat bahwa prospek penerbitan cerita
islami mulai turun, mereka segera mendirikan Penerbit Cinta yang
bersifat umum.

Ya, memang demikianlah sistem kerja sebuah industri. Kita tak bisa
menyalahkan mereka.

* **

Dalam hal konseptual, saya kira pengertian "fiksi islami" atau "sastra
islami" atau "cerita islami" benar-benar jauh berbeda dengan
"definisi" ala industri di atas. Agaknya saya tak perlu berpanjang
lebar menjelaskan bagaimana definisi yang konseptual mengenai cerita
islami. Sudah demikian banyak artikel yang membahas masalah ini. Yang
jelas, novel-novel terbitan Gramedia atau Gagasmedia pun bisa saja
Islami. Bahkan novel-novel yang di dalamnya sama sekali tak ada
simbol-simbol Islam pun bisa saja sangat islami. Sekadar reminder,
saya pernah membahas film "30 Hari Mencari Cinta" yang menurut saya
memiliki pesan moral yang Islami.

Islam adalah masalah NILAI yang terkandung di dalam sesuatu, BUKAN
SIMBOL yang dihadirkan oleh sesuatu tersebut.

Dalam hal inilah saya merasa tergelitik membaca komentar mas Sakti di
atas. Okelah, saya mencoba berbaik sangka. Mas Sakti tentu sangat
paham mengenai definisi yang konseptual mengenai "fiksi islami".

Namun, kenapa komentar seperti di atas masih muncul dari pikiran dan
goresan pena Mas Sakti? Dugaan saya, mungkin ini disebabkan mas Sakti
selama bertahun-tahun menjadi editor di penerbit. Dan tanpa sadar,
pikiran beliau sudah "dirasuki" oleh definisi sastra islami ala
industri. Semoga ini hanya prasangka buruk dan saya mohon maaf jika
memang keliru.

* * *

Bagi seorang muslim yang telah paham mengenai konsep "fiksi islam"
yang sejati, saya kira anjloknya atau terjun bebasnya penjualan
buku-buku berlabel "Islam" sama sekali tak perlu dikhawatirkan. Tak
ada yang perlu disesali. Biarkan saja. Memang dunia industri seperti
itu. Suka naik turun. Berubah-ubah semaunya.

Kenapa kita tak perlu khawatir? Sebab yang anjok itu hanya labelnya.
Apalah arti sebuah label! Yang penting nilai-nilai Islam di dalam hati
dan pikiran kita tidak ikut anjlok. Yang penting muatan nilai-nilai
Islam di dalam tulisan-tulisan kita tidak ikut anjlok bahkan hilang.
Dan bagi penerbit: yang penting nilai-nilai islam tetap berkibar di
dalam buku-buku terbitan mereka, walau buku-buku itu sama sekali tidak
ditempeli label-label berbau Islam.

* * *

Dan kalau bicara soal strategi, saya kira banyak kiat yang bisa kita
lakukan untuk menyiasati kelesuan industri fiksi islam saat ini.

Bagi penulis: karanglah sebuah novel atau cerpen yang sama sekali
tidak menampilkan simbol-simbol islam, tapi nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya tetap islami.

Bagi penerbit: dirikanlah sebuah divisi penerbitan yang menerbitkan
buku-buku BERLABEL umum, tapi buku-buku tersebut tetap sarat oleh
nilai-nilai islam.

Saya tidak berani mengatakan bahwa buku-buku Penerbit Cinta itu
dijamin islami. Tapi saya berani menyampaikan bahwa strategi DAR!
Mizan ketika mendirikan Penerbit Cinta patut ditiru oleh
penerbit-penerbit Islam lainnya.

* * *

Saya ingat pada ucapan Maman S Mahayana pada acara Milad FLP ke-10
bulan Februari 2007 lalu. Katanya, "Salah satu strategi agar
karya-karya penulis FLP bisa diterima oleh khalayak umum, mereka harus
rajin menerbitkan buku-buku mereka di penerbit-penerbit umum."
Maksudnya (ini dalam versi saya - Jonru), janganlah kita hanya
menerbitkan buku di penerbit-penerbit Islam yang selama ini sudah
menjadi `langganan tetap' penulis-penulis FLP.

Saya "setengah setuju" dengan pendapat Bang Maman ini. Di satu sisi,
saya memang sependapat bahwa ini bisa menjadi salah satu strategi agar
penulis-penulis FLP mulai diterima di "dunia luar".

Tapi di sisi lain, saya juga mengkawatirkan satu hal: Jika semua
penulis FLP menerbitkan buku di penerbit umum dan meninggalkan
penerbit-penerbit Islam yang selama ini sangat setia mendukung FLP,
apakah itu bukan berkhianat namanya?

Karena itulah, saya punya ide yang semoga bisa menjadi jalan tengah.

Wahai para penerbit Islam! Dirikanlah satu atau beberapa lini
penerbitan, yang menerbitkan buku-buku umum, tapi muatannya tetap
Islami. Lalu ajaklah para penulis FLP untuk menyumbangkan
naskah-naskah mereka. Saya yakin, banyak penulis di kalangan FLP
(termasuk saya, hehehe…) yang tertarik dengan sistem ini.

Saya kira, ini bukan hanya masalah strategi untuk menyiasati kelesuan
pasar. Tapi:

1. Ini juga bisa menjadi strategi dakwah yang sangat jitu. Sebab
dengan menerbitkan buku bermuatan Islam tapi jauh dari simbol-simbol
Islam, diharapkan buku-buku tersebut bisa menjangkau kalangan
masyarakat yang selama ini memang masih antipati terhadap segala
sesuatu yang berbau Islam.
2. Karya-karya penulis FLP tetap diterbitkan oleh penerbit-penerbit
Islam yang selama ini setia mendukung FLP.
3. Karya-karya penulis FLP diharapkan makin diterima luas oleh
masyarakat umum.

Yang kita butuhkan saat ini adalah membuka pikiran dan wawasan yang
seluas-luasnya. Saatnya kita - baik penulis maupun penerbit - menata
ulang persepsi kita selama ini yang mungkin masih salah mengenai
definisi fiksi Islam.

Cipayung, 14 Mei 2007
Jonru

universitas penulisan

Ada sebuah kampus bernama "Universitas Penulisan". Untuk bergabung di
dalamnya, Anda tak perlu ikut tes apapun, tak perlu membayar biaya
apapun. Anda hanya perlu menulis, menulis, dan menulis ("Menulislah
Tanpa Banyak Teori," kata Mas Akmal).

Sebagaimana kampus pada umumnya, di Universitas Penulisan ini pun
terdapat sejumlah fakultas. Sayangnya, hampir semua mahasiswanya
berpikir bahwa hanya ada satu fakultas di sana, yakni Fakultas Publikasi.

Apa sih, Fakultas Publikasi itu?

Fakultas Publikasi adalah fakultas tempat para mahasiswa berjuang
untuk memuat karya-karya mereka di media cetak (majalah, koran,
tabloid), dan/atau menerbitkan naskah mereka menjadi buku. Biasanya,
para mahasiswa di sini sangat bangga bila sudah ada karya mereka yang
dimuat di koran, atau diterbitkan dalam bentuk buku.

Hal yang aneh, banyak mahasiswa di fakultas ini yang beranggapan bahwa
yang berhak disebut sebagai penulis hanyalah mereka yang mengambil
Fakultas Publikasi. Bahkan ada penulis yang sampai sesumber berkata,
"Bila belum ada karya Anda yang dimuat atau diterbitkan sebagai buku,
maka Anda bukan penulis!"

(Hehehe… sepertinya Si Sesumbar ini belum membaca tulisan yang satu ini.)

Maka, para mahasiswa baru pun biasanya berduyun-duyun memasuki
fakultas yang satu ini. Fakultas Publikasi menjadi fakultas favorit,
khususnya bagi penulis pemula. Seperti yang saya sebutkan di atas,
banyak sekali di antara mereka yang beranggapan bahwa Fakultas
Publikasi merupakan satu-satunya fakultas di Universitas Penulisan.

Padahal oh padahal….
Jika mereka rajin jalan-jalan, mengelilingi seluruh kompleks
Universitas Penulisan, mereka akan menemukan fakultas-fakultas lainnya:

Fakultas Media Elektronik, terdiri dari jurusan:

* Script writer: penulis naskah untuk acara-acara (program)
televisi/radio.
* Penulis skenario film dan sinetron

Fakultas Media Cetak, terdiri dari dua jurusan:

* Redaktur
* Reporter

Fakultas Media Bisnis, terdiri dari satu jurusan: copywriter (penulis
naskah-naskah iklan).

Fakultas Media Online, terdiri dari satu jurusan juga: Content Editor
(pengelola content pada media online/website).

Fakultas Teater, juga terdiri dari satu jurusan: Penulis naskah drama.

Fakultas Wirausaha, membawahi satu jurusan: Writerpreneurship, atawa
berbisnis lewat hobi menulis.

Fakultas Penulis Lepas, punya banyak jurusan, bahkan bisa tak terbatas:

* Penulis naskah-naskah untuk perusahaan (company profile, press
release, media internal, annual report, dan sebagainya).
* Penulis biografi.
* Penulis hantu (ghost writer).
* Masih banyak lagi, dan akan terus berkembang seiring
perkembangan zaman.

Fakultas Public Speaking, dihuni oleh para penulis yang biasa menjadi
pembicara pada acara-acara seminar/workshop/pelatihan penulisan. Ada
di antara mereka yang belum terlalu sukses di fakultas-fakultas lain.
Tapi mereka punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh penulis-penulis lain:

* Pintar berbicara di depan umum.
* Pintar menyampaikan ilmu dengan baik dan menyenangkan,
sebagaimana halnya para guru/dosen yang disukai oleh
murid/siswa/mahasiswa karena kepintaran mereka dalam mengajar.

Fakultas Blog, dihuni oleh orang-orang yang rajin menulis di blog.
Mereka biasa disebut blogger. Tapi pada dasarnya mereka semua adalah
penulis.

* * *

Anda mau masuk fakultas mana? Pilihlah yang sesuai dengan selera Anda.

Tak perlu khawatir bila salah jurusan/fakultas. Sebab di Universitas
Penulisan, Anda bisa pindah ke jurusan/fakultas lain dengan amat
mudah, tak perlu syarat dan prosedur apapun.

Anda bahkan bisa merangkap di berbagai fakultas/jurusan dengan amat mudah.

Satu hal yang pasti: Di fakultas/jurusan manapun Anda berada, Anda
adalah penulis!

Jangan minder bila Anda belum berhasil di Fakultas Publikasi. Jangan
minder atau kecewa atau putus asa bila Anda belum berhasil
mempublikasikan karya-karya Anda, sebagaimana para mahasiswa Fakultas
Publikasi lainnya yang telah berhasil.

Masih banyak fakultas lain yang dapat Anda masuki. Universitas
Penulisan itu sangat luas, saudaraku.

Jadi tetaplah semangat!

Semoga sukses!

Cilangkap, 27 Desember 2007

Jonru

tips mengirim naskah...

Menurut saya tidak pernah ada kata aman 100% jika kita
mengirim naskah ke penerbit. Dengan cara apa pun ada
kemungkinan kebocoran. Baik email, mengirim via pos
bisa saja bocor. Semua itu bisa diminimalisir jika
penerbitnya memiliki kredibilitas dan prosedur yang
baik dalam urusan menangani naskah. Ada prosedur baik
pun bisa saja ada oknum di dalam penerbit itu yang
kadang nakal. Perlu diingat juga semua ini tidak
tergantung pada besar-kecilnya penerbit, lebih pada
orang-orang yang ada di penerbit tersebut.

Tips buat yang mengirim naskah ke penerbit:
1. Tanya teman yang pernah mengirimkan naskah ke
penerbit yang bersangkutan. Apa pernah punya
pengalaman buruk.

2. Tidak ada salahnya mengontak terlebih dahulu
penerbit tersebut via email atau telepon. Tanya dulu,
jangan dikirim naskahnya dulu.

3. Salah satu faktor yang menunjukkan penerbit yang
'serius' adalah memiliki alamat usaha yang jelas.

4. Catat tanggal kapan naskah dikirim. Kalau kirim via
email cc juga email tersebut ke Anda sendiri. Untuk
jaga-jaga nanti.

5. Cari tahu siapa yang bertanggung jawab menerima dan
memeriksa naskah. Biasanya ada orang yang khusus
tugasnya itu. Kalau ada apa-apa Anda tahu siapa yang
perlu dikontak.

6. Kalau perlu jangan kirim semua naskah. Sebagian
dulu saja, misalnya satu atau dua bab dulu. Biasanya
penerbit tidak berkeberatan. Kalau penerbit ok dan
tertarik untuk menerbitkan, baru kirim semua.

7. Jika mengirimkan via email bisa dipertimbangnya
mengirimkan dalam format PDF yang relatif lebih aman
dari format Word (Ingat, tetapi tidak aman 100% juga,
karena namanya format digital tetap saja dengan
perkembangan teknologi tetap bisa dibajak)

Semoga membantu
Didik Wijaya
Managing Editor
Penerbit Escaeva
http://www.escaeva. com

Ruh sebuah Penulisan

Ruh Sebuah Tulisan
Oleh Nursalam AR

* *

Sahabat, mari kita bicara soal dua karya sastra termasyhur di
Indonesia saat
ini. Yakni novel *Ayat-Ayat Cinta* dan *Laskar Pelangi.*

* *

Novel *Ayat-Ayat Cinta* karya Habiburrahman El Shirazy konon dicetak ulang
hingga lebih tiga puluh kali sejak pertamakali terbit pada 2004. Di layar
lebar, filmnya – meski banyak dinilai tak sesuai dengan isi novelnya
-- yang
digarap Hanung Bramantyo sukses memikat tiga juta orang untuk datang
menonton ke bioskop. Belum terhitung yang membeli DVD bajakannya.
Sementara
*Laskar Pelangi* karya Andrea Hirata juga tak kalah masyhur. Selain *
best-seller* nasional, dielu-elukan sebagai *The Indonesia's Most Powerful
Book* di berbagai *talkshow* termasuk di layar kaca, *Laskar Pelangi* juga
akan difilmkan dengan arahan Riri Riza. Sebuah catatan fenomenal mengingat
kedua novel itu notabene karya perdana kedua penulis muda tersebut.



Lebih mengagumkan lagi, *Laskar Pelangi* ditulis oleh Andrea Hirata yang
belum pernah membuat sepotong cerpenpun. Tak hanya itu, pemuda asli
Belitong
yang alumnus S-2 Perancis ini pun melengkapinya dengan tiga novel lain
yakni
*Sang Pemimpi, Edensor* dan *Maryamah Karpov*---yang secara keseluruhan
merupakan Tetralogi *Laskar Pelangi*. Habiburrahman yang santri Al Azhar
kelahiran Semarang juga membawa gerbong *Ketika Cinta Bertasbih 1 &
2*, *Pudarnya
Cinta Cleopatra*, *Di Bawah Mihrab Cinta *dan beberapa karya
*best-seller*lainnya yang juga bernafaskan religi romantis.



Namun tak ada karya manusia sesempurna kitab suci. Banyak kritik yang
datang
untuk kedua karya tersebut. Mulai dari tudingan mengeksploitasi cinta atau
poligami – seperti yang terkesan ditonjolkan dalam film *Ayat-Ayat
Cinta* –
hingga cibiran untuk *Laskar Pelangi* bahwa keberhasilannya semata-mata
karena trik pemasaran yang canggih. Kita pun mafhum bahwa keduanya
bukanlah
kitab suci yang agung dan tanpa cela. Namun kritik tak proporsional juga
ibarat racun. Melemahkan si orang sehat. Dalam hal ini berlaku kebenaran
pepatah 'makin tinggi pohon makin kencang angin menerpa'. Ini keniscayaan
hukum alam yang diguratkan Tuhan. Karya sastra sekaliber roman
*Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck*-nya Hamka atau *Belenggu *gubahan Armin Pane pada
zamannya juga dicap tak enak: picisan, cabul dan cengeng. Tetapi
perjalanan
waktulah yang menggosok intan agar cemerlang cahaya yang memancar.



Terlepas dari segala kontroversi yang ada, dengan arif, layak kita
bertanya
mengapa kedua novel karya dua penulis usia 30-an tersebut mampu
mengharubiru
jagad sastra sekaligus merambah ranah populer publik negeri ini?



Sekian banyak orang bersaksi bahwa *Ayat-Ayat Cinta* dan *Laskar
Pelangi*mengubah hidup mereka lebih tenang, lebih baik. Seperti halnya
karya-karya
besar yang membawa perubahan di dunia, sebut saja novel *Uncle Tom's
Cabin*buah karya Harriet Beecher Stowe (1852) yang menginspirasi
semangat
perubahan terhadap perlakuan rasis kaum kulit putih terhadap kulit hitam
atau berwarna di Amerika Serikat, novel-novel tersebut mengandung ruh
tulisan yang kuat yang mampu menyentuh hati dan menggerakkan pembacanya.
Sesuatu yang datang dari hati niscaya sampai ke hati.



Ruh, jiwa atau *soul *sebuah tulisan adalah hasil internalisasi visi,
emosi,
dedikasi, pengalaman, logika, wawasan, *elan vital* (semangat) kontemplasi
dan keterampilan teknis seorang penulis. Porsi keterampilan teknis di sini
barangkali hanya sekian persen. Karena unsur-unsur lain yang lebih condong
mengetuk perasaan atau kalbu justru bisa jadi lebih dominan. Di
samping juga
ia memenuhi syarat-syarat ketertarikan pembaca dengan sebuah tulisan: *
novelty* (kebaruan, misalnya tema yang baru dan berbeda dari
mainstream), *
similarity* (kemiripan dengan keseharian hidup mayoritas pembaca) dan *
visionary* (memiliki pandangan jauh ke depan).



Ruh sebuah tulisan adalah virus yang menular. Ia seperti energi --dalam
hukum Kekekalan Energi Newton—yang tak dapat musnah namun berubah bentuk.
Energi dari sebuah tulisan karena pancaran energi cita-cita atau semangat
sang penulis yang terejawantahkan melalui kata sampailah ke pembaca dalam
bentuk inspirasi. Terciptalah keajaiban-keajaiban. Histeria gadis-gadis
berjilbab untuk berfoto bersama Kang Abik –panggilan populer Habiburrahman
dan berbagai testimoni tentang peningkatan iman para pembaca Muslim, atau
tobat totalnya seorang pecandu narkoba setelah membaca karya Andrea
Hirata.
Merekalah yang hati-hatinya telah tersentuh, tercerahkan.



Hati nurani, demikian nama lengkap hati, menurut Nurcholish Madjid,
berasal
dari kata bahasa Arab, "*nur*" yang artinya "cahaya". Hati adalah tempat
cahaya bersemayam, yang menerangi kegelapan logika. Sementara ilmu adalah
cahaya, yang sejatinya berjodoh di hati. Jika keduanya bercumbu itulah
perkawinan kimiawi yang serasi.



Di sisi lain, seseorang dapat menjadi aktivis Marxisme tulen setelah
membaca
*Das Capital*-nya Karl Marx. Barangkali dedikasi Marx selama setiap hari
dalam 20 tahun berkutat di perpustakaan umum – dengan biaya hidup disokong
rekannya, Friedrich Engels – untuk menyusun *Das Capital* menjadikan
energi
kemarahannya terhadap kapitalisme dan kemiskinan tersalurkan tuntas dan
meradiasi sebagian pembacanya. Inilah yang harus diakui secara
*fair*kebenaran makna pepatah bahasa Arab,
*man jadda wa jada*, siapa berusaha keras maka ia akan memperoleh
hasilnya.
Siapapun pelakunya.



Di ujung spektrum lain, banyak penulis menimba energi Ilahiah melalui olah
kontemplasi kepada Tuhan, Zat Tertinggi, sang *causa prima* yang
menggerakkan semesta sebagai sumber inspirasi. Para ulama, misalnya Sayyid
Quthb – dengan *Tafsir Fi Zhilalil Qur'an* – terbiasa melakukan sholat
tahajud sebelum mulai menulis. Sementara Barbara Cartland, yang populer
dengan novel-novel romantisnya, melakukan ritual berdandan sedemikian rupa
sebelum menulis. Semata-mata demi memompa kepercayaan diri, menimba energi
kepenulisan.



Maka punyailah visi ketika menulis, alirkan emosi dan semangat
sejadi-jadinya, dan berjibakulah ketika melahirkan sebuah tulisan. Seperti
jihad seorang ibu saat melahirkan anaknya. Karena kita adalah ibu dari
'anak-anak' tulisan kita. Bahkan kita adalah 'tuhan' atas segala tulisan
kita. Ingatlah, Tuhan tak pernah lelah mencipta semesta. Itulah energi
Ilahiah atau profetik yang semestinya jadi sumur inspirasi sejati agar
kita
punya stamina dan nafas panjang dalam karir kepenulisan.



Karena apapun caranya, menulis tak beda dengan berolahraga. Ia butuh
energi.
Jika energi pendorong lemah alhasil yang lahir hanyalah tulisan yang
alakadarnya, loyo, dan tidak punya ruh atau *soul*. Jika ia manusia,
tulisan
semacam itu hanyalah mayat, yang tak bernyawa. Atau bahkan bangkai.
Percayalah, seperti kata Dale Carnegie, *no one kick the dead dog*. Tidak
ada yang peduli dengan bangkai. Sederet karya di atas dipuji sekaligus—ada
yang--dicaci-maki karena mereka hidup, bernyawa.


Kampung Melayu, 24-25 Maret 2008*www.nursalam.multiply.com*

--
-"When there's a will there's a way"
Nursalam AR
Translator & Writer
021-91477730
0813-10040723
http://nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar

Beternak Ide

*Beternak Ide*
Oleh Nursalam AR



*"Uang hanyalah sebuah ide." (Robert T. Kiyosaki)*



Jika uang hanyalah sebuah ide maka memperbanyak ide sebanyak-banyaknya
sama
saja dengan mengembangbiakkan uang yang akan didapat. Dalam konteks
industri
kepenulisan --yang aroma bisnisnya tak beda jauh dari industri *real
estate*yang ditekuni Kiyosaki yang juga penulis buku
*Rich Dad Poor Dad*-–ide harus ditangkap bahkan harus diternakkan. Ibarat
hewan ternak, ia harus dirawat, dikembangbiakkan dan tak ayal dijual.
Lihat
saja fenomena novel *Ayat-Ayat Cinta*-nya Habiburrahman El-Shirazy
atau *Laskar
Pelangi* karya Andrea Hirata yang menuai royalti milyaran rupiah dan
menjejak dunia layar lebar. Inilah contoh nyata betapa ide bagi seorang
penulis tak ubahnya hewan ternak yang merupakan aset tak ternilai.



Jika ide adalah hewan liar maka ia harus ditangkap, dijinakkan,
didomestikasi. Seperti halnya orang-orang dulu mendomestikasi kuda
atau unta
untuk menjadi tunggangan yang bermanfaat untuk keperluan manusia. Sarana
penangkapnya bisa dengan banyak cara. Hemmingway menangkap ide dengan
jalan
mengetik apa saja di mesin ketiknya jika mengalami kemampatan ide.
Gola Gong
melakukan perjalanan keliling dunia untuk menjaring ide *Balada Si
Roy* dan
*Perjalanan di Asia*. A.A Navis memilih nongkrong di toilet berjam-jam –
hingga konon ia terserang wasir—demi mengejar sang ide.



Beberapa penulis lain ada yang menenggelamkan diri dalam tumpukan buku,
ngopi di kafe dengan laptop siaga di ujung jari atau sekedar bermain voli
untuk menjinakkan makhluk bernama ide ini. Intinya: ide harus ditangkap.
Karena ide juga ibarat sambaran kilat. Jika tak cekatan disergap, ia akan
meluncur menghunjam bumi dan teredam, tak berdayaguna apa-apa. Maka
tangkaplah ide dengan keberanian Benjamin Franklin – sang penemu arde
alias
penangkal petir --menangkap petir dengan layang-layang yang digantungi
kunci
besi pada benangnya di tengah hujan deras yang ramai kilat. Sebuah
keberanian bernyali dengan keingintahuan yang besar dan semangat mencoba
sesuatu yang baru.



Jadi sudah basi – dan tipikal adegan di film Indonesia era 70an – jika
kita
membayangkan seorang penulis mencari ide dengan hanya
terbengong-bengong di
depan alat tulis dan kertas atau memegangi kepala dengan rokok mengepul
seperti asap kereta uap. Seperti kata Umar bin Khattab,"Rejeki tidak jatuh
begitu saja dari langit. Bekerjalah!" Ide juga harus disodok jatuh seperti
kita menyodok mangga ranum dari pohon yang rimbun.



Jika mangga sudah jatuh, jika hewan liar sudah ditangkap dan
dijinakkan, apa
yang harus kita lakukan? Dengan segala amsal tersebut, ide yang lebih
mahal
dari Buah Merah asal Papua dan lebih ajaib dari hewan Pegasus dalam
mitologi
Yunani adalah harta karun yang wajib didepositokan dan hewan ternak yang
teramat mahal untuk tidak dipiara. Dan perlu jurus-jurus khusus untuk
beternak ide.



*Jurus Pertama: Kandangkan*

Kandangkan ide dalam laptop, komputer, USB, disket, mesin ketik, notes,
agenda atau diary atau apapun fasilitas penyimpan data yang kita miliki.
Meskipun hanya berupa satu kalimat yang diperoleh dalam lintasan di benak
saat menunggu kereta api yang telat, misalnya,"Kereta yang ingkar janji".
Jangan remehkan kuantitasnya karena itu adalah embrio yang terlalu mahal
untuk diaborsi.Siapa mengira jika coretan ide JK Rowling di atas tisu
bekas
akan menjelma menjadi bayi raksasa bernama *Harry Potter* yang
bertahun-tahun menghipnotis dunia?



Jadi jangan biarkan ide hanya berkelebat mampir di benak. Kurung ia karena
ia lebih liar dan lebih mudah pergi bahkan lebih rentan dicuri daripada
uang. Jika perlu, perlakukan ide sama berharganya dengan uang yang kita
setorkan ke bank. Milikilah bank ide – dalam bentuk apapun -- yang isinya
selalu dapat kita setor dan tarik setiap saat.



*Jurus Kedua: Beri makan*

Jika bakpao adalah makanan untuk badan, buku dan kontemplasi (zikir,
tadabbur, meditasi, yoga dll) adalah makanan untuk otak dan jiwa. Inilah
asupan terbaik untuk hewan ternak bernama ide. Semakin variatif dan
bergizi
jenis asupan semakin bongsor dan berbobot ide tersebut.



"Every man's work, whether it be literature or music or pictures or
architecture or anything else, is always a portrait of himself."(Samuel
Butler).Dalam konteks tersebut sebuah pepatah berbahasa Inggris cukup
relevan jadi panduan. "Ordinary people talk about people; mediocre people
talk about events and extraordinary people talk about ideas." Orang-orang
kelas bawah membicarakan orang, orang –orang kelas pertengahan
membicarakan
peristiwa sementara orang-orang yang berkaliber luarbiasa membicarakan ide
atau gagasan. Jika dunia seorang penulis hanya melulu sarat dengan bacaan
ringan, gosip selebritas dan hal-hal remeh temeh maka output dan kualitas
tulisannya tak jauh dari apa yang dimamahnya tersebut.Ia hanya menjadi
penulis berkategori kelas bawah bukan yang sedang-sedang saja apalagi
luarbiasa. Seperti kata orang bijak, jangan penuhi pikiranmu dengan
hal-hal
kecil karena akan terlalu sedikit ruang untuk pikiran-pikiran besar.



*Jurus Ketiga: Kembangbiakkan*

Kawinkan ide baik dengan inseminasi atau kawin silang. Sapi Madura
petarung
karapan yang tangguh adalah hasil percampuran benih sapi pilihan. Ide
unggulan juga begitu, ia mewarisi kualitas genetis masukan yang
membentuknya. Dalam *How To Be A Smart Writer**,* Afifah Afra –
penulis top
FLP dengan sederet novel *best seller* salah satunya novel sejarah
*Javasche
Orange* – mengenalkan dua cara mengembangbiakkan ide yakni – yang saya
istilahkan inseminasi dan kawin silang. *Inseminasi* adalah memasukkan
elemen baru terhadap sebuah ide atau kisah lama. Misalnya, jika dalam
dongeng Malin Kundang yang menjadi batu adalah Malin Kundang, mungkin
sangat
menarik jika yang menjadi batu adalah ibunya karena dinilai lalai dan
bertanggung jawab terhadap perubahan akhlak si Malin.



Sementara *kawin silang* adalah memadukan dua unsur cerita yang berbeda.
Ambil contoh kisah Cinderella dan Putri Salju (*Snow White*). Cinderella
yang berbahagia karena sepatunya pas dengan ukuran sepatu kaca bisa saja
kemudian tewas memakan apel beracun. Kemudian ia hidup kembali setelah
dicium sang pangeran. Atau jika ingin lebih komedik, Cinderella hidup
kembali setelah mencium bau sepatu kaca yang disodorkan tujuh kurcaci.



*Jurus Keempat: Jual*

Juallah ide dalam bentuk menuliskannya. "Ikatlah ilmu dengan
menuliskannya,"
demikian pesan Ali bin Abi Thalib, yang kerap diusung tokoh motivator
menulis Hernowo dalam berbagai bukunya. Jika tidak mampu
menuliskannya, ide
tersebut dapat dijual ke seorang teman yang menuliskannya. Soal
hitung-hitungan finansial itu bisa jadi kesepakatan. Dalam dunia sinetron
sudah lazim seorang penulis menjual ide dan soal eksekusi penggarapan
diserahkan kepada tim penulis skenario. Si penulis sendiri mungkin hanya
sekedar mensupervisi atau menjadi *head writer*. Itu sekedar contoh. Namun
kita tentu layak dan amat berhak menerima kehormatan untuk menuliskannya
sendiri. Tentu jika kita berani memanen setelah susah-payah menebar benih
dan merawatnya.



Nah, nikmatilah hasil beternak ide. Namun pertanyaan pertama, sudahkah
kita
punya nyali untuk beternak ide?



*Jakarta, 17 Maret 2008*

*www.nursalam.multiply.com*

Sudahkah anda menulis hari ini???

TPL :
Boleh kami tahu darimana minat menulis anda berasal?

LH :
Awalnya dari kebiasaan saya membaca buku. Setiap kali selesai membaca
buku bagus, saya merasa gemas campur iri. Kalau orang lain mampu
menulis buku sebagus itu, kenapa saya tidak?
Selain itu, sejak kecil saya menyimpan khayalan romantis bahwa suatu
hari nanti saya akan pergi keliling dunia, bertemu dengan orang-orang
yang unik, dan menulis tentang tempat-tempat indah yang saya singgahi.

TPL :
Sejak kapan anda senang menulis?

LH :
Saya mulai rutin menulis sejak kuliah, walaupun hanya sebatas menulis
diary. Setiap malam sebelum tidur, saya akan menulis tentang kejadian
yang saya alami hari itu. Saya menulis tentang teman yang menyebalkan,
dosen yang genit, mata kuliah yang sulit, dan lain-lain. Saya juga
senang menulis cerpen atau puisi tentang pacar, orangtua, bahkan
tentang kucing-kucing saya tercinta. Tapi kebiasaan menulis itu
terhenti ketika saya lulus kuliah dan sudah bekerja..

TPL :
Kenapa?

LH :
Saya bukan karyawan kantoran yang bekerja nine to five. Saya memiliki
usaha yang harus saya kelola sehari penuh, tujuh hari seminggu.
Praktis saya tidak mengenal weekend atau hari libur. Nyaris seluruh
waktu dan energi saya terkuras habis untuk pekerjaan. Kondisi itu
menyulitkan saya untuk melanjutkan hobi menulis. Selama beberapa tahun
saya tidak pernah lagi menulis, bahkan tidak sebait puisi pun. Saya
benar-benar hidup untuk bekerja.

TPL :
Lalu apa yang menyebabkan anda memutuskan untuk kembali menulis?

LH :
Setelah bertahun-tahun menghamba pada pekerjaan, hidup saya menjadi
tidak seimbang. Saya kerap mendapati diri saya mudah cemas, lelah
secara mental, dan kehilangan semangat. Saya merindukan hal-hal-hal
berarti yang bisa membuat saya bahagia, dan salah satunya adalah
menulis. Saat mencoba untuk menulis lagi, saya merasa sangat nyaman,
seperti menemukan tempat dimana saya seharusnya berada. Hingga
akhirnya, dengan keyakinan penuh saya memutuskan untuk menghidupkan
kembali impian indah saya : menjadi seorang penulis.

TPL :
Apakah anda yakin bisa menjadi seorang penulis?

LH :
Tentu saja. Saya percaya tidak ada orang yang dilahirkan untuk menjadi
penulis. Semua orang -termasuk saya- bisa menjadi penulis hebat.

TPL :
Anda sangat percaya diri, tapi bagaimana cara anda membagi waktu
antara bekerja dan menulis?

LH :
Gampang, saya mematikan televisi -pembunuh kreativitas nomer satu- dan
menggantinya dengan buku. Setiap detik waktu luang saya gunakan untuk
membaca, terutama buku bestseller karangan penulis-penulis terkenal.
Yang terpenting, saya mewajibkan diri menyediakan waktu untuk menulis,
minimal dua jam sehari. Saya pribadi sudah menemukan waktu terbaik
untuk menulis, yaitu menjelang subuh.

TPL :
Terakhir, adakah sesuatu yang ingin anda sampaikan kepada rekan-rekan
sesama penulis pemula?

LH :
Teman-teman tercinta,
Menulislah selagi otak kita masih berfungsi.
Menulislah sebelum pekerjaan yang tiada habisnya pelan-pelan membunuh
kita.
Menulislah untuk menjaga pikiran kita tetap waras.
Menulis, menulis, dan teruslah menulis. Jangan pedulikan apapun yang
orang-orang katakan tentang tulisan kita, karena sesungguhnya, semua
penulis hebat berawal dari penulis pemula seperti kita.
Jadi, sudahkah anda menulis hari ini?