Sabtu, 11 Oktober 2008

perhatian penerbit pada penulis

Republika Minggu, 13 Januari 2008 | Selisik

Perhatian Penerbit Pada Penulis
------------ --------- --------- -
>> Anwar Holid

SELISIK saya di awal tahun 2008 ini agak murung. Bukan karena di
bulan Januari ini kita hampir tiap hari diguyur hujan, tapi karena
saya mendengar kabar buruk buat penulis. Kabar itu ialah minimnya
perhatian penerbit pada judul atau penulis tertentu.

Dalam pertemuan penerbit-penulis- peresensi di acara Kompas-Gramedia
Fair (KGF) 2007 di Sabuga, saya mendapati fakta bahwa penerbit besar
seperti Elexmedia saja tak menyediakan dana untuk launching setiap
buku. Yang dianggarkan ialah dana promosi untuk keseluruhan buku,
terutama dalam setiap acara yang diikuti penerbit. Jelas ini membuat
setiap judul sulit menonjol, minimal sekali saja persis begitu
terbit. Memang kesempatan sebuah buku bisa menonjol masih terbuka,
misalnya terpilih ikut disertakan dalam iklan ramai-ramai di koran,
atau karena pertimbangan tertentu, judul tersebut dipajang poster X-
bannernya. Contoh Cherish Every Moment karya Arvan Pradiansyah (Elex,
2007), yang X-bannernya dipasang persis di gerbang ruang utama
pameran KGF. Baik Arvan dan bukunya tak muncul dalam rangkaian acara
KGF, tapi bisa jadi karena dua buku dia sebelumnya (Life is Beautiful
dan You Are a Leader!) termasuk bestseller, Elex memutuskan
mengiklankan buku ke-3 dia.

Harus diakui penerbit memang penuh pertimbangan dalam mengiklankan
buku. Baru ketika sebuah judul mampu mengangkat reputasi penerbit dan
jelas mendatangkan keuntungan, mereka mau berisiko mempromosikan
buku.

Ada alasan tertentu kenapa penerbit cenderung hanya mau mendukung 1 -
2 judul bestseller dalam anggaran mereka, yaitu masalah posisi tawar
penerbit terhadap toko buku. Makin bestseller, makin banyak
diperbincangkan sebuah judul, akan membuat penerbit punya daya tawar
bahwa produknya laku dan menguntungkan toko. Harapannya penerbit bisa
menegaskan dan berharap lantas produk mereka lainnya bisa ikut
terangkat dan terdisplay dengan pantas. Hukum pasar berlaku. Wajar
bila penerbit berhitung atas setiap rupiah pengeluaran. Memang
penerbit hingga sekarang masih penasaran apa bedah buku dan
sejenisnya beriringan dengan larisnya sebuah judul.

Salah satu aspek yang juga patut diperhatikan ialah ada baiknya
seorang penulis memiliki event organiser atau 'publisis' yang mau
fokus terus-menerus mengusahakan promosi bukunya. Kondisi ini
sebenarnya kurang ideal bagi penulis, sebab secara finansial
keuntungan penulis rata-rata hanya 10 per sen dari harga buku. Coba
bayangkan kerepotan penulis harus mencari rekan kerja yang mau
menggulirkan terus ide-ide penerbitan bukunya, belum soal biaya.
Penulis lain, terutama dari kalangan motivator dan manajemen,
menyertakan penjualan bukunya dalam paket training atau seminar yang
dia adakan. Perimbangan keuntungan dengan cara seperti ini lebih
masuk akal; penerbit dan penulis mendapat bagian masing-masing,
sedangkan angka penjualan bisa terus bertambah. Tapi memang sudah ada
banyak contoh betapa buku yang dipromosikan dengan gegap gempitan
(istilahnya 'hype') dengan pantas berbuah jadi bestseller.

PROMOSI pasti berhubungan dengan anggaran, harapan keuntungan, dan
tujuan yang ingin dicapai penerbit; tapi kesan bahwa penerbit pilih
kasih dan kurang perhatian pada terbitan mereka jadi sulit dihindari.
Penulis yang punya energi dan dana lebih kadang-kadang mesti rela
merogoh kantong sendiri untuk berbagai keperluan, baik diskusi,
imbalan resensi, bahkan sejenis promosi dari satu tempat ke tempat
lain. Terbayang betapa 'pengorbanan' penulis yang amat besar buat
bukunya, bahkan akhirnya jadi terasa berlebihan karena kurang
didukung sungguh-sungguh oleh penerbit. Pernah saya dengar pengakuan
tentang penulis yang sampai mesti mengeluarkan uang untuk pembicara
agar mau mengkritik karyanya atau tambahan biaya konsumsi diskusi
bukunya, sementara meminta penerbit serius menyediakan buku untuk
komplimen bagi para rekanan media atau orang yang relevan saja agak
sulit.

Kira-kira setahun lalu saya pernah ketemu penulis muda yang berambisi
agar bukunya mesti disokong promosi, iklan, training, dan sebagainya,
agar idenya bisa massif di ruang publik dan mempengaruhi pembaca
sebanyak mungkin---mirip yang terjadi pada 'ESQ' karya Ary Ginanjar.
Jelas sulit mencari penerbit yang mau setuju dengan klausulnya.
Mendengar itu, saya sengaja mendukung dia dengan bilang
begini, "Terbitkan sendiri saja mas, kan Anda yakin betul dengan
rencana untuk buku itu, apalagi perangkat pendukungnya juga lengkap,
termasuk klik yang siap membantu Anda. Biar semua yang Anda impikan
terwujud dan porsi terbesar keuntungan dari penerbitan itu persis
jatuh ke tangan Anda." Rupanya buku dia akhirnya diterbitkan sebuah
penerbit besar. Tapi barangkali anggaraan promosi untuk buku itu
tetap minim, buku dia terbit begitu saja, tanpa iklan atau rencana-
rencana besar sebagaimana dia impikan. Jelas keinginannya buyar. Saya
berharap, apa pun yang terjadi pada bukunya, semoga buku itu masih
bisa merebut perhatian pembaca, terutama ide-ide orisinal yang keluar
dari kesungguhannya mencerap pemikiran.

Barangkali ada porsi yang patut dilakukan penerbit terhadap judul dan
penulis tertentu. Memang ada penerbit yang agak menolak anggapan
bahwa penerbit adalah pihak yang paling besar mendapat porsi
keuntungan sebuah buku, dengan bilang bahwa pihak yang paling besar
mendapat porsi keuntungan ialah toko buku.

Wah, lepas dari kondisi yang tampak kurang ideal itu, saya berharap
perhatian penerbit terhadap penulis terus meningkat, setidaknya kerja
sama kedua belah pihak itu lebih berimbang. Bila begitu, barangkali
nada murung dalam Selisik bisa sedikit lebih berkurang.[]

Note: Cherish Every Moment (Arvan Pradiansyah) terpilih sebagai salah
satu buku nonfiksi terbaik 2007 versi Ruang Baca Koran Tempo. Kata
Hernadi Tanzil, "buku ini memberikan pesan yang singkat tapi sarat
makna dan menginspirasi agar hidup kita semakin berkualitas, bisa
menikmati hidup yang indah setiap saat, dan menjadi berkat bagi
sesama kita di mana pun dan apa pun yang kita hadapi pada saat ini."
Beberapa orang telah meresensi buku ini, antara lain Akmal Nasery
Basral, Ratih Poeradisastra, Audifax, Wawan Eko Yulianto, juga saya.
Selain mengelola ILM (perusahaan HRD), Arvan Pradiansyah dikenal
sebagai pembicara publik dan motivator. Di radio Ramako, setiap Jumat
pukul 07.00 - 08.00 pagi dia menjadi host talkshow 'Friday Spirit',
tampil sebagai 'personal inspirator.' Cherish Every Moment kini
tengah cetak ulang, dijadwalkan beredar lagi pada awal Februari 2008.
Cetak ulang ini membuktikan bahwa buku-buku Arvan bisa diserap pasar
dengan baik.

ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku
Bandung.

KONTAK: 08156140621 - (022) 2037348 | wartax@yahoo. com | Panorama II
No. 26 B, Bandung 40141

menerbitkan buku secara indie

Senang rasanya mengetahui ada orang yang punya keinginan untuk
menerbitkan hasil karyanya sendiri. Sebab, dengan berani menerbitkan
hasil karya sendiri, berarti Arswendo telah memposisikan diri sebagai
seorang penulis sekaligus pengusaha, yang mana nantinya akan
memberikan dua efek sekaligus, yaitu kepuasan materi dan immateri.

Dari segi kepuasan materi, Arswendo akan mendapat laba penjualan novel
tersebut yang jumlahnya pasti lebih besar daripada royalti yang
didapat jika Arswendo menerbitkannya melalui penerbit lain. Sedangkan
dari segi kepuasan immateri, Arswendo akan merasakan kebanggaan yang
tak terkira karena hasil karyanya telah menjadi sebuah buku dan dapat
dinikmati banyak orang.

Kelebihan dari penerbitan indie adalah bahwa kita yang memegang semua
kendali atas proses penerbitan hasil karya kita. Dari mulai awal
proses penulisan sampai dengan pendistribusia kita bisa mengatur
waktunya sesuai dengan keinginan kita. Hal ini jauh berbeda apabila
kita mengirim naskah kita ke sebuah penerbit. Kita harus menunggu
seleksi, kemudian menunggu proses editing, pracetak dan sampai proses
cetak yang semuanya bisa memakan waktu dari 6 bulan hingga tahunan.

Nah, bagaimana kiat-kiat untuk dapat menerbitkan novel secara indie
label? Jawabannya ada di bawah ini.

1. Naskah.

Poin ini pasti sudah jelas. Sebelum melakukan berbagai proses
penerbitan, kita harus memiliki sebuah naskah. Naskah dapat diperoleh
melalui menulis sendiri atau memperoleh dari orang lain.
2. Editing.

Setelah kita memiliki sebuah naskah, maka tahap selanjutnya adalah
proses editing. Proses ini bertujuan "mempercantik" naskah yang telah
kita miliki agar nantinya dapat dinikmati oleh pembaca.

Jika kita belum mempunyai seorang editor tetap, kita bisa menggunakan
jasa editor freelance.
3. Layout.

Pada tahap ini, naskah yang telah di-edit, kemudian di-layout menjadi
sebuah buku sesuai spesifikasi yang telah kita tentukan sebelumnya.
Proses layout ini mencakup layout isi dan cover yang juga bisa kita
out-sourcing kepada para designer freelance.

4. Cetak.

Setelah proses layout selesai dan kita sudah yakin akan tampilan isi
dan perwajahan buku kita, sekarang saatnya kita mencetak buku
tersebut. Saat ini, sepanjang yang saya ketahui, para penerbit indie
mencetak sebanyak 3000 eksemplar pada proses cetak pertama.

5. Distribusi.

Setelah buku tercetak, pekerjaan kita selanjutnya adalah
mendistribusikannya ke toko-toko agar pembaca dapat membeli buku
tersebut. Dalam mendistribusikan buku-buku itu kita tidak perlu
mengantarnya sendiri ke setiap toko buku, karena selain hal ini tidak
efisien dan membuang banyak waktu serta tenaga, juga sangat tidak
efektif, sebab kemampuan kita untuk mendistribusikan buku itu sendiri
tidak akan bisa mencakup seluruh toko yang ada di Indonesia, padahal
kita ingin agar buku-buku yang telah kita terbitkan itu bisa dipajang
di seluruh toko di Indonesia. Lantas, bagaimana solusinya?

Solusi terbaik adalah menggunakan jasa distributor. Dengan menggunakan
jasa distributor, semua buku kita akan tersebar ke seluruh toko buku
di Indonesia. Biasanya para distributor itu akan meminta bagian
sekitar 35% hingga 55% dari harga buku kita.

Nah, demikian kiat-kiat yang mungkin bisa membantu Arswendo dan
teman-teman lainnya.

Mengenai HAKI, setahu saya dalam menerbitkan novel tidak perlu
mengurus HAKI. Hanya saja, apabila ingin buku kita bisa diterima oleh
toko-toko buku besar, biasanya kita diminta untuk memiliki nomor ISBN
terlebih dahulu, dan pengurusan ISBN ini dapat dilakukan di Perpusnas
dengan biaya Rp25.000,-

Semoga membantu.

Ovan

Hp.0818-123217

menangkap inspirasi

Penulis: Octaviana Dina

Setiap penulis pasti pernah mengalami kebuntuan dalam menulis.
Mendadak macet di tengah-tengah proses penulisan, atau justru melempem
saat baru ingin mulai menulis. Penyebabnya karena padamnya lentera
inspirasi. Jalan pikiran menjadi gelap. Alhasil sang penulis terjebak,
tak tahu harus melanjutkan ke arah mana. Tak ubahnya bagai perahu
layar yang mendadak berhenti melaju akibat mati angin. Tidak maju,
tidak pula mundur. Hanya mengapung-apung di tengah samudera. Jika
sudah begitu, haruskah penulis berhenti menulis sementara menunggu
kembalinya inspirasi?

Inspirasi adalah motor penggerak bagi penulis. Kehadirannya memang tak
bisa ditebak. Kadang datang begitu saja tanpa diminta, kadang tak
kunjung tiba meski sudah dinanti-nanti. Lantas bagaimana seandainya
inspirasi tidak datang juga setelah sekian lama, haruskah penulis
hanya terus menunggunya? Tentu saja tidak, karena jika seorang penulis
baru menulis setelah inspirasi yang ditunggunya tiba, ini akan
menyulitkan si penulis itu sendiri. Ia sulit menjadi produktif apabila
hanya mengandalkan kedatangan inspirasi alias hanya pasif menunggu
sampai inspirasi itu hinggap di kepalanya. Oleh sebab itu, penulis
harus aktif mencari inspirasi. Menangkap inspirasi.

Di mana inspirasi berada? Thornton Wilder (1897-1975), seorang novelis
dan penulis sandiwara terkenal asal Amerika, berkata demikian: "bahan
mentah karya-karya besar hanyut mengapung mengitari dunia, menunggu
untuk dibungkus kata-kata." Dengan kata lain, inspirasi ada di
mana-mana. Dunia di sekeliling kita adalah harta karun inspirasi yang
terus bertambah jumlahnya seiring dengan perjalanan waktu. Setiap hari
selalu ada yang baru. Matahari di hari Senin tak pernah seratus persen
sama dengan Matahari di hari Selasa keesokan harinya. Lagu X yang kita
nikmati di bawah langit cerah pastilah menghasilkan nuansa berbeda
dengan lagu X yang sama yang kita nikmati saat langit kelabu berhujan.
Selalu ada sesuatu yang baru. Betapa melimpahnya inspirasi itu di
sekitar kita. Keseharian kita sesungguhnya bertaburan inspirasi :
filem, berita, buku, musik, langit, bunga, kucing, pakaian, tutur
kata, gerak-gerik, tatapan mata, deru mobil, angin sore, lilin yang
menyala, bulan purnama….; terlalu banyak untuk disebutkan. Itu hanya
sebagian kecil dari sarang inspirasi.

Inspirasi selalu sedang menunggu kita, para penulis, untuk menemukan
dan menangkapnya. Dan kita pasti bisa, sebab kita semua telah
diperlengkapi dengan seperangkat alat penangkapnya: indera. Jadi,
apapun aktivitas keseharian atau kegiatan favorit kita, jangan biarkan
inspirasi berlalu begitu saja tanpa arti. Jangan biarkan filem yang
kita tonton, musik yang kita nikmati, buku yang kita baca, berita yang
kita dengar, kejadian yang kita saksikan, orang-orang yang kita temui
dan sebagainya, lewat dan sirna tanpa kita sempat menangkap inspirasi
yang bertebaran di dalamnya.

Tangkaplah inspirasi itu. Lalu catat dalam sebaris atau dua baris
kalimat agar jangan sampai hilang terlibas keseharian kita yang lain
sebelum akhirnya kita menjadikannya sebagai nafas dari tulisan kita
kemudian.

Jakarta, Juni 2007

Fiksi Islami, antara konsptual dan industri

Tulisan ini terinspirasi oleh komentar mas Sakti Wibowo yang dimuat
pada kata pengantar untuk novel "Dan Cinta pun Rukuk" karya Dhani
Ardiansyah dan Lulu L Maknun. Berikut cuplikannya.

"…. Hampir seluruh penerbit fiksi Islam, di tahun 2007 ini
mengeluh. Dunia penerbitan fiksi Islam sedang mengalami titik
kejenuhan yang parah, oleh sebah ceruk kecil itu sekarang begitu sesak
pemain. Penjualan fiksi Islam mengalami terjun bebas, dan begitu
banyak judul yang jeblok di pasaran.

Penulis-penulis yang dulu berbondong-bondong menjadi penulis fiksi
Islam, kini juga sudah mulai berbondong-bondong lagi menjadi penulis
fiksi umum…."

Saya mencoba berbaik sangka terhadap mas Sakti Wibowo atas kutipan di
atas. Saya yakin mas Sakti tentu punya pemahaman yang sangat luas
mengenai konsep "fiksi Islam". Tapi entah kenapa, saya merasa amat
tergelitik membaca tulisan itu, dan akhirnya menggerakkan saya untuk
menulis artikel ini.

Saya tak akan bicara soal perkembangan sastra islam, khususnya
kebangkitannya kembali setelah FLP berdiri. Sudah demikian banyak
tulisan yang membahas hal ini. Kali ini, saya hanya akan membahas satu
di antara fenomena sastra Islam yang menggejala (bahkan memprihatinkan
sebenarnya) pada era tahun 1997 hingga 2004 lalu.

Saat itu, banyak sekali penerbit yang menerbitkan sastra Islami. Bukan
hanya penerbit Islam (maksudnya, penerbit yang memang benar-benar
punya misi dan visi untuk menyebarluaskan nilai-nilai Islam lewat
buku), tapi juga penerbit umum yang hanya berorientasi bisnis semata.

Saat itu pula, buku-buku fiksi dengan label "Islam" (seperti NORI -
novel remaja islami - di DAR! Mizan, dan Fikri - fiksi remaja islam -
di Gema Insani) laris manis di mana-mana. Maka, banyak sekali penerbit
yang berlomba-lomba menerbitkan buku fiksi dengan label "cerita Islami".

Saya pernah bertanya kepada seorang editor di sebuah penerbit Islam.
Dia memang mengakui bahwa cerita-cerita Islami sedang tren dan laku keras.

Di satu sisi, kita sebagai umat Islam memang bangga dengan fenomena
ini. Ini artinya bahwa nilai-nilai Islam semakin populer dan bisa
diterima oleh khalayak ramai. Alhamdulillah, kita patut bersyukur.

Tapi di sisi lain, ini juga sebenarnya bisa menjadi bumerang
tersendiri. Saya tak akan berpanjang-panjang dalam teori. Tapi
komentar mas Sakti Wibowo di atas, bagi saya sudah merupakan bukti
yang sangat nyata.

Komentar tersebut membuat saya bertanya-tanya, "Apakah jika seorang
penulis menerbitkan buku umum, apakah bukunya itu dijamin tidak islami?"

Terus terang saya sering merasa bingung ketika mendengar pembicaraan
antara editor sebuah penerbit Islam dengan seorang penulis:

"Saya mau mengirim naskah ke penerbit Anda," ujar si penulis.
"Apakah penerbit Anda hanya menerbitkan buku-buku Islam?"

"Tidak. Kami juga menerbitkan buku-buku umum, kok," jawab si
editor dengan santainya.

Ini bukan pembicaraan fiktif semata, tapi saya seringkali mendengar
pembicaraan semacam itu.

Dan lewat komentar mas Sakti di atas, saya seperti kembali
mendengarkan pembicaraan yang sama, dalam susunan redaksional yang
berbeda. Sebuah ungkapan yang di telinga saya terdengar sebagai sebuah
pemikiran yang berbau sekularisme. Sebuah ungkapan yang seolah-olah
berisi penegasan bahwa "novel-novel yang tidak diberi label Islam
adalah tidak Islami".

Ya, seandainya ucapan seperti itu keluar dari seorang editor dari
penerbit umum, terlebih lagi jika dia bukan beragama Islam, saya akan
sangat maklum. Tapi jika keluar dari seorang editor dari penerbit
Islam, yang selama ini dikenal memiliki visi dan misi untuk berdakwah
lewat penerbitan buku, terus terang saya agak merasa bingung.

Maka saya kira, dalam hal inilah kita perlu bijak dalam membedakan
mana "fiksi islam" dalam konteks industri dan mana "fiksi islam" dalam
konteks konseptual.

Dalam konteks industri, kita memang tak bisa menafikan bahwa para
penerbit mau tidak mau harus memberikan label tertentu pada buku-buku
terbitan mereka. Tujuannya tentu saja agar buku tersebut dibaca oleh
segmen yang tepat, sesuai dengan konsep marketing mereka.

Maka, penerbit pun memberikan label "cerita islami" pada novel
tertentu, dengan harapan agar novel tersebut dibaca oleh kalangan
pembaca yang familiar bahkan cinta terhadap nilai-nilai Islam. Jika
segmen pembaca mereka adalah anak-anak ABG yang doyan pergi ke mal dan
jarang shalat, mereka tak akan memberi label "cerita islami" pada
novel tersebut.

Lagipula, karena novel-novel berlabel "cerita islami" sedang tren di
mana-mana, para penerbit pun berlomba-lomba memberikan label seperti
itu pada novel-novel yang mereka terbitkan.

Dan kini, ketika penjualan novel-novel yang berlabel "cerita islami"
anjlok drastis atawa terjun bebas, maka para penerbit pun membuang
label "cerita islami" dari buku-buku mereka. Sepanjang pengamatan
saya, DAR! Mizan termasuk penerbit yang cukup antisipatif terhadap
masalah ini. Ketika mereka melihat bahwa prospek penerbitan cerita
islami mulai turun, mereka segera mendirikan Penerbit Cinta yang
bersifat umum.

Ya, memang demikianlah sistem kerja sebuah industri. Kita tak bisa
menyalahkan mereka.

* **

Dalam hal konseptual, saya kira pengertian "fiksi islami" atau "sastra
islami" atau "cerita islami" benar-benar jauh berbeda dengan
"definisi" ala industri di atas. Agaknya saya tak perlu berpanjang
lebar menjelaskan bagaimana definisi yang konseptual mengenai cerita
islami. Sudah demikian banyak artikel yang membahas masalah ini. Yang
jelas, novel-novel terbitan Gramedia atau Gagasmedia pun bisa saja
Islami. Bahkan novel-novel yang di dalamnya sama sekali tak ada
simbol-simbol Islam pun bisa saja sangat islami. Sekadar reminder,
saya pernah membahas film "30 Hari Mencari Cinta" yang menurut saya
memiliki pesan moral yang Islami.

Islam adalah masalah NILAI yang terkandung di dalam sesuatu, BUKAN
SIMBOL yang dihadirkan oleh sesuatu tersebut.

Dalam hal inilah saya merasa tergelitik membaca komentar mas Sakti di
atas. Okelah, saya mencoba berbaik sangka. Mas Sakti tentu sangat
paham mengenai definisi yang konseptual mengenai "fiksi islami".

Namun, kenapa komentar seperti di atas masih muncul dari pikiran dan
goresan pena Mas Sakti? Dugaan saya, mungkin ini disebabkan mas Sakti
selama bertahun-tahun menjadi editor di penerbit. Dan tanpa sadar,
pikiran beliau sudah "dirasuki" oleh definisi sastra islami ala
industri. Semoga ini hanya prasangka buruk dan saya mohon maaf jika
memang keliru.

* * *

Bagi seorang muslim yang telah paham mengenai konsep "fiksi islam"
yang sejati, saya kira anjloknya atau terjun bebasnya penjualan
buku-buku berlabel "Islam" sama sekali tak perlu dikhawatirkan. Tak
ada yang perlu disesali. Biarkan saja. Memang dunia industri seperti
itu. Suka naik turun. Berubah-ubah semaunya.

Kenapa kita tak perlu khawatir? Sebab yang anjok itu hanya labelnya.
Apalah arti sebuah label! Yang penting nilai-nilai Islam di dalam hati
dan pikiran kita tidak ikut anjlok. Yang penting muatan nilai-nilai
Islam di dalam tulisan-tulisan kita tidak ikut anjlok bahkan hilang.
Dan bagi penerbit: yang penting nilai-nilai islam tetap berkibar di
dalam buku-buku terbitan mereka, walau buku-buku itu sama sekali tidak
ditempeli label-label berbau Islam.

* * *

Dan kalau bicara soal strategi, saya kira banyak kiat yang bisa kita
lakukan untuk menyiasati kelesuan industri fiksi islam saat ini.

Bagi penulis: karanglah sebuah novel atau cerpen yang sama sekali
tidak menampilkan simbol-simbol islam, tapi nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya tetap islami.

Bagi penerbit: dirikanlah sebuah divisi penerbitan yang menerbitkan
buku-buku BERLABEL umum, tapi buku-buku tersebut tetap sarat oleh
nilai-nilai islam.

Saya tidak berani mengatakan bahwa buku-buku Penerbit Cinta itu
dijamin islami. Tapi saya berani menyampaikan bahwa strategi DAR!
Mizan ketika mendirikan Penerbit Cinta patut ditiru oleh
penerbit-penerbit Islam lainnya.

* * *

Saya ingat pada ucapan Maman S Mahayana pada acara Milad FLP ke-10
bulan Februari 2007 lalu. Katanya, "Salah satu strategi agar
karya-karya penulis FLP bisa diterima oleh khalayak umum, mereka harus
rajin menerbitkan buku-buku mereka di penerbit-penerbit umum."
Maksudnya (ini dalam versi saya - Jonru), janganlah kita hanya
menerbitkan buku di penerbit-penerbit Islam yang selama ini sudah
menjadi `langganan tetap' penulis-penulis FLP.

Saya "setengah setuju" dengan pendapat Bang Maman ini. Di satu sisi,
saya memang sependapat bahwa ini bisa menjadi salah satu strategi agar
penulis-penulis FLP mulai diterima di "dunia luar".

Tapi di sisi lain, saya juga mengkawatirkan satu hal: Jika semua
penulis FLP menerbitkan buku di penerbit umum dan meninggalkan
penerbit-penerbit Islam yang selama ini sangat setia mendukung FLP,
apakah itu bukan berkhianat namanya?

Karena itulah, saya punya ide yang semoga bisa menjadi jalan tengah.

Wahai para penerbit Islam! Dirikanlah satu atau beberapa lini
penerbitan, yang menerbitkan buku-buku umum, tapi muatannya tetap
Islami. Lalu ajaklah para penulis FLP untuk menyumbangkan
naskah-naskah mereka. Saya yakin, banyak penulis di kalangan FLP
(termasuk saya, hehehe…) yang tertarik dengan sistem ini.

Saya kira, ini bukan hanya masalah strategi untuk menyiasati kelesuan
pasar. Tapi:

1. Ini juga bisa menjadi strategi dakwah yang sangat jitu. Sebab
dengan menerbitkan buku bermuatan Islam tapi jauh dari simbol-simbol
Islam, diharapkan buku-buku tersebut bisa menjangkau kalangan
masyarakat yang selama ini memang masih antipati terhadap segala
sesuatu yang berbau Islam.
2. Karya-karya penulis FLP tetap diterbitkan oleh penerbit-penerbit
Islam yang selama ini setia mendukung FLP.
3. Karya-karya penulis FLP diharapkan makin diterima luas oleh
masyarakat umum.

Yang kita butuhkan saat ini adalah membuka pikiran dan wawasan yang
seluas-luasnya. Saatnya kita - baik penulis maupun penerbit - menata
ulang persepsi kita selama ini yang mungkin masih salah mengenai
definisi fiksi Islam.

Cipayung, 14 Mei 2007
Jonru

universitas penulisan

Ada sebuah kampus bernama "Universitas Penulisan". Untuk bergabung di
dalamnya, Anda tak perlu ikut tes apapun, tak perlu membayar biaya
apapun. Anda hanya perlu menulis, menulis, dan menulis ("Menulislah
Tanpa Banyak Teori," kata Mas Akmal).

Sebagaimana kampus pada umumnya, di Universitas Penulisan ini pun
terdapat sejumlah fakultas. Sayangnya, hampir semua mahasiswanya
berpikir bahwa hanya ada satu fakultas di sana, yakni Fakultas Publikasi.

Apa sih, Fakultas Publikasi itu?

Fakultas Publikasi adalah fakultas tempat para mahasiswa berjuang
untuk memuat karya-karya mereka di media cetak (majalah, koran,
tabloid), dan/atau menerbitkan naskah mereka menjadi buku. Biasanya,
para mahasiswa di sini sangat bangga bila sudah ada karya mereka yang
dimuat di koran, atau diterbitkan dalam bentuk buku.

Hal yang aneh, banyak mahasiswa di fakultas ini yang beranggapan bahwa
yang berhak disebut sebagai penulis hanyalah mereka yang mengambil
Fakultas Publikasi. Bahkan ada penulis yang sampai sesumber berkata,
"Bila belum ada karya Anda yang dimuat atau diterbitkan sebagai buku,
maka Anda bukan penulis!"

(Hehehe… sepertinya Si Sesumbar ini belum membaca tulisan yang satu ini.)

Maka, para mahasiswa baru pun biasanya berduyun-duyun memasuki
fakultas yang satu ini. Fakultas Publikasi menjadi fakultas favorit,
khususnya bagi penulis pemula. Seperti yang saya sebutkan di atas,
banyak sekali di antara mereka yang beranggapan bahwa Fakultas
Publikasi merupakan satu-satunya fakultas di Universitas Penulisan.

Padahal oh padahal….
Jika mereka rajin jalan-jalan, mengelilingi seluruh kompleks
Universitas Penulisan, mereka akan menemukan fakultas-fakultas lainnya:

Fakultas Media Elektronik, terdiri dari jurusan:

* Script writer: penulis naskah untuk acara-acara (program)
televisi/radio.
* Penulis skenario film dan sinetron

Fakultas Media Cetak, terdiri dari dua jurusan:

* Redaktur
* Reporter

Fakultas Media Bisnis, terdiri dari satu jurusan: copywriter (penulis
naskah-naskah iklan).

Fakultas Media Online, terdiri dari satu jurusan juga: Content Editor
(pengelola content pada media online/website).

Fakultas Teater, juga terdiri dari satu jurusan: Penulis naskah drama.

Fakultas Wirausaha, membawahi satu jurusan: Writerpreneurship, atawa
berbisnis lewat hobi menulis.

Fakultas Penulis Lepas, punya banyak jurusan, bahkan bisa tak terbatas:

* Penulis naskah-naskah untuk perusahaan (company profile, press
release, media internal, annual report, dan sebagainya).
* Penulis biografi.
* Penulis hantu (ghost writer).
* Masih banyak lagi, dan akan terus berkembang seiring
perkembangan zaman.

Fakultas Public Speaking, dihuni oleh para penulis yang biasa menjadi
pembicara pada acara-acara seminar/workshop/pelatihan penulisan. Ada
di antara mereka yang belum terlalu sukses di fakultas-fakultas lain.
Tapi mereka punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh penulis-penulis lain:

* Pintar berbicara di depan umum.
* Pintar menyampaikan ilmu dengan baik dan menyenangkan,
sebagaimana halnya para guru/dosen yang disukai oleh
murid/siswa/mahasiswa karena kepintaran mereka dalam mengajar.

Fakultas Blog, dihuni oleh orang-orang yang rajin menulis di blog.
Mereka biasa disebut blogger. Tapi pada dasarnya mereka semua adalah
penulis.

* * *

Anda mau masuk fakultas mana? Pilihlah yang sesuai dengan selera Anda.

Tak perlu khawatir bila salah jurusan/fakultas. Sebab di Universitas
Penulisan, Anda bisa pindah ke jurusan/fakultas lain dengan amat
mudah, tak perlu syarat dan prosedur apapun.

Anda bahkan bisa merangkap di berbagai fakultas/jurusan dengan amat mudah.

Satu hal yang pasti: Di fakultas/jurusan manapun Anda berada, Anda
adalah penulis!

Jangan minder bila Anda belum berhasil di Fakultas Publikasi. Jangan
minder atau kecewa atau putus asa bila Anda belum berhasil
mempublikasikan karya-karya Anda, sebagaimana para mahasiswa Fakultas
Publikasi lainnya yang telah berhasil.

Masih banyak fakultas lain yang dapat Anda masuki. Universitas
Penulisan itu sangat luas, saudaraku.

Jadi tetaplah semangat!

Semoga sukses!

Cilangkap, 27 Desember 2007

Jonru

tips mengirim naskah...

Menurut saya tidak pernah ada kata aman 100% jika kita
mengirim naskah ke penerbit. Dengan cara apa pun ada
kemungkinan kebocoran. Baik email, mengirim via pos
bisa saja bocor. Semua itu bisa diminimalisir jika
penerbitnya memiliki kredibilitas dan prosedur yang
baik dalam urusan menangani naskah. Ada prosedur baik
pun bisa saja ada oknum di dalam penerbit itu yang
kadang nakal. Perlu diingat juga semua ini tidak
tergantung pada besar-kecilnya penerbit, lebih pada
orang-orang yang ada di penerbit tersebut.

Tips buat yang mengirim naskah ke penerbit:
1. Tanya teman yang pernah mengirimkan naskah ke
penerbit yang bersangkutan. Apa pernah punya
pengalaman buruk.

2. Tidak ada salahnya mengontak terlebih dahulu
penerbit tersebut via email atau telepon. Tanya dulu,
jangan dikirim naskahnya dulu.

3. Salah satu faktor yang menunjukkan penerbit yang
'serius' adalah memiliki alamat usaha yang jelas.

4. Catat tanggal kapan naskah dikirim. Kalau kirim via
email cc juga email tersebut ke Anda sendiri. Untuk
jaga-jaga nanti.

5. Cari tahu siapa yang bertanggung jawab menerima dan
memeriksa naskah. Biasanya ada orang yang khusus
tugasnya itu. Kalau ada apa-apa Anda tahu siapa yang
perlu dikontak.

6. Kalau perlu jangan kirim semua naskah. Sebagian
dulu saja, misalnya satu atau dua bab dulu. Biasanya
penerbit tidak berkeberatan. Kalau penerbit ok dan
tertarik untuk menerbitkan, baru kirim semua.

7. Jika mengirimkan via email bisa dipertimbangnya
mengirimkan dalam format PDF yang relatif lebih aman
dari format Word (Ingat, tetapi tidak aman 100% juga,
karena namanya format digital tetap saja dengan
perkembangan teknologi tetap bisa dibajak)

Semoga membantu
Didik Wijaya
Managing Editor
Penerbit Escaeva
http://www.escaeva. com

Ruh sebuah Penulisan

Ruh Sebuah Tulisan
Oleh Nursalam AR

* *

Sahabat, mari kita bicara soal dua karya sastra termasyhur di
Indonesia saat
ini. Yakni novel *Ayat-Ayat Cinta* dan *Laskar Pelangi.*

* *

Novel *Ayat-Ayat Cinta* karya Habiburrahman El Shirazy konon dicetak ulang
hingga lebih tiga puluh kali sejak pertamakali terbit pada 2004. Di layar
lebar, filmnya – meski banyak dinilai tak sesuai dengan isi novelnya
-- yang
digarap Hanung Bramantyo sukses memikat tiga juta orang untuk datang
menonton ke bioskop. Belum terhitung yang membeli DVD bajakannya.
Sementara
*Laskar Pelangi* karya Andrea Hirata juga tak kalah masyhur. Selain *
best-seller* nasional, dielu-elukan sebagai *The Indonesia's Most Powerful
Book* di berbagai *talkshow* termasuk di layar kaca, *Laskar Pelangi* juga
akan difilmkan dengan arahan Riri Riza. Sebuah catatan fenomenal mengingat
kedua novel itu notabene karya perdana kedua penulis muda tersebut.



Lebih mengagumkan lagi, *Laskar Pelangi* ditulis oleh Andrea Hirata yang
belum pernah membuat sepotong cerpenpun. Tak hanya itu, pemuda asli
Belitong
yang alumnus S-2 Perancis ini pun melengkapinya dengan tiga novel lain
yakni
*Sang Pemimpi, Edensor* dan *Maryamah Karpov*---yang secara keseluruhan
merupakan Tetralogi *Laskar Pelangi*. Habiburrahman yang santri Al Azhar
kelahiran Semarang juga membawa gerbong *Ketika Cinta Bertasbih 1 &
2*, *Pudarnya
Cinta Cleopatra*, *Di Bawah Mihrab Cinta *dan beberapa karya
*best-seller*lainnya yang juga bernafaskan religi romantis.



Namun tak ada karya manusia sesempurna kitab suci. Banyak kritik yang
datang
untuk kedua karya tersebut. Mulai dari tudingan mengeksploitasi cinta atau
poligami – seperti yang terkesan ditonjolkan dalam film *Ayat-Ayat
Cinta* –
hingga cibiran untuk *Laskar Pelangi* bahwa keberhasilannya semata-mata
karena trik pemasaran yang canggih. Kita pun mafhum bahwa keduanya
bukanlah
kitab suci yang agung dan tanpa cela. Namun kritik tak proporsional juga
ibarat racun. Melemahkan si orang sehat. Dalam hal ini berlaku kebenaran
pepatah 'makin tinggi pohon makin kencang angin menerpa'. Ini keniscayaan
hukum alam yang diguratkan Tuhan. Karya sastra sekaliber roman
*Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck*-nya Hamka atau *Belenggu *gubahan Armin Pane pada
zamannya juga dicap tak enak: picisan, cabul dan cengeng. Tetapi
perjalanan
waktulah yang menggosok intan agar cemerlang cahaya yang memancar.



Terlepas dari segala kontroversi yang ada, dengan arif, layak kita
bertanya
mengapa kedua novel karya dua penulis usia 30-an tersebut mampu
mengharubiru
jagad sastra sekaligus merambah ranah populer publik negeri ini?



Sekian banyak orang bersaksi bahwa *Ayat-Ayat Cinta* dan *Laskar
Pelangi*mengubah hidup mereka lebih tenang, lebih baik. Seperti halnya
karya-karya
besar yang membawa perubahan di dunia, sebut saja novel *Uncle Tom's
Cabin*buah karya Harriet Beecher Stowe (1852) yang menginspirasi
semangat
perubahan terhadap perlakuan rasis kaum kulit putih terhadap kulit hitam
atau berwarna di Amerika Serikat, novel-novel tersebut mengandung ruh
tulisan yang kuat yang mampu menyentuh hati dan menggerakkan pembacanya.
Sesuatu yang datang dari hati niscaya sampai ke hati.



Ruh, jiwa atau *soul *sebuah tulisan adalah hasil internalisasi visi,
emosi,
dedikasi, pengalaman, logika, wawasan, *elan vital* (semangat) kontemplasi
dan keterampilan teknis seorang penulis. Porsi keterampilan teknis di sini
barangkali hanya sekian persen. Karena unsur-unsur lain yang lebih condong
mengetuk perasaan atau kalbu justru bisa jadi lebih dominan. Di
samping juga
ia memenuhi syarat-syarat ketertarikan pembaca dengan sebuah tulisan: *
novelty* (kebaruan, misalnya tema yang baru dan berbeda dari
mainstream), *
similarity* (kemiripan dengan keseharian hidup mayoritas pembaca) dan *
visionary* (memiliki pandangan jauh ke depan).



Ruh sebuah tulisan adalah virus yang menular. Ia seperti energi --dalam
hukum Kekekalan Energi Newton—yang tak dapat musnah namun berubah bentuk.
Energi dari sebuah tulisan karena pancaran energi cita-cita atau semangat
sang penulis yang terejawantahkan melalui kata sampailah ke pembaca dalam
bentuk inspirasi. Terciptalah keajaiban-keajaiban. Histeria gadis-gadis
berjilbab untuk berfoto bersama Kang Abik –panggilan populer Habiburrahman
dan berbagai testimoni tentang peningkatan iman para pembaca Muslim, atau
tobat totalnya seorang pecandu narkoba setelah membaca karya Andrea
Hirata.
Merekalah yang hati-hatinya telah tersentuh, tercerahkan.



Hati nurani, demikian nama lengkap hati, menurut Nurcholish Madjid,
berasal
dari kata bahasa Arab, "*nur*" yang artinya "cahaya". Hati adalah tempat
cahaya bersemayam, yang menerangi kegelapan logika. Sementara ilmu adalah
cahaya, yang sejatinya berjodoh di hati. Jika keduanya bercumbu itulah
perkawinan kimiawi yang serasi.



Di sisi lain, seseorang dapat menjadi aktivis Marxisme tulen setelah
membaca
*Das Capital*-nya Karl Marx. Barangkali dedikasi Marx selama setiap hari
dalam 20 tahun berkutat di perpustakaan umum – dengan biaya hidup disokong
rekannya, Friedrich Engels – untuk menyusun *Das Capital* menjadikan
energi
kemarahannya terhadap kapitalisme dan kemiskinan tersalurkan tuntas dan
meradiasi sebagian pembacanya. Inilah yang harus diakui secara
*fair*kebenaran makna pepatah bahasa Arab,
*man jadda wa jada*, siapa berusaha keras maka ia akan memperoleh
hasilnya.
Siapapun pelakunya.



Di ujung spektrum lain, banyak penulis menimba energi Ilahiah melalui olah
kontemplasi kepada Tuhan, Zat Tertinggi, sang *causa prima* yang
menggerakkan semesta sebagai sumber inspirasi. Para ulama, misalnya Sayyid
Quthb – dengan *Tafsir Fi Zhilalil Qur'an* – terbiasa melakukan sholat
tahajud sebelum mulai menulis. Sementara Barbara Cartland, yang populer
dengan novel-novel romantisnya, melakukan ritual berdandan sedemikian rupa
sebelum menulis. Semata-mata demi memompa kepercayaan diri, menimba energi
kepenulisan.



Maka punyailah visi ketika menulis, alirkan emosi dan semangat
sejadi-jadinya, dan berjibakulah ketika melahirkan sebuah tulisan. Seperti
jihad seorang ibu saat melahirkan anaknya. Karena kita adalah ibu dari
'anak-anak' tulisan kita. Bahkan kita adalah 'tuhan' atas segala tulisan
kita. Ingatlah, Tuhan tak pernah lelah mencipta semesta. Itulah energi
Ilahiah atau profetik yang semestinya jadi sumur inspirasi sejati agar
kita
punya stamina dan nafas panjang dalam karir kepenulisan.



Karena apapun caranya, menulis tak beda dengan berolahraga. Ia butuh
energi.
Jika energi pendorong lemah alhasil yang lahir hanyalah tulisan yang
alakadarnya, loyo, dan tidak punya ruh atau *soul*. Jika ia manusia,
tulisan
semacam itu hanyalah mayat, yang tak bernyawa. Atau bahkan bangkai.
Percayalah, seperti kata Dale Carnegie, *no one kick the dead dog*. Tidak
ada yang peduli dengan bangkai. Sederet karya di atas dipuji sekaligus—ada
yang--dicaci-maki karena mereka hidup, bernyawa.


Kampung Melayu, 24-25 Maret 2008*www.nursalam.multiply.com*

--
-"When there's a will there's a way"
Nursalam AR
Translator & Writer
021-91477730
0813-10040723
http://nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar

Beternak Ide

*Beternak Ide*
Oleh Nursalam AR



*"Uang hanyalah sebuah ide." (Robert T. Kiyosaki)*



Jika uang hanyalah sebuah ide maka memperbanyak ide sebanyak-banyaknya
sama
saja dengan mengembangbiakkan uang yang akan didapat. Dalam konteks
industri
kepenulisan --yang aroma bisnisnya tak beda jauh dari industri *real
estate*yang ditekuni Kiyosaki yang juga penulis buku
*Rich Dad Poor Dad*-–ide harus ditangkap bahkan harus diternakkan. Ibarat
hewan ternak, ia harus dirawat, dikembangbiakkan dan tak ayal dijual.
Lihat
saja fenomena novel *Ayat-Ayat Cinta*-nya Habiburrahman El-Shirazy
atau *Laskar
Pelangi* karya Andrea Hirata yang menuai royalti milyaran rupiah dan
menjejak dunia layar lebar. Inilah contoh nyata betapa ide bagi seorang
penulis tak ubahnya hewan ternak yang merupakan aset tak ternilai.



Jika ide adalah hewan liar maka ia harus ditangkap, dijinakkan,
didomestikasi. Seperti halnya orang-orang dulu mendomestikasi kuda
atau unta
untuk menjadi tunggangan yang bermanfaat untuk keperluan manusia. Sarana
penangkapnya bisa dengan banyak cara. Hemmingway menangkap ide dengan
jalan
mengetik apa saja di mesin ketiknya jika mengalami kemampatan ide.
Gola Gong
melakukan perjalanan keliling dunia untuk menjaring ide *Balada Si
Roy* dan
*Perjalanan di Asia*. A.A Navis memilih nongkrong di toilet berjam-jam –
hingga konon ia terserang wasir—demi mengejar sang ide.



Beberapa penulis lain ada yang menenggelamkan diri dalam tumpukan buku,
ngopi di kafe dengan laptop siaga di ujung jari atau sekedar bermain voli
untuk menjinakkan makhluk bernama ide ini. Intinya: ide harus ditangkap.
Karena ide juga ibarat sambaran kilat. Jika tak cekatan disergap, ia akan
meluncur menghunjam bumi dan teredam, tak berdayaguna apa-apa. Maka
tangkaplah ide dengan keberanian Benjamin Franklin – sang penemu arde
alias
penangkal petir --menangkap petir dengan layang-layang yang digantungi
kunci
besi pada benangnya di tengah hujan deras yang ramai kilat. Sebuah
keberanian bernyali dengan keingintahuan yang besar dan semangat mencoba
sesuatu yang baru.



Jadi sudah basi – dan tipikal adegan di film Indonesia era 70an – jika
kita
membayangkan seorang penulis mencari ide dengan hanya
terbengong-bengong di
depan alat tulis dan kertas atau memegangi kepala dengan rokok mengepul
seperti asap kereta uap. Seperti kata Umar bin Khattab,"Rejeki tidak jatuh
begitu saja dari langit. Bekerjalah!" Ide juga harus disodok jatuh seperti
kita menyodok mangga ranum dari pohon yang rimbun.



Jika mangga sudah jatuh, jika hewan liar sudah ditangkap dan
dijinakkan, apa
yang harus kita lakukan? Dengan segala amsal tersebut, ide yang lebih
mahal
dari Buah Merah asal Papua dan lebih ajaib dari hewan Pegasus dalam
mitologi
Yunani adalah harta karun yang wajib didepositokan dan hewan ternak yang
teramat mahal untuk tidak dipiara. Dan perlu jurus-jurus khusus untuk
beternak ide.



*Jurus Pertama: Kandangkan*

Kandangkan ide dalam laptop, komputer, USB, disket, mesin ketik, notes,
agenda atau diary atau apapun fasilitas penyimpan data yang kita miliki.
Meskipun hanya berupa satu kalimat yang diperoleh dalam lintasan di benak
saat menunggu kereta api yang telat, misalnya,"Kereta yang ingkar janji".
Jangan remehkan kuantitasnya karena itu adalah embrio yang terlalu mahal
untuk diaborsi.Siapa mengira jika coretan ide JK Rowling di atas tisu
bekas
akan menjelma menjadi bayi raksasa bernama *Harry Potter* yang
bertahun-tahun menghipnotis dunia?



Jadi jangan biarkan ide hanya berkelebat mampir di benak. Kurung ia karena
ia lebih liar dan lebih mudah pergi bahkan lebih rentan dicuri daripada
uang. Jika perlu, perlakukan ide sama berharganya dengan uang yang kita
setorkan ke bank. Milikilah bank ide – dalam bentuk apapun -- yang isinya
selalu dapat kita setor dan tarik setiap saat.



*Jurus Kedua: Beri makan*

Jika bakpao adalah makanan untuk badan, buku dan kontemplasi (zikir,
tadabbur, meditasi, yoga dll) adalah makanan untuk otak dan jiwa. Inilah
asupan terbaik untuk hewan ternak bernama ide. Semakin variatif dan
bergizi
jenis asupan semakin bongsor dan berbobot ide tersebut.



"Every man's work, whether it be literature or music or pictures or
architecture or anything else, is always a portrait of himself."(Samuel
Butler).Dalam konteks tersebut sebuah pepatah berbahasa Inggris cukup
relevan jadi panduan. "Ordinary people talk about people; mediocre people
talk about events and extraordinary people talk about ideas." Orang-orang
kelas bawah membicarakan orang, orang –orang kelas pertengahan
membicarakan
peristiwa sementara orang-orang yang berkaliber luarbiasa membicarakan ide
atau gagasan. Jika dunia seorang penulis hanya melulu sarat dengan bacaan
ringan, gosip selebritas dan hal-hal remeh temeh maka output dan kualitas
tulisannya tak jauh dari apa yang dimamahnya tersebut.Ia hanya menjadi
penulis berkategori kelas bawah bukan yang sedang-sedang saja apalagi
luarbiasa. Seperti kata orang bijak, jangan penuhi pikiranmu dengan
hal-hal
kecil karena akan terlalu sedikit ruang untuk pikiran-pikiran besar.



*Jurus Ketiga: Kembangbiakkan*

Kawinkan ide baik dengan inseminasi atau kawin silang. Sapi Madura
petarung
karapan yang tangguh adalah hasil percampuran benih sapi pilihan. Ide
unggulan juga begitu, ia mewarisi kualitas genetis masukan yang
membentuknya. Dalam *How To Be A Smart Writer**,* Afifah Afra –
penulis top
FLP dengan sederet novel *best seller* salah satunya novel sejarah
*Javasche
Orange* – mengenalkan dua cara mengembangbiakkan ide yakni – yang saya
istilahkan inseminasi dan kawin silang. *Inseminasi* adalah memasukkan
elemen baru terhadap sebuah ide atau kisah lama. Misalnya, jika dalam
dongeng Malin Kundang yang menjadi batu adalah Malin Kundang, mungkin
sangat
menarik jika yang menjadi batu adalah ibunya karena dinilai lalai dan
bertanggung jawab terhadap perubahan akhlak si Malin.



Sementara *kawin silang* adalah memadukan dua unsur cerita yang berbeda.
Ambil contoh kisah Cinderella dan Putri Salju (*Snow White*). Cinderella
yang berbahagia karena sepatunya pas dengan ukuran sepatu kaca bisa saja
kemudian tewas memakan apel beracun. Kemudian ia hidup kembali setelah
dicium sang pangeran. Atau jika ingin lebih komedik, Cinderella hidup
kembali setelah mencium bau sepatu kaca yang disodorkan tujuh kurcaci.



*Jurus Keempat: Jual*

Juallah ide dalam bentuk menuliskannya. "Ikatlah ilmu dengan
menuliskannya,"
demikian pesan Ali bin Abi Thalib, yang kerap diusung tokoh motivator
menulis Hernowo dalam berbagai bukunya. Jika tidak mampu
menuliskannya, ide
tersebut dapat dijual ke seorang teman yang menuliskannya. Soal
hitung-hitungan finansial itu bisa jadi kesepakatan. Dalam dunia sinetron
sudah lazim seorang penulis menjual ide dan soal eksekusi penggarapan
diserahkan kepada tim penulis skenario. Si penulis sendiri mungkin hanya
sekedar mensupervisi atau menjadi *head writer*. Itu sekedar contoh. Namun
kita tentu layak dan amat berhak menerima kehormatan untuk menuliskannya
sendiri. Tentu jika kita berani memanen setelah susah-payah menebar benih
dan merawatnya.



Nah, nikmatilah hasil beternak ide. Namun pertanyaan pertama, sudahkah
kita
punya nyali untuk beternak ide?



*Jakarta, 17 Maret 2008*

*www.nursalam.multiply.com*

Sudahkah anda menulis hari ini???

TPL :
Boleh kami tahu darimana minat menulis anda berasal?

LH :
Awalnya dari kebiasaan saya membaca buku. Setiap kali selesai membaca
buku bagus, saya merasa gemas campur iri. Kalau orang lain mampu
menulis buku sebagus itu, kenapa saya tidak?
Selain itu, sejak kecil saya menyimpan khayalan romantis bahwa suatu
hari nanti saya akan pergi keliling dunia, bertemu dengan orang-orang
yang unik, dan menulis tentang tempat-tempat indah yang saya singgahi.

TPL :
Sejak kapan anda senang menulis?

LH :
Saya mulai rutin menulis sejak kuliah, walaupun hanya sebatas menulis
diary. Setiap malam sebelum tidur, saya akan menulis tentang kejadian
yang saya alami hari itu. Saya menulis tentang teman yang menyebalkan,
dosen yang genit, mata kuliah yang sulit, dan lain-lain. Saya juga
senang menulis cerpen atau puisi tentang pacar, orangtua, bahkan
tentang kucing-kucing saya tercinta. Tapi kebiasaan menulis itu
terhenti ketika saya lulus kuliah dan sudah bekerja..

TPL :
Kenapa?

LH :
Saya bukan karyawan kantoran yang bekerja nine to five. Saya memiliki
usaha yang harus saya kelola sehari penuh, tujuh hari seminggu.
Praktis saya tidak mengenal weekend atau hari libur. Nyaris seluruh
waktu dan energi saya terkuras habis untuk pekerjaan. Kondisi itu
menyulitkan saya untuk melanjutkan hobi menulis. Selama beberapa tahun
saya tidak pernah lagi menulis, bahkan tidak sebait puisi pun. Saya
benar-benar hidup untuk bekerja.

TPL :
Lalu apa yang menyebabkan anda memutuskan untuk kembali menulis?

LH :
Setelah bertahun-tahun menghamba pada pekerjaan, hidup saya menjadi
tidak seimbang. Saya kerap mendapati diri saya mudah cemas, lelah
secara mental, dan kehilangan semangat. Saya merindukan hal-hal-hal
berarti yang bisa membuat saya bahagia, dan salah satunya adalah
menulis. Saat mencoba untuk menulis lagi, saya merasa sangat nyaman,
seperti menemukan tempat dimana saya seharusnya berada. Hingga
akhirnya, dengan keyakinan penuh saya memutuskan untuk menghidupkan
kembali impian indah saya : menjadi seorang penulis.

TPL :
Apakah anda yakin bisa menjadi seorang penulis?

LH :
Tentu saja. Saya percaya tidak ada orang yang dilahirkan untuk menjadi
penulis. Semua orang -termasuk saya- bisa menjadi penulis hebat.

TPL :
Anda sangat percaya diri, tapi bagaimana cara anda membagi waktu
antara bekerja dan menulis?

LH :
Gampang, saya mematikan televisi -pembunuh kreativitas nomer satu- dan
menggantinya dengan buku. Setiap detik waktu luang saya gunakan untuk
membaca, terutama buku bestseller karangan penulis-penulis terkenal.
Yang terpenting, saya mewajibkan diri menyediakan waktu untuk menulis,
minimal dua jam sehari. Saya pribadi sudah menemukan waktu terbaik
untuk menulis, yaitu menjelang subuh.

TPL :
Terakhir, adakah sesuatu yang ingin anda sampaikan kepada rekan-rekan
sesama penulis pemula?

LH :
Teman-teman tercinta,
Menulislah selagi otak kita masih berfungsi.
Menulislah sebelum pekerjaan yang tiada habisnya pelan-pelan membunuh
kita.
Menulislah untuk menjaga pikiran kita tetap waras.
Menulis, menulis, dan teruslah menulis. Jangan pedulikan apapun yang
orang-orang katakan tentang tulisan kita, karena sesungguhnya, semua
penulis hebat berawal dari penulis pemula seperti kita.
Jadi, sudahkah anda menulis hari ini?

menulis dengan EYD perlukah...

Masalah semacam ini memang dialami oleh banyak penulis.
Dari pengamatan saya, ternyata ada juga lho penulis yang telah
menerbitkan buku tetap dibuat pusing dengan masalah kalimat baku, EYD,
dan konco-konconya.

Saran saya, sebaiknya Mas Arief rombak keyakinan (atau apa pun
namanya) bahwa menulis harus memakai kalimat baku dan kalimat baku
harus mematuhi pakem S-P-O. Pasal, kata guru saya dulu, syarat sebuah
kalimat cukup S-P. Bahkan, dalam sebuah dialog, teriakan "Tidak!"
sudah bisa disebut sebagai sebuah kalimat yang berdiri sendiri(mohon
dikoreksi kalau keliru).

Satu hal yang mesti kita catat. Sering kita takut menulis sebuah
kalimat hanya karena ketakutan kita kepada kaidah EYD. Padahal, kita
tahu. Guru kita sering mengajarkan kepada kita tentang bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Baik dulu, baru benar.

Bahasa yang baik (lagi-lagi menurut guru saya dulu) adalah bahasa yang
dipakai sesuai konteks, sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang
sesuai kaidah kebahasaan (kalau buat kita di Indonesia ya EYD itu Mas).

Oleh karena itu, tak heran jika muncul berbagai ragam bahasa. Ada
ragam bahasa ilmu, ada ragam bahasa sastra, ada ragam bahasa
undang-undang, ada ragam bahasa jurnalistik, dan lain-lain. Bahkan
ragam bahasa sastra pun tentu akan berbeda antara bahasa prosa, puisi,
dan drama. Apakah ragam bahasa sastra ini sepenuhnya benar (mengikuti
kaidah kebahasaan atau EYD?) Saya yakin tidak. Meskipun ragam bahasa
sastra tidak selalu benar, bahasa dalam karya sastra adalah bahasa
yang baik karena konteksnya adalah karya sastra. Coba Mas Arief
bayangkan bagaimana kalau sebuah karya sastra (cerpen atau puisi,
misalnya) menggunakan ragam bahasa ilmu seperti yang dipakai dalam
karya ilmiah, skripsi, tesis, atau disertasi, misalnya. Wah, kacau deh.

Mungkin itu saja dulu. Semoga bermanfaat. Terima kasih dan salam dari
Semarang.


Ugie
www.ugieyogyakarta. blogspot. com

tehnik penulisan opini ilmiah populer ???

Oleh: Indra J. Piliang
pengamat bidang sosial politik CSIS

Saya menjadi kolomnis Sepanjang tahun 2001 saya menulis 67 artikel
atau kolom; tahun 2002 sebanyak 68; tahun 2003 sebanyak 60, dan tahun
2004 naik lagi menjadi 65. Itu yang berhasil saya dokumentasikan,
karena memang ada sejumlah yang lain yang kurang terlacak. Saya juga
menulis dalam jurnal ilmiah, menyumbang tulisan untuk sejumlah buku,
dan menulis makalah untuk seminar dan diskusi. Boleh dibilang kegiatan
menulis adalah kegiatan utama saya. Saya ingat ucapan dosen saya, pak
Ismail Marahimin: "Kalau anda lulus dan mendapatkan nilai A, itulah
modal hidup anda."

Ide TulisanLalu darimana ide-ide tulisan saya. Pertama, tentunya
berangkat dari kegelisahan pribadi. Saya merupakan pribadi yang
gelisah. Kalau saya merasakan sesuatu, biasanya saya mengambil buku
kecil mencatat ide-ide saya. Atau langsung menulisnya saat itu juga.
Karena dilahirkan dari keluarga miskin dan hidup dalam penderitaan di
Jakarta, selalu saja saya curiga kepada penguasa dan kekuasaan. Boleh
dikatakan saya mempunyai banyak musuh: tentara, laskar, partai politik
(terutama Partai Golkar), dan lain-lainnya. Hal inilah yang membuat
saya terus memproduksi tulisan-tulisan kritis dan emosional, terutama
kalau arogansi kekuasaan muncul. Ide-ide itu juga lahir dari semangat
penolakan kepada argumen-argumen orang lain. Selama tinggal di
Tangerang, saya terbiasa mengkliping artikel-artikel koran dari
penulis ternama, lantas mencorat-coret pikiran-pikiran mereka.

Kedua, ide tulisan yang bersifat perubahan dan pembaharuan muncul dari
keterlibatan saya di banyak organisasi masyarakat sipil, misalnya:
Forum Indonesia Damai, Koalisi untuk Konstitusi Baru, Gerakan Tidak
Pilih Politisi Busuk, Perhimpunan Rakyat Jakarta untuk Pemberantasan
Korupsi, Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua, Koalisi Media
untuk Pemilu Bebas dan Adil, Komisi Darurat Kemanusiaan, Kelas
Indonesia Alternatif dan lain-lain. Berbagai pemikiran yang berkembang
dalam forum-forum itu saya teruskan ke media. Apalagi, sebagai orang
yang mulai dikenal sebagai pengamat politik, saya terkadang merasa
jengah dengan apa yang dikutip dari wawancara dengan saya. Biasanya,
dari sejumlah wawancara panjang, tampilan di media tidaklah utuh.
Makanya, untuk "meluruskan"-nya dan menampilkannya secara utuh, saya
memutuskan menulis tema dari wawancara yang berangkat dari peristiwa
politik itu.

Ketiga: berasal dari fokus penelitian saya selama di CSIS, yakni
menyangkut otonomi daerah, partai politik, demokrasi dan konflik.
Lingkungan pergaulan di CSIS begitu menyenangkan, karena terdapat
banyak nama yang dikenal oleh publik luas, seperti J Kristiadi,
Kusnanto Anggoro, Rizal Sukma, Tommy Legowo, dan lain-lainnya.
Beberapa tugas kantor akhirnya saya rasakan bisa disampaikan kepada
publik. Dari sinilah muncul tulisan-tulisan yang tidak berdasarkan
peristiwa politik, melainkan lebih kepada pengembangan konseptual atau
bahkan hanya sekadar pelipur lara. Tulisan-tulisan ini lebih
reflektif, karena mencoba melihat sesuatu dari luar praktek politik
keseharian.

Keempat, berasal dari fokus pribadi saya, yakni menyangkut tema
masyarakat sipil, Papua dan Aceh. Perjalanan saya ke daerah juga
menjadi inspirator, makanya muncul tulisan soal Samarinda, Pekanbaru,
Maluku, Aceh, Papua, dan lain-lain. Saya selalu ingin mencari tahu ada
apa dibalik perlawanan atas Jakarta. Sesuatu yang saya cita-citakan
sejak dulu, yakni bertualang ke banyak negeri, akhirnya tercapai.
Tidak terasa, saya menjelajahi sebagian besar ibukota provinsi di
Indonesia. Hanya Gorontalo, Kendari (Sulawesi Tenggara), Tanjung
Pinang (Kepulauan Riau), Mamuju (Sulawesi Barat) dan Monokwari (Irian
Jaya Barat) yang belum saya kunjungi. Indonesia nyatanya tidak seperti
yang kita baca lewat informasi buku dan media.

Saya juga mendapatkan ide tulisan dari apa yang saya baca.
Kadang-kadang sepotong berita dan kalimat di sesobek koran. Biasanya,
kalau saya ingin menulisnya, tema atau ide itu terus-menerus mendesak
saya untuk segera dituliskan. Kalau saya sudah mulai menulis, biasanya
saya melupakan yang lain. Tetapi saya juga bisa menulis di tengah
kebisingan atau pembicaraan. Kadang, dalam seminar, ketika menjadi
pembicara, atau ketika berbicara dengan orang lain, saya tiba-tiba
berhenti dan menuliskan sesuatu di catatan atau handphone atau XDA
saya. Saya takut kalau ide atau potongan kalimat itu tiba-tiba hilang,
karena saya pasti menyesalinya.

Anehnya, kalau saya membaca buku serius atau teoritis, saya justru
tidak akan bisa menulis beberapa hari. Saya akan tenggelam dalam buku
itu. Biasanya kalau ada sesuatu yang terbersit, saya menulis di
pinggiran buku itu, misalnya bagian yang hendak saya kutip untuk
makalah atau ide yang hendak saya pertentangkan dengan apa yang
tertulis di buku itu. Makanya, saya kadang-kadang agak kesulitan untuk
"larut" dalam keadaan, karena itu bisa mematikan saya.

Ide juga bisa muncul dari orang lain, dan ini yang dikritik oleh teman
saya sebagai tidak genuine. Misalnya, beberapa redaktur opini meminta
saya menulis tema tertentu dengan waktu tertentu. Biasanya saya cepat
menuliskannya, karena mengejar deadline. Kenapa bisa cepat? Karena
saya mengikuti perkembangan berita dengan rutin, lalu membangun opini
tersendiri atas berita atau peristiwa itu. Hanya, saya merasa
menulisnya tidaklah penting atau tidak punya waktu. Baru ketika
diminta oleh redaktur opini media massa itu saya merasa, "O, menulis
soal ini penting, toh?" Kadang, karena merasa bosan atau tulisan yang
saya kirim lama dimuat atau tidak dimuat sama sekali, saya berhenti
menulis dan menganggap semua hal tidak penting, kecuali tulisan saya
yang lama baru dimuat itu atau yang tidak dimuat itu.

Struktur PenulisanLalu bagaimana saya menuliskan sesuatu yang
"penting" atau "tidak penting" itu sehingga tersaji di depan publik
dalam lembaran-lembaran koran? Bagaimana struktur penulisan yang baik?
Berdasarkan pengalaman, menurut saya, tulisan yang baik itu harus
memuat unsur-unsur berikut. Pertama, kuat dalam data. Kadangkala saya
juga ceroboh dalam hal ini, terutama menyangkut nama, peristiwa,
singkatan, atau bahkan tanggal. Tetapi, karena peristiwa politik
berlangsung cepat, soal data itu juga tidak selalu akurat ditulis oleh
media, karena informasi pagi hari bisa berubah sore dan malam hari.
Tetapi, apapun itu, penulis yang baik hendaknya jangan sekali-kali
memanipulasi data.

Kedua, sedikit teori. Dulu saya sempat menulis dengan cara mengutip
buku, bahkan juga sekarang. Ada kelompok pembaca yang menyenangi jenis
ini, terutama kalau kita mengutip buku atau artikel terbaru berbahasa
Inggris, seperti yang banyak dijumpai di perpustakaan CSIS. Tetapi,
lama kelamaan, saya merasa cara seperti ini tidaklah menarik.
Alasannya antara lain, analisa atau teori dalam buku itu mencakup
spektrum atau konteks tertentu. Teori transisi atau konsolidasi
demokrasi, misalnya, tidak sama antara Philipina, Brazil, Thailand
atau Malaysia. Kalau hanya mengambil kesimpulan akhir dari sebuah buku
atau artikel, berdasarkan uraian panjang lebar atas persoalan
tertentu, berarti yang terjadi adalah inplantasi atau pencangkokan.
Dalam soal artikel koran, saya sependapat dengan Bara Hasibuan betapa
rata-rata kolom di Indonesia terlalu berat, reflektif dan teoritis.
Referensi Bara tentunya International Herald Tribune dan koran-koran
luar negeri lainnya.

Ketiga, tidak mendalam, tetapi juga tidak dangkal. Kalau ingin menulis
mendalam, pakai kerangka teori, sebaiknya tulisan itu dikirimkan ke
jurnal atau lebih baik lagi yang ditulis adalah buku, bukan artikel
atau kolom. Yang diperlukan adalah bingkai dari keseluruhan tulisan
dan bagaimana bingkai itu diberi daging opini dan bahkan selimut
pendapat. Kalau terlalu dalam, bisa-bisa tulisan itu malah menyesatkan
atau liar kemana-mana. Makanya, bagi sejumlah kawan penulis opini
media, biasanya yang dicari adalah judul tulisan terlebih dahulu,
ketimbang isinya. Tetapi ada juga yang menjadikan pemberian judul
setelah tulisan selesai. Saya menggunakan keduanya, sekalipun saya
lebih senang dan cepat menulis kalau sudah menemukan judul yang cocok.

Keempat, ringkas. Ringkas bukan berarti padat atau ringkasan. Saya
biasanya kebingungan kalau membaca kolom atau artikel ekonomi yang
dipenuhi dengan angka dan prosentase serta istilah-istilah teknis
lainnya. Pembaca koran yang baik mungkin memerlukan kamus khusus untuk
bisa memahami artikel itu. Tetapi bagaimana bisa anda menyiapkan kamus
di terminal bus atau di kursi pesawat yang terbang jauh di atas
langit? Tulisan ringkat bisa memuat unsur 5W-1H, tetapi sekaligus
juga mengandung tiga hal: pembuka (angle), isi dan penutup (refleksi).
Tulisan ringkas juga sedapat mungkin menggunakan pilihan kata
populer/sederhana, ketimbang teknis ilmiah.

Kelima, tepat sasaran. Anda ingin menujukan tulisan buat siapa? Kalau
saya menulis agak panjang (1200 karakter, misalnya), biasanya saya
tujukan tulisan itu ke kalangan mahasiswa atau pembaca yang biasa
mengkliping artikel. Tetapi kalau tulisan pendek, dalam pikiran saya
langsung tergambar siapa saja orang yang saya "tembak" dengan tulisan
itu. Tentu berlainan antara tulisan yang ingin ditujukan ke kalangan
pengambil keputusan dengan tulisan kepada khalayak ramai yang ingin
"memahami" sebuah peristiwa. Sebagaimana media mencari pangsa pasar,
maka dalam diri penulis mestinya juga sudah tersedia sejumlah pangsa
pasar bagi pembaca tulisan-tulisannya.

Keenam, karakter media. Media tentu juga memiliki visi dan misi.
Karakter masing-masing media berlainan. Saya punya catatan khusus
tentang media-media tempat saya mengirimkan tulisan saya, serta saya
gunakan untuk mengirimkan tulisan saya. Biasanya, saya tidak berpikir
untuk menulis sebuah kolom atau artikel dengan cara sesudah selesai
baru dipikirkan mau dikirim kemana. Ketika menulis, saya sudah tahu
tulisan ini ditujukan ke media apa, lalu secara "otomatis"
kalimat-kalimat yang saya bangun juga akan "sebangun" dengan media
itu. Hal ini memang berat, karena karakter penulis bisa-bisa hilang.
Tetapi saya selalu mempunyai sejumlah hal yang menurut saya "khas"
saya, sehingga orang mengenali itu sebagai tulisan saya. Saya
sebetulnya juga berharap bahwa tulisan-tulisan saya dibaca bukan
karena saya penulisnya, tetapi karena ada cita-rasa tersendiri dari
tulisan itu.

Ketujuh, sebetulnya boleh ada kutipan (awal, tengah atau akhir
tulisan). Tetapi ini konsep yang sangat klasik. Terkadang saya tidak
mengutip, tetapi memberikan cerita. Kutipan juga seringkali menjadi
sempalan dari sebuah tulisan, karena kalau tidak tepat menempatkannya,
bisa-bisa ia menjadi semacam benalu atau kangker. Kutipan yang baik
adalah yang bisa menyatu dengan keseluruhan tulisan. Dulu saya
mengutip lewat wawancara, sekarang yang makin sering adalah lewat sms.
Saya pernah kaget ketika Revrisond Baswir menulis di Republika dengan
diawali oleh sms dari saya. Saya juga pernah menulis di Koran Tempo
dengan kutipan langsung sms dua orang menteri, tetapi saya tidak
menyebutkan siapa menteri itu karena kurang etis.

Sebetulnya apa yang saya tuliskan ini sangat pribadi. Mungkin banyak
yang tidak memahaminya, karena memang keluar dari kerangka umum.
Sebelum menjadi penulis, bertahun-tahun saya membeli buku-buku tentang
penulisan, baik ilmiah atau populer. Banyak teori penulisan yang
muncul dalam buku-buku yang mudah didapatkan di loakan itu. Tetapi,
ketika saya menulis, tentu buku-buku itu tidak ada lagi di meja saya.
Sesekali saya memang perlu membacanya untuk sekadar mengambil jarak
atas tulisan-tulisan saya sendiri.

Tips KhususBagi penulis baru atau lama, ada beberapa tips khusus yang
saya rasa perlu, terutama untuk "menembus" media massa mapan. Anda
bahkan bisa menjadi penulis produktif kalau mempraktekkannya. Ketika
saya mempraktekkannya, dulu, saya pernah kaget ketika tanggal 9 bulan
itu saya sudah menemukan 10 tulisan saya di media cetak. Artinya,
tulisan saya itu lebih dari satu dalam sehari. "Kegilaan" itu tidak
saya lanjutkan, karena ada banyak nasehat agar saya bisa menjaga
jarak. Apalagi motif saya menulis kala itu salah satunya uang, karena
dari menulis saja saya bisa mendapatkan Rp. 5 Juta per bulan.

Tips khusus itu adalah, pertama, perhatikan headline atau tajuk
rencana harian/majalah yang bersangkutan. Dari headline dan tajuk
rencana itu, kita bisa membaca kearah mana setting agenda dari media
yang bersangkutan. Kalau anda temukan headline tertentu dan tajuk
rencana tertentu ditulis berkali-kali, tetapi tidak ada juga opini
yang ditulis pihak luar, maka kesempatan masuknya tulisan anda bisa
100%. Saya sering "tertawa" ketika menemukan kolom atau opini yang
tidak terlalu bagus, tetapi tetap dimuat, karena memang sangat sesuai
dengan concern media itu dalam tajuk rencana dan headlinenya. Kalau
perlu, anda kutip tajuk rencana media tersebut, lalu mengupas dan
mengkritiknya.

Kedua, temukan judul yang pas dan ringkas terlebih dahulu. Judul
adalah otak dan otot bagi sebuah tulisan pendek. Sering malah sebuah
tulisan dimuat karena judulnya, sekalipun isinya biasa-biasa saja.
Karena memang ditujukan kepada orang yang mungkin sedang minum kopi
atau istirahat, sebuah artikel pendek akan langsung dibaca ketika
judulnya menarik. Isinya bisa apa saja, tetapi judul sudah menjadi
iklan yang luar biasa. Saya sering mendapatkan komentar atas tulisan,
hanya karena judulnya. "Kursi RI 1 untuk Apa, Jenderal" (Kompas, 29
April 2004) termasuk yang mendapatkan banyak reaksi positif. Padahal,
tulisan itu sempat dirombak dan diganti judul, sekalipun isinya tidak
banyak berubah.

Ketiga, kalau ingin menjadi penulis terkenal, sebaiknya kejar media
"besar" terlebih dahulu, namun jangan berlebihan. Saya kira "teori"
kirim 100 artikel sekalipun ditolak gugurkan saja. Untuk apa anda
mengirim 100 artikel kalau semuanya tidak dimuat? Kalau anda
betul-betul bertahan dalam susah, lalu memperbaiki tulisan anda,
lantas sekali sebulan mengirim ke media besar yang sama, saya kira
anda akan mendapat tempat. Tetapi jangan lupa, bahwa dengan cara
seperti itu anda sebetulnya harus bersiap-siap untuk mendiskusikan
tulisan anda jauh lebih dalam dari apa yang anda tulis.

Keempat, usahakan menjadi spesialis. Banyak yang menyebut saya bukan
spesialis ilmu tertentu, karena tema yang saya tulis terlalu banyak.
Spesialisasi saya, ya, sebagai penulis saja. Akan lain misalnya
seorang penulis mempunyai spesialisasi ilmu pengetahuan tertentu,
karena dia akan dicari pascatulisan itu terbit. Saya akui, dulu saya
menulis banyak hal, sekalipun pelan-pelan ingin saya arahkan ke
satu-dua tema saja. Tetapi kesulitan menjadi spesialis juga ada, yakni
anda akan sangat tergantung kepada momentum. Penulis yang baik harus
bisa menyiasati momentum, sekalipun punya spesialisasi, yakni dengan
menjadikan peristiwa apapun sebagai jalan pembuka. Ahli-ahli pemilu,
misalnya, akan sulit menulis ketika musim pemilu sudah lewat. Kalau ia
kreatif, setiap bulan bisa saja menulis segala sesuatu lalu
mengaitkannya dengan pemilu.

Kelima, jangan lupa membikin tabungan naskah. Anda pasti akan
membutuhkannya, terutama kalau anda betul-betul menjadi penulis besar.
Ketika produktifitas tulisan saya begitu tinggi, sebagian saya ambil
dari tulisan ketika mahasiswa. Untunglah saya memasukkan beberapa ke
dalam komputer, sehingga tinggal mengolahnya lagi sesuai dengan
kebutuhan sekarang. Akan tetapi, model dan karakter tulisan mahasiswa
itu tentulah berlainan dengan sekarang. Tetapi ada keinginan
tersendiri betapa apa yang pernah saya tulis itu harus sampai kepada
publik, kalau memang saya menganggap tulisan itu bisa memberikan
perspektif.

PenutupApa yang saya tuliskan ini tentulah belumlah semuanya. Apalagi
di tengah kesibukan sekarang, tentu semakin sulit bagi saya meluangkan
waktu untuk menulis. Harus ada banyak penyiasatan atas waktu. Dulu,
apabila saya bosan atas sesuatu, biasanya saya pergi ke tiga tempat,
yakni toko buku, pasar dan laut. Dengan mengunjungi toko buku, saya
merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. Kalau ke pasar dan
menemukan kuli, ibu-ibu penjual sayur, atau bau busuk, saya merasa
sebagai orang paling malas di dunia. Di pinggir pantai saya merasa
menjadi orang paling kecil di tepian galaksi. Biasanya, saya kembali
segar, lantas berusaha untuk tidak malas.

Dari menulis, saya mendapatkan banyak manfaat. Seringkali orang merasa
saya orang pintar. Padahal, banyak orang yang lebih pintar dan cerdas
yang saya temui dan kagumi. Saya justru merasa, kepintaran bukan
ukuran untuk menjadi seorang penulis. Yang paling penting barangkali
empati atau keinginan merasakan apa yang diderita atau dipikirkan atau
dirasakan orang lain, seperti orang lain itu memikirkan atau
merasakannya. Kalau sisi humanisme hilang dalam diri saya, barangkali
saya tidaklah akan bisa menjadi seorang penulis.

Saya memang mendapatkan uang, "ketenaran" dan segala macam hal lainnya
dengan menulis. Banyak yang tertipu dengan usia saya, pendidikan saya
(saya baru menyelesaikan S-1 Jurusan Ilmu Sejarah UI), sosok saya
(saya tidak pakai kacamata dan agak gaul, bukan ada di perpustakaan
penuh debu), orangtua saya (saya bukan anak jenderal, pengusaha besar
atau pejabat negara, karena ayah-ibu saya hanyalah petani dan
pensiunan pegawai negeri sipil golongan rendah), atau kondisi keuangan
saya (sekarang memang sudah lebih mapan, punya mobil, tiga kantor,
tetapi saya tinggal di rumah mertua di lingkungan yang "buruk": banyak
preman, kyai, etnis, juga ada banyak penjual narkoba, pelacur, dll, di
kawasan Jalan Krukut, Jakarta Kota), dan lain-lain.

Sebagai pemompa semangat, dengan menulis katakanlah 350 artikel saja
selama 5 tahun ini, lalu rata-rata artikel itu dihargai Rp. 500.000,-
(ada yang lebih ada yang kurang), berarti saya sudah mengumpulkan uang
kira-kira sebesar Rp. 175.000.000,- atau Rp. 35.000.000,- setahun.
Kalau ukurannya uang, sebetulnya menulis artikel hanyalah perantara
kepada kegiatan lain, seperti seminar, pelatihan, dan lain-lainnya
yang uangnya lebih besar, selain tentunya tawaran gaji yang lebih
tinggi dari lembaga-lembaga yang menginginkan saya bekerja di sana.
Silakan tebak, berapa saya punya penghasilan.

Menjadi penulis menurut saya bukan berarti harus menjadi miskin.
Tetapi tetap saja menjadi sebuah kesalahan pikiran kalau tujuan
menjadi penulis adalah mencari kekayaan atau ketenaran. Pengalaman
menunjukkan, ketika saya ingin bersembunyi dan menyendiri, tiba-tiba
ada saja yang kenal dan harus diajak bicara. Kehadiran televisi
sebetulnya bisa menggerus kemampuan seorang penulis, kalau penulis itu
yang seharusnya menulis, tetapi harus hadir di televisi menjadi
seorang pembicara atau komentator.

Lebih dari segalanya, kebutuhan penulis di Indonesia masihlah besar.
Selain itu, nasib penulis Indonesia juga kurang beruntung. Jangankan
untuk mentraktir orang lain, bahkan untuk makan layak saja tidaklah
cukup. Saya punya sejumlah teman yang duluan terkenal, tetapi hidupnya
pas-pasan karena hanya mengandalkan tulisan. Karena media massa juga
punya keterbatasan, misalnya paling tinggi memuat dua tulisan dari
satu penulis dalam sebulan, kehidupan penulis bukanlah sesuatu yang
menyenangkan. Untuk makan saja tidak cukup, apalagi untuk membeli
buku, bepergian, meneliti, atau ketemu dengan orang lain mendiskusikan
sesuatu.

Bagi saya, nasib penulis haruslah diperbaiki. Sekarang saya mencoba
membangun sebuah organisasi yang menaungi penulis, bersama Andrinof
Chaniago, Jeffrie Geovanie, Saldi Isra, dan lain-lainnya. Mungkin
namanya Indonesian Writer's Institute (IWI). Gagasan ini sudah lama
saya perjuangkan dan peminatnya tidak sedikit. Kehadiran organisasi
ini tinggal menunggu waktu, paling lama tahun depan. Dengan cara itu,
mudah-mudahan ada banyak jalan untuk menghasilkan para penulis, juga
memperbaiki kehidupan (ekonomi) para penulis, tanpa mereka harus
kehilangan jati diri, cita-cita, dan idealismenya

catatan pengalaman Kolumnis Indra J. Piliang, pengamat politik CSIS

Teknis Penulisan Ilmiah Populer: Catatan Pengalaman



Pendahuluan:

Banyak pertanyaan yang diberikan kepada saya tentang proses kreatif
sebagai seorang penulis. Rata-rata saya menulis 60-70 artikel dalam
setahun, terutama sejak tahun 2001. Artinya sudah terdapat sekitar
300-350 artikel yang sudah saya tulis. Kalau dijadikan buku kumpulan
artikel, sudah bisa menjadi 7 sampai 10 buku, sesuatu yang belum saya
lakukan. Salah satu "penilaian" saya masuk ke CSIS adalah juga karena
produktifitas penulisan ini.

Lalu, dari mana saya memulai menulis. Yang saya ingat, kebiasaan saya
menulis dimulai lewat catatan harian (1991-1996). Saya sudah menulis
sejak pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta pada tahun 1991,
beberapa bulan sebelum hasil Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
diumumkan. Saya mengikuti UMPTN di Padang, tepatnya kampus Universitas
Bung Hatta. Tiga pilihan studi saya waktu itu adalah Jurusan
Meteorologi dan Geofisika Institut Teknologi Bandung, Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Jurusan Antropologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Saya diterima di
Jurusan Sejarah FSUI.

Karena pernah memenangkan juara tiga lomba bahasa Inggris di Sekolah
Menengah Umum 2 Pariaman, saya menulis catatan harian saya dalam
bahasa Inggris. Namun, lama-kelamaan, kebiasaan itu saya hilangkan.
Ketika menjadi aktivis kampus, saya terombang-ambing dengan kebencian
terhadap Barat, termasuk hegemoni budayanya. Akibatnya, saya juga
membenci bahasa Inggris. Sesuatu yang dampaknya luas sampai sekarang.

Catatan harian itu mengantarkan saya kepada banyak imajinasi tentang
dunia. Buku-buku yang saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi,
orang-orang yang saya temui, sampai hubungan percintaan yang
timbul-tenggelam, menghiasi catatan harian saya. Semuanya masih
tersimpan sampai sekarang. Karena sering mencatat orang-orang yang ada
di sekitar saya, saya menjadi lebih paham tentang bagaimana cara
berpikir mereka. Sebagian dari orang-orang itu sekarang menjadi
terkenal, bahkan jauh sebelum reformasi. Rata-rata para aktivis dari
berbagai kampus, terutama dari UI. Sebut saja Fadli Zon,
Zulkiefliemansyah (sekarang anggota DPR dari PKS), Rama Pratama
(sekarang anggota DPR dari PKS), Nusron Wahid (sekarang jadi anggota
DPR dari Partai Golkar), Mustafa Kamal (sekarang anggota DPR dari
PKS), Eep Saefullah Fatah, Fahri Hamzah (sekarang anggota DPR dari
PKS), Wilson (pernah dipenjara karena dituduh menjadi pelaku Gerakan
27 Juli 1996), dan lain-lain.

UI ketika saya masuk adalah ladang pergulatan intelektual yang sangat
intens. Jurusan saya, misalnya, terbagi kedalam dua garis ideologi:
merah dan hijau. Pertarungan kedua kelompok ideologi ini bukan hanya
terbatas pada wacana, tetapi juga dalam aktivitas kemahasiswaan,
termasuk perebutan posisi dalam lembaga mahasiswa intra kampus.
Kalaupun kemudian sejumlah nama itu akhirnya terus berseberangan
ketika di luar kampus, hal itu tidak bisa dilepaskan dari pengalaman
intelektual mereka. Satu kelompok melahirkan Partai Rakyat Demokratik,
kelompok yang lain menjadi anak-anak emas dalam Partai Keadilan
Sejahtera. Namun ada juga yang ikut ke Partai Golkar atau menjadi
sahabat dari para jenderal.

Orang yang saya kagumi kala itu ada empat.

Pertama, Arfandi Lubis (almarhum). Dia senior saya di jurusan sejarah.
Dia pengagum Tan Malaka tulen. Kanker usus yang akut menjadi penyebab
kematiannya. Dari dialah saya banyak berkenalan dengan wacana kiri,
lalu mengoleksi buku-buku kiri yang berwarna merah. Dia juga yang
meminjamkan saya buku Dari Penjara ke Penjara-nya Tan Malaka.

Kedua, Fadli Zon, teman saya satu angkatan dari Jurusan Sastra Rusia.
Talentanya luar biasa, juga jaringan pergaulannya di luar kampus.
Dialah sebetulnya yang "memaksa" saya untuk menulis, ketika dia sudah
muncul sebagai penulis terkenal di zamannya. Sebelum kemudian dikenal
sebagai sahabat Prabowo Subianto, Fadli adalah penulis esai yang
bagus, kolom yang menggelitik, dan makalah yang kaya dengan buku.

Ketiga, Mustafa Kamal. Dialah sosok yang waktu itu mengingatkan saya
kepada Natsir muda. Dalam organisasi, dia banyak memberikan
ketauladanan, begitu juga dalam hal pengayaan keislaman.

Keempat, Eep Saefullah Fatah. Sekalipun berbeda kampus, saya sering
ketemu dalam panggung seminar, baik ketika saya menjadi notulis,
moderator, lalu lambat laun mendampinginya sebagai pembicara. Eep
punya kemampuan berbahasa Indonesia yang sangat baik, juga menjelaskan
sesuatu yang rumit dengan logika yang runtut.

Sebetulnya, jauh lebih banyak lagi kawan, dosen, senior, dan junior
yang mempengaruhi saya. Kampus adalah tempat yang hangat. Selalu saja
tersedia banyak orang-orang baik, jauh lebih banyak dari yang
potensial menjadi jahat. Beragam kisah, ucapan, sampai pertengkaran
dan perdebatan dengan orang-orang itu masuk ke dalam catatan harian
saya. Saya menulis sampai dini hari di dalam kamar kos yang lembab dan
kumal. Saya waktu itu adalah anak muda yang kurus kering,
berpenyakitan, miskin, dan sering mengenakan pakaian yang tidak layak.
Kerah baju saya – yang diingat oleh pacar yang kemudian menjadi istri
saya – selalu saja berlubang saking lamanya kena keringat dan tidak
diganti.

Kenapa saya menulis catatan harian? Terus terang saya juga terpengaruh
oleh tiga buku harian. Pertama, Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok
Gie. Buku ini betul-betul menjadi kumal, penuh catatan pinggir dari
saya, lalu hilang dan saya beli lagi. Kedua, Dari Penjara ke Penjara
Tan Malaka. Pengalaman membaca buku ini kadang bercampur dengan
kecemasan. Bagaimana tidak? Buku ini adalah buku terlarang waktu itu,
sehingga kalau membacanya sedapat mungkin tidak ada yang tahu. Ketiga,
Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahid, salah satu peletak dasar dari
liberalisme Islam di kalangan anak-anak muda Himpunan Mahasiswa Islam.
Dari buku-buku yang saya baca dan koleksi, ada sejumlah teman dekat
yang menyebut saya "Hijau Semangka": di luarnya hijau, tetapi di
dalamnya merah. Yang jelas, saya tidak dalam posisi "ideologis"
tertentu. Saya hanyalah anak rantau, baik dalam artian fisik, atau
pemikiran.

Dengan modal mesin tik bekas yang saya beli di Manggarai, Jakarta
Selatan, tiap malam selalu diisi dengan tak-tik-tok di kamar kos saya
di kawasan Lenteng Agung. Semula, saya menulis apapun dengan tangan,
lalu saya pindahkan ke kertas putih dengan mesin tik kalau ada uang
untuk membeli kertas dan tinta. Sering sekali ketikan itu tidak bisa
dibaca, saking tipisnya tinta yang digunakan. Dari sana lahir puisi,
cerita pendek, sampai satu dua novel yang tidak rampung-rampung. Saya
tidak tahu kemana semua yang saya pernah tulis itu sekarang, karena
seringnya pindah kos. Harta berharga yang pernah saya miliki, lalu
kalau teringat selalu menimbulkan penyesalan.

Menjajakan TulisanSemula, hanya teman yang paling dekat yang tahu saya
punya catatan harian, kumpulan puisi, sampai cerita-cerita pendek.
Aktivitas yang semakin banyak di luar kuliah, pada akhirnya memaksa
saya untuk menulis lebih "ilmiah". "Kampus" pertama saya dapatkan
dalam Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya. Di sinilah saya
belajar penelitian di luar penelitian sejarah. Di KSM UI ini juga saya
tampil sebagai notulis, moderator, akhirnya pembicara. Ketakutan saya
untuk berbicara di depan orang banyak mulai pelan-pelan pudar. Sejak
kecil sampai sekolah menengah saya memang punya hambatan mental,
selalu berkeringat dingin dan berdebar-debar ketika hendak berbicara.
Saya gagap. Tapi ayah saya membalikkan dengan kalimat: "Kamu gagap
karena otak kamu lebih cepat berpikir, ketimbang mulut kamu
mengucapkannya!"

"Kampus" kedua saya adalah pers mahasiswa, yakni Suara Mahasiswa UI
dan tabloid Ekspresi FSUI. Saya ingat, laporan saya sebagai reporter
tentang HIV-AIDS ditolak oleh pemimpin redaksi Suara Mahasiswa kala
itu, Ihsan Abdussalam – yang kini juga jadi penulis. Saya harus
memulai lagi belajar tentang 5W-1H. Untunglah, ketiga gagal menjadi
Ketua Senat Mahasiswa UI, saya banyak menyediakan waktu untuk KSM UI
dan Suara Mahasiswa UI. Karena sudah senior, saya punya lebih banyak
kebebasan untuk "memasukkan" tulisan atau pemikiran saya ke media
kampus itu, kalau perlu mengeditnya langsung di Macintosh yang
dimiliki oleh Suara Mahasiswa UI, agar pasti masuk.

Bantuan paling signifikan datang dari mata kuliah Penulisan Populer
yang diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Inggris FSUI. Pengajarnya
adalah sastrawan Ismail Marahimin. Metode pengajarannya unik, yakni
para mahasiswa harus menulis satu per minggu yang akan dipresentasikan
dan "dibantai" dalam jam-jam pelajaran yang membuat bulu kuduk
merinding. Banyak mahasiswa yang hilang di tengah jalan waktu itu,
karena takut "dikerjai" oleh sang dosen. Tetapi, satu hal yang
disampaikan oleh Pak Ismail kala itu masih saya ingat. "Kalau anda
lulus mata kuliah ini, itulah modal hidup anda!" Fadli Zon, Helvy
Tiana Rosa, lalu sejumlah redaktur pers sekarang setahu saya lulus
dalam mata kuliah ini. Dua semester saya ikut mata kuliah ini dan
keduanya mendapatkan nilai A. Saya masih tidak tahu, bagaimana
mendapatkan kembali seluruh tulisan yang saya pernah tulis,
masing-masing 1 per minggu dalam satu tahun kuliah bersama Pak Ismail
itu. Saya kehilangan copy-nya. Tulisan-tulisan itu mulai dari fiksi
sampai non fiksi. Saya ingat, ada satu-dua cerpen yang dipuji oleh Pak
Ismail karena menyediakan banyak kejutan.

Pelan-pelan saya juga tampil sebagai pembicara skala kampus.
Makalah-makalah lahir, sebagian besar tentang gerakan mahasiswa. Dari
sana juga saya menulis skripsi dengan tema "Koreksi Demi Koreksi:
Aktivitas Pergerakan Mahasiswa Pasca Malari sampai Penolakan NKK-BKK
(1974-1980)". Pengalaman saya sebagai aktivis membawa saya kepada
pergaulan di luar UI. Paling tidak, selain Fadli Zon, saya paling
banyak mewakili mahasiswa UI kala itu, baik untuk tingkat jurusan,
fakultas atau universitas. Samarinda, Surabaya, Pekanbaru, Yogyakarta,
Malang, Bandung, dan kota-kota lainnya mulai saya singgahi.

Karena jauh dari kampung, saya juga sering menulis surat. Ayah saya
adalah seorang penulis yang baik, dengan tulisan tangan yang indah,
turunan dari ayahnya (kakek saya) yang pernah jadi juru tulis pada
masa Belanda. Banyak hal yang saya perdebatkan dengan ayah saya waktu
itu. Selain itu, saya juga menulis surat kepada pacar saya di kampung,
Bengkulu dan Lampung. Saya juga berkomunikasi lewat surat dengan
teman-teman aktivis di sejumlah kota, termasuk juga dengan seorang
mahasiswi Jepang di Jepang dalam bahasa Inggris yang minim.
(Keberadaan sms dan internet sekarang saya kira menjadi unsur
degradasi kemampuan penulisan para mahasiswa dan anak-anak sekolah).

Saya mulai merambah koran dan tabloid umum ketika ditawarin menulis di
Tabloid Swadesi yang dikelola oleh teman saya yang jadi reporter di
sana, Bayu. Boleh dikatakan dari sanalah saya menjadi penulis umum,
terutama tentang gerakan mahasiswa. Tabloid itu pada akhirnya bubar
akibat perpecahan dalam tubuh PDI, karena memang afiliasinya dengan
PDI. Honor menulis disana Rp. 35.000-Rp. 45.000. Tulisan saya juga
nongol di Harian Merdeka dan Tabloid Mutiara milik Suara Pembaruan.
Saya masih ingat mendatangi kantor Suara Pembaruan untuk mengambil
honor sebesar Rp. 66.000, lalu Rp. 6.000,-nya dipotong pajak.

Saya juga tetap menulis puisi. Puisi bagi saya adalah kolom tersingkat
yang bisa ditulis. Dalam banyak hal yang tidak bisa dicerna secara
singkat, puisi mewakilinya. Puisi juga bisa "menyimpan" ingatan secara
tidak terduga, karena bahasanya yang tidak tersurat. Dalam sejumlah
kesempatan demonstrasi dan aksi mahasiswa, puisi-puisi saya bawakan.
Bahkan, ketika maju sebagai calon Ketua Senat Mahasiswa UI, saya lebih
banyak membaca puisi ketimbang berorasi menarik mahasiswa untuk
memilih saya.

Usai kuliah, tahun 1997, krisis multidimensional menimpa Indonesia.
Saya adalah generasi terakhir para sarjana Orde Baru yang langsung
kehilangan harapan. Banyak lowongan kerja yang membatalkan penambahan
karyawan, terutama di dunia pers dan penerbitan. Cita-cita saya
menjadi wartawan tidak kesampaian. Beban sosial juga melekat, yakni
bagaimana mempertahankan hidup setelah kuliah yang menghabiskan umur
dan dana. Apalagi saya banyak dibantu oleh kakak-kakak dan adik-adik
saya ketika kuliah, selain mendapatkan beasiswa mahasiswa berprestasi
dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp. 50.000 per bulan.

Semula, saya bekerja di Surat Kabar Kampus Warta UI, lantai 7 Rektorat
UI. Bersama Pak Rahmat, saya menerbitkan edisi-edisi khusus
berdasarkan kebutuhan fakultas. Uang yang saya dapatkan tidak menentu,
karena memang tidak ada gaji tetap. Rata-rata penghasilannya Rp.
150.000 sampai Rp. 300.000,- per bulan. Tetapi pekerjaan itupun tidak
bertahan lama, karena ada kebijakan untuk tidak lagi menerbitkan SKK
Warta UI. Nasib membawa saya ke jalanan, yakni bergabung dengan PT
Deka Megahrani Citra, sebagai interviewer produk-produk konsumsi,
seperti makanan dan minuman. Penghasilan didapat berdasarkan berapa
banyak responden yang kita dapat. Jumlahnya dikumpulkan per bulan,
kadang kurang dari Rp. 100.000,- per bulan, kadang lebih.

Dalam era reformasi yang bergejolak itu, saya dan teman-teman UI yang
membantu Keluarga Besar UI menerbitkan juga tabloid dan jurnal,
bersama teman saya Rahmat Yananda (sekarang jadi konsultan bisnis),
Andi Rahman (sekarang dosen sosiologi FISIP UI), Dandi Ramdani
(sekarang sedang menempuh pendidikan S-3 di Belanda), Padang Wicaksono
(sekarang sedang menyelesaikan studi S-3 di Jepang), Tirta Adhitama
(sekarang sedang menyelesaikan studi S-3 di Jepang) dan Muhammad Fahri
(sekarang jadi pebisnis). Arus reformasi yang bergulir itu menyediakan
waktu bagi kami untuk mengeluarkan apapun guna mengkritisi rezim yang
mulai keropos. Sikut-menyikut antar kelompok begitu kentara,
kadangkala disertai ketakutan akan dikeroyok atau diculik.

Saya terlibat dalam aksi-aksi itu sebagai alumni, termasuk berada di
Gedung DPR MPR ketika diduduki oleh mahasiswa tanggal 20 Mei 1998.
Buku harian saya dipenuhi berlembar-lembar cerita, termasuk ketika
pecah kerusuhan tanggal 12-13 Mei 1998. Saat kerusuhan meledak, saya
berada di Universitas Trisakti untuk memberikan penghormatan kepada
para mahasiswa yang ditembak sehari sebelumnya. Dari sana saya
saksikan betapa kelompok yang paling berani menghadapi polisi dan
tentara ternyata bukan mahasiswa, melainkan para pelajar. Sebelum
siang, kerusuhan tidak terlalu parah. Tetapi setelah para pelajar
pulang sekolah, mereka berada di barisan depan tanpa rasa takut
berhadapan dengan polisi dan tentara. Kami yang berlindung di dalam
kampus hanya bisa mengusap air mata terkena gas air mata.

Saya kembali mendapatkan kesