Sabtu, 11 Oktober 2008

catatan pengalaman Kolumnis Indra J. Piliang, pengamat politik CSIS

Teknis Penulisan Ilmiah Populer: Catatan Pengalaman



Pendahuluan:

Banyak pertanyaan yang diberikan kepada saya tentang proses kreatif
sebagai seorang penulis. Rata-rata saya menulis 60-70 artikel dalam
setahun, terutama sejak tahun 2001. Artinya sudah terdapat sekitar
300-350 artikel yang sudah saya tulis. Kalau dijadikan buku kumpulan
artikel, sudah bisa menjadi 7 sampai 10 buku, sesuatu yang belum saya
lakukan. Salah satu "penilaian" saya masuk ke CSIS adalah juga karena
produktifitas penulisan ini.

Lalu, dari mana saya memulai menulis. Yang saya ingat, kebiasaan saya
menulis dimulai lewat catatan harian (1991-1996). Saya sudah menulis
sejak pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta pada tahun 1991,
beberapa bulan sebelum hasil Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
diumumkan. Saya mengikuti UMPTN di Padang, tepatnya kampus Universitas
Bung Hatta. Tiga pilihan studi saya waktu itu adalah Jurusan
Meteorologi dan Geofisika Institut Teknologi Bandung, Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Jurusan Antropologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Saya diterima di
Jurusan Sejarah FSUI.

Karena pernah memenangkan juara tiga lomba bahasa Inggris di Sekolah
Menengah Umum 2 Pariaman, saya menulis catatan harian saya dalam
bahasa Inggris. Namun, lama-kelamaan, kebiasaan itu saya hilangkan.
Ketika menjadi aktivis kampus, saya terombang-ambing dengan kebencian
terhadap Barat, termasuk hegemoni budayanya. Akibatnya, saya juga
membenci bahasa Inggris. Sesuatu yang dampaknya luas sampai sekarang.

Catatan harian itu mengantarkan saya kepada banyak imajinasi tentang
dunia. Buku-buku yang saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi,
orang-orang yang saya temui, sampai hubungan percintaan yang
timbul-tenggelam, menghiasi catatan harian saya. Semuanya masih
tersimpan sampai sekarang. Karena sering mencatat orang-orang yang ada
di sekitar saya, saya menjadi lebih paham tentang bagaimana cara
berpikir mereka. Sebagian dari orang-orang itu sekarang menjadi
terkenal, bahkan jauh sebelum reformasi. Rata-rata para aktivis dari
berbagai kampus, terutama dari UI. Sebut saja Fadli Zon,
Zulkiefliemansyah (sekarang anggota DPR dari PKS), Rama Pratama
(sekarang anggota DPR dari PKS), Nusron Wahid (sekarang jadi anggota
DPR dari Partai Golkar), Mustafa Kamal (sekarang anggota DPR dari
PKS), Eep Saefullah Fatah, Fahri Hamzah (sekarang anggota DPR dari
PKS), Wilson (pernah dipenjara karena dituduh menjadi pelaku Gerakan
27 Juli 1996), dan lain-lain.

UI ketika saya masuk adalah ladang pergulatan intelektual yang sangat
intens. Jurusan saya, misalnya, terbagi kedalam dua garis ideologi:
merah dan hijau. Pertarungan kedua kelompok ideologi ini bukan hanya
terbatas pada wacana, tetapi juga dalam aktivitas kemahasiswaan,
termasuk perebutan posisi dalam lembaga mahasiswa intra kampus.
Kalaupun kemudian sejumlah nama itu akhirnya terus berseberangan
ketika di luar kampus, hal itu tidak bisa dilepaskan dari pengalaman
intelektual mereka. Satu kelompok melahirkan Partai Rakyat Demokratik,
kelompok yang lain menjadi anak-anak emas dalam Partai Keadilan
Sejahtera. Namun ada juga yang ikut ke Partai Golkar atau menjadi
sahabat dari para jenderal.

Orang yang saya kagumi kala itu ada empat.

Pertama, Arfandi Lubis (almarhum). Dia senior saya di jurusan sejarah.
Dia pengagum Tan Malaka tulen. Kanker usus yang akut menjadi penyebab
kematiannya. Dari dialah saya banyak berkenalan dengan wacana kiri,
lalu mengoleksi buku-buku kiri yang berwarna merah. Dia juga yang
meminjamkan saya buku Dari Penjara ke Penjara-nya Tan Malaka.

Kedua, Fadli Zon, teman saya satu angkatan dari Jurusan Sastra Rusia.
Talentanya luar biasa, juga jaringan pergaulannya di luar kampus.
Dialah sebetulnya yang "memaksa" saya untuk menulis, ketika dia sudah
muncul sebagai penulis terkenal di zamannya. Sebelum kemudian dikenal
sebagai sahabat Prabowo Subianto, Fadli adalah penulis esai yang
bagus, kolom yang menggelitik, dan makalah yang kaya dengan buku.

Ketiga, Mustafa Kamal. Dialah sosok yang waktu itu mengingatkan saya
kepada Natsir muda. Dalam organisasi, dia banyak memberikan
ketauladanan, begitu juga dalam hal pengayaan keislaman.

Keempat, Eep Saefullah Fatah. Sekalipun berbeda kampus, saya sering
ketemu dalam panggung seminar, baik ketika saya menjadi notulis,
moderator, lalu lambat laun mendampinginya sebagai pembicara. Eep
punya kemampuan berbahasa Indonesia yang sangat baik, juga menjelaskan
sesuatu yang rumit dengan logika yang runtut.

Sebetulnya, jauh lebih banyak lagi kawan, dosen, senior, dan junior
yang mempengaruhi saya. Kampus adalah tempat yang hangat. Selalu saja
tersedia banyak orang-orang baik, jauh lebih banyak dari yang
potensial menjadi jahat. Beragam kisah, ucapan, sampai pertengkaran
dan perdebatan dengan orang-orang itu masuk ke dalam catatan harian
saya. Saya menulis sampai dini hari di dalam kamar kos yang lembab dan
kumal. Saya waktu itu adalah anak muda yang kurus kering,
berpenyakitan, miskin, dan sering mengenakan pakaian yang tidak layak.
Kerah baju saya – yang diingat oleh pacar yang kemudian menjadi istri
saya – selalu saja berlubang saking lamanya kena keringat dan tidak
diganti.

Kenapa saya menulis catatan harian? Terus terang saya juga terpengaruh
oleh tiga buku harian. Pertama, Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok
Gie. Buku ini betul-betul menjadi kumal, penuh catatan pinggir dari
saya, lalu hilang dan saya beli lagi. Kedua, Dari Penjara ke Penjara
Tan Malaka. Pengalaman membaca buku ini kadang bercampur dengan
kecemasan. Bagaimana tidak? Buku ini adalah buku terlarang waktu itu,
sehingga kalau membacanya sedapat mungkin tidak ada yang tahu. Ketiga,
Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahid, salah satu peletak dasar dari
liberalisme Islam di kalangan anak-anak muda Himpunan Mahasiswa Islam.
Dari buku-buku yang saya baca dan koleksi, ada sejumlah teman dekat
yang menyebut saya "Hijau Semangka": di luarnya hijau, tetapi di
dalamnya merah. Yang jelas, saya tidak dalam posisi "ideologis"
tertentu. Saya hanyalah anak rantau, baik dalam artian fisik, atau
pemikiran.

Dengan modal mesin tik bekas yang saya beli di Manggarai, Jakarta
Selatan, tiap malam selalu diisi dengan tak-tik-tok di kamar kos saya
di kawasan Lenteng Agung. Semula, saya menulis apapun dengan tangan,
lalu saya pindahkan ke kertas putih dengan mesin tik kalau ada uang
untuk membeli kertas dan tinta. Sering sekali ketikan itu tidak bisa
dibaca, saking tipisnya tinta yang digunakan. Dari sana lahir puisi,
cerita pendek, sampai satu dua novel yang tidak rampung-rampung. Saya
tidak tahu kemana semua yang saya pernah tulis itu sekarang, karena
seringnya pindah kos. Harta berharga yang pernah saya miliki, lalu
kalau teringat selalu menimbulkan penyesalan.

Menjajakan TulisanSemula, hanya teman yang paling dekat yang tahu saya
punya catatan harian, kumpulan puisi, sampai cerita-cerita pendek.
Aktivitas yang semakin banyak di luar kuliah, pada akhirnya memaksa
saya untuk menulis lebih "ilmiah". "Kampus" pertama saya dapatkan
dalam Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya. Di sinilah saya
belajar penelitian di luar penelitian sejarah. Di KSM UI ini juga saya
tampil sebagai notulis, moderator, akhirnya pembicara. Ketakutan saya
untuk berbicara di depan orang banyak mulai pelan-pelan pudar. Sejak
kecil sampai sekolah menengah saya memang punya hambatan mental,
selalu berkeringat dingin dan berdebar-debar ketika hendak berbicara.
Saya gagap. Tapi ayah saya membalikkan dengan kalimat: "Kamu gagap
karena otak kamu lebih cepat berpikir, ketimbang mulut kamu
mengucapkannya!"

"Kampus" kedua saya adalah pers mahasiswa, yakni Suara Mahasiswa UI
dan tabloid Ekspresi FSUI. Saya ingat, laporan saya sebagai reporter
tentang HIV-AIDS ditolak oleh pemimpin redaksi Suara Mahasiswa kala
itu, Ihsan Abdussalam – yang kini juga jadi penulis. Saya harus
memulai lagi belajar tentang 5W-1H. Untunglah, ketiga gagal menjadi
Ketua Senat Mahasiswa UI, saya banyak menyediakan waktu untuk KSM UI
dan Suara Mahasiswa UI. Karena sudah senior, saya punya lebih banyak
kebebasan untuk "memasukkan" tulisan atau pemikiran saya ke media
kampus itu, kalau perlu mengeditnya langsung di Macintosh yang
dimiliki oleh Suara Mahasiswa UI, agar pasti masuk.

Bantuan paling signifikan datang dari mata kuliah Penulisan Populer
yang diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Inggris FSUI. Pengajarnya
adalah sastrawan Ismail Marahimin. Metode pengajarannya unik, yakni
para mahasiswa harus menulis satu per minggu yang akan dipresentasikan
dan "dibantai" dalam jam-jam pelajaran yang membuat bulu kuduk
merinding. Banyak mahasiswa yang hilang di tengah jalan waktu itu,
karena takut "dikerjai" oleh sang dosen. Tetapi, satu hal yang
disampaikan oleh Pak Ismail kala itu masih saya ingat. "Kalau anda
lulus mata kuliah ini, itulah modal hidup anda!" Fadli Zon, Helvy
Tiana Rosa, lalu sejumlah redaktur pers sekarang setahu saya lulus
dalam mata kuliah ini. Dua semester saya ikut mata kuliah ini dan
keduanya mendapatkan nilai A. Saya masih tidak tahu, bagaimana
mendapatkan kembali seluruh tulisan yang saya pernah tulis,
masing-masing 1 per minggu dalam satu tahun kuliah bersama Pak Ismail
itu. Saya kehilangan copy-nya. Tulisan-tulisan itu mulai dari fiksi
sampai non fiksi. Saya ingat, ada satu-dua cerpen yang dipuji oleh Pak
Ismail karena menyediakan banyak kejutan.

Pelan-pelan saya juga tampil sebagai pembicara skala kampus.
Makalah-makalah lahir, sebagian besar tentang gerakan mahasiswa. Dari
sana juga saya menulis skripsi dengan tema "Koreksi Demi Koreksi:
Aktivitas Pergerakan Mahasiswa Pasca Malari sampai Penolakan NKK-BKK
(1974-1980)". Pengalaman saya sebagai aktivis membawa saya kepada
pergaulan di luar UI. Paling tidak, selain Fadli Zon, saya paling
banyak mewakili mahasiswa UI kala itu, baik untuk tingkat jurusan,
fakultas atau universitas. Samarinda, Surabaya, Pekanbaru, Yogyakarta,
Malang, Bandung, dan kota-kota lainnya mulai saya singgahi.

Karena jauh dari kampung, saya juga sering menulis surat. Ayah saya
adalah seorang penulis yang baik, dengan tulisan tangan yang indah,
turunan dari ayahnya (kakek saya) yang pernah jadi juru tulis pada
masa Belanda. Banyak hal yang saya perdebatkan dengan ayah saya waktu
itu. Selain itu, saya juga menulis surat kepada pacar saya di kampung,
Bengkulu dan Lampung. Saya juga berkomunikasi lewat surat dengan
teman-teman aktivis di sejumlah kota, termasuk juga dengan seorang
mahasiswi Jepang di Jepang dalam bahasa Inggris yang minim.
(Keberadaan sms dan internet sekarang saya kira menjadi unsur
degradasi kemampuan penulisan para mahasiswa dan anak-anak sekolah).

Saya mulai merambah koran dan tabloid umum ketika ditawarin menulis di
Tabloid Swadesi yang dikelola oleh teman saya yang jadi reporter di
sana, Bayu. Boleh dikatakan dari sanalah saya menjadi penulis umum,
terutama tentang gerakan mahasiswa. Tabloid itu pada akhirnya bubar
akibat perpecahan dalam tubuh PDI, karena memang afiliasinya dengan
PDI. Honor menulis disana Rp. 35.000-Rp. 45.000. Tulisan saya juga
nongol di Harian Merdeka dan Tabloid Mutiara milik Suara Pembaruan.
Saya masih ingat mendatangi kantor Suara Pembaruan untuk mengambil
honor sebesar Rp. 66.000, lalu Rp. 6.000,-nya dipotong pajak.

Saya juga tetap menulis puisi. Puisi bagi saya adalah kolom tersingkat
yang bisa ditulis. Dalam banyak hal yang tidak bisa dicerna secara
singkat, puisi mewakilinya. Puisi juga bisa "menyimpan" ingatan secara
tidak terduga, karena bahasanya yang tidak tersurat. Dalam sejumlah
kesempatan demonstrasi dan aksi mahasiswa, puisi-puisi saya bawakan.
Bahkan, ketika maju sebagai calon Ketua Senat Mahasiswa UI, saya lebih
banyak membaca puisi ketimbang berorasi menarik mahasiswa untuk
memilih saya.

Usai kuliah, tahun 1997, krisis multidimensional menimpa Indonesia.
Saya adalah generasi terakhir para sarjana Orde Baru yang langsung
kehilangan harapan. Banyak lowongan kerja yang membatalkan penambahan
karyawan, terutama di dunia pers dan penerbitan. Cita-cita saya
menjadi wartawan tidak kesampaian. Beban sosial juga melekat, yakni
bagaimana mempertahankan hidup setelah kuliah yang menghabiskan umur
dan dana. Apalagi saya banyak dibantu oleh kakak-kakak dan adik-adik
saya ketika kuliah, selain mendapatkan beasiswa mahasiswa berprestasi
dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp. 50.000 per bulan.

Semula, saya bekerja di Surat Kabar Kampus Warta UI, lantai 7 Rektorat
UI. Bersama Pak Rahmat, saya menerbitkan edisi-edisi khusus
berdasarkan kebutuhan fakultas. Uang yang saya dapatkan tidak menentu,
karena memang tidak ada gaji tetap. Rata-rata penghasilannya Rp.
150.000 sampai Rp. 300.000,- per bulan. Tetapi pekerjaan itupun tidak
bertahan lama, karena ada kebijakan untuk tidak lagi menerbitkan SKK
Warta UI. Nasib membawa saya ke jalanan, yakni bergabung dengan PT
Deka Megahrani Citra, sebagai interviewer produk-produk konsumsi,
seperti makanan dan minuman. Penghasilan didapat berdasarkan berapa
banyak responden yang kita dapat. Jumlahnya dikumpulkan per bulan,
kadang kurang dari Rp. 100.000,- per bulan, kadang lebih.

Dalam era reformasi yang bergejolak itu, saya dan teman-teman UI yang
membantu Keluarga Besar UI menerbitkan juga tabloid dan jurnal,
bersama teman saya Rahmat Yananda (sekarang jadi konsultan bisnis),
Andi Rahman (sekarang dosen sosiologi FISIP UI), Dandi Ramdani
(sekarang sedang menempuh pendidikan S-3 di Belanda), Padang Wicaksono
(sekarang sedang menyelesaikan studi S-3 di Jepang), Tirta Adhitama
(sekarang sedang menyelesaikan studi S-3 di Jepang) dan Muhammad Fahri
(sekarang jadi pebisnis). Arus reformasi yang bergulir itu menyediakan
waktu bagi kami untuk mengeluarkan apapun guna mengkritisi rezim yang
mulai keropos. Sikut-menyikut antar kelompok begitu kentara,
kadangkala disertai ketakutan akan dikeroyok atau diculik.

Saya terlibat dalam aksi-aksi itu sebagai alumni, termasuk berada di
Gedung DPR MPR ketika diduduki oleh mahasiswa tanggal 20 Mei 1998.
Buku harian saya dipenuhi berlembar-lembar cerita, termasuk ketika
pecah kerusuhan tanggal 12-13 Mei 1998. Saat kerusuhan meledak, saya
berada di Universitas Trisakti untuk memberikan penghormatan kepada
para mahasiswa yang ditembak sehari sebelumnya. Dari sana saya
saksikan betapa kelompok yang paling berani menghadapi polisi dan
tentara ternyata bukan mahasiswa, melainkan para pelajar. Sebelum
siang, kerusuhan tidak terlalu parah. Tetapi setelah para pelajar
pulang sekolah, mereka berada di barisan depan tanpa rasa takut
berhadapan dengan polisi dan tentara. Kami yang berlindung di dalam
kampus hanya bisa mengusap air mata terkena gas air mata.

Saya kembali mendapatkan kesempatan menulis ketika bekerja di
lingkungan STIE Pramita, Tangerang. Kebetulan majalah kampus itu
membutuhkan tenaga kerja. Bersama dua sahabat saya, Sugeng P Syahrie
dan Luthfi Ihsana Nur, saya mengelola majalah kampus itu. Lama
kelamaan, karena perubahan politik, Pak Hadi Soebadio yang menjadi
pimpinan kampus itu terpilih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah
Partai Amanat Nasional Kabupaten Tangerang. Dari sanalah saya terjun
ke politik, yakni dengan menerbitkan tabloid Mentari. Lagi-lagi
menulis menjadi pekerjaan utama.

Lalu saya berkenalan dengan Faisal H Basri, Sekretaris Jenderal Partai
Amanat Nasional. Sejak mahasiswa saya sudah mengaguminya. Dalam waktu
cepat, sayapun bergabung dengan kelompok Faisal H Basri. Sayapun
pindah dari Tangerang, lantas tinggal di Apartemen Rasuna, Kuningan,
sebagai markas kelompok Faisal H Basri. Di apartemen itulah saya
belajar politik dalam artian paling riil, karena berdiskusi dengan
genk Faisal yang lain, seperti Bara Hasibuan, Arif Arryman, Nawir
Messy, Sjahrial Djalil, Rizal Sukma, Rahmat Yananda, Santoso, Rachman
Sjarief, Aan Effendi, Tristanti Mitayani, Abdillah Thoha, Sandra
Hamid, Miranti Abidin, dan lain-lainnya. Mereka rata-rata
berpendidikan master dan doktoral, serta berasal dari sejumlah lembaga
think tank berpengaruh seperti CSIS, Econit, dan INDEF. Tugas saya
adalah membikin minum, menyapu lantai, membelikan makanan, dan
mencatat hasil rapat, lalu mendistribusikannya kepada peserta rapat.

Dunia internetpun saya kenali di apartemen Rasuna ini. Saya memasuki
berbagai mailing list, lantas menggunakan nick name, juga berdebat
dengan banyak kalangan. Informasi terbanyak memang akhirnya saya
dapatkan lewat dunia maya ini. Boleh dibilang saya selalu tidur
terlambat, karena menggunakan internet sampai dini hari. Koran-koran
sudah saya baca dini hari itu di internet, sehingga informasi terbaru
selalu saya ikuti.

Karena memang hidup di lingkungan politikus dan intelektual, sayapun
memberanikan menulis. Tulisan pertama dan kedua saya kirimkan ke
Kompas. Tulisan ketiga diterima. Semangat barupun muncul, karena
Kompas adalah koran terbesar dan berpengaruh di Indonesia.
Tulisan-tulisan lainpun juga masuk ke Kompas, dan media lainnya.
Jadilah saya dikenal sebagai penulis Kompas, sesuatu yang menjadi
magnet bagi siapapun untuk menyampaikan pikiran mereka kepada saya.
Selain menulis, saya juga menjadi semacam asisten politik Faisal H
Basri. Kesibukannya yang luar biasa membutuhkan manajemen. Saya
ditugaskan untuk membantunya, sekalipun untuk mengatur jadwal Faisal
sangatlah rumit.

Kolom Demi KolomAkhirnya, saya menjadi penulis. Produktifitas saya
begitu meluap. Saya juga menjadi generasi pertama penulis kolom di
sejumlah website dengan honor lumayan. Booming internet waktu itu
menyebabkan banyak permintaan atas kolom, terutama kolom-kolom
politik. Detik.com, Berpolitik.com, Lippostar.com, Satunet.com,
Indonesiamu.com, dan lain-lainnya menjadi tempat saya menyalurkan
bakat dan kemampuan penulisan saya. Namun saya juga tetap terus
mengirimkan tulisan demi tulisan ke koran dan majalah.

Karena memang "kontrak" saya dengan kelompok Faisal mau habis, saya
akhirnya melamar pekerjaan ke dua institusi, yakni CSIS dan radio 68h.
Kebetulan Rizal Sukma yang menjadi kelompok Faisal di PAN adalah
Direktur Studi CSIS, begitu juga anggota gank Rasuna lainnya yakni
Santoso yang menjadi Direktur Radio 68h. Ketika saya mulai kehilangan
harapan, karena beban kebutuhan hidup yang mulai Senin-Kamis, nyatanya
saya diterima di kedua tempat itu. Tetapi, atas saran Santoso dan
teman-teman lain, termasuk dukungan dari Faisal, Arryman, dan Bara,
saya akhirnya memutuskan untuk bekerja di CSIS. Saya mulai masuk
tanggal 1 Desember 2000.

Dengan status baru sebagai peneliti Departemen Politik dan Perubahan
Sosial CSIS, kesempatan buat saya makin terbuka lebar. Apalagi
kelompok Faisal makin patah arang dengan PAN. Tanggal 21 Januari 2001,
sebanyak 16 orang fungsionaris dan pendiri PAN mengundurkan diri,
termasuk saya yang sebetulnya baru bergabung resmi dalam Departemen
Seni dan Budaya DPP PAN pascakongres PAN di Yogyakarta tahun 2000.
Sebagai orang dekat Faisal, saya punya banyak kesempatan mengikutinya,
termasuk dalam rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan penting di luar
jabatan saya di Departemen Seni dan Budaya. Saya juga mulai mengambil
tempat sebagai salah satu orang yang diberi kesempatan mengambil sikap
atau keputusan atas apa yang akan dilakukan oleh kelompok.

Setelah mundur dari dunia politik, sekalipun tetap dikenal sebagai
orang PAN, saya mempunyai ketertarikan mendalam kepada
kelompok-kelompok masyarakat sipil. Karena kelompok Faisal sudah
jarang bertemu, saya akhirnya bergabung dengan sejumlah kelompok
masyarakat sipil, antara lain Forum Indonesia Damai. Ketika banjir
melanda Jakarta, saya bergabung dengan kelompok Satu Merah Panggung
Ratna Sarumpaet. Dalam kapasitas sebagai anggota DPP PAN, saya juga
pernah menjadi tim perumus dan penulis akhir buku Skenario Masyarakat
Sipil Indonesia tahun 2010, dimana saya berkenalan dengan banyak
aktifis muda kala itu, seperti Munarman YLBHI. Saya juga menjadi salah
satu deklarator Perhimpunan Rakyat Jakarta untuk Pemberantasan Korupsi
(berantaS). Sebetulnya, simbol "S" dengan huruf besar dalam KontraS
dan BerantaS itu bukan timbul tanpa sengaja, melainkan diidentikkan
dengan Soeharto, sesuatu yang jarang diketahui oleh kalangan luar.

Dan sayapun menikahi kekasih yang mendampingi saya selama 6 (enam)
tahun sejak di bangku kuliah: Faridah Thulhotimah, anak jurusan Ilmu
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI. Ia
menjadi sumber inspirasi saya, sekaligus kekuatan saya ketika
berhadapan dengan begitu banyak persoalan hidup. Pernikahan saya
dihadiri oleh sejumlah aktifis, peneliti, politikus, dan teman dekat.
Mustafa Kamal membacakan doa, sementara Erry Riyana Hardjapamengkas
bertindak sebagai tuan rumah alias bapak angkat saya. Faisal H Basri
menjadi saksi. Biaya pernikahan saya datang dari kantong-kantong
pribadi orang-orang baik itu.

Sebagai aktivis dan peneliti, saya juga menjadi penyiar radio, yakni
di Radio Delta FM dan Jakarta News FM. Karena bergabung dengan Koalisi
untuk Konstitusi Baru yang dikomandani oleh Todung Mulya Lubis dan
Bambang Widjajanto, saya akhirnya berkenalan dengan banyak ahli hukum
dan politik dari berbagai kampus. Saya juga pernah menjadi host acara
di Trijaya FM. Undangan sebagai pembicarapun berdatangan, termasuk di
luar daerah. Inilah dunia yang "menenggelamkan" saya ke dalam
pergaulan kalangan civil society di Indonesia. Sejumlah nama yang
hadir di media massa-pun akhirnya saya kenali satu demi satu. Sayapun
juga mengenali Teten Masduki, justru setelah saya aktif di BerantaS
yang merupakan "pecahan" dari Indonesia Coruption Watch. Dari FID saya
kenal Erry Riyana Hardjapamengkas.

Tidak ada komentar: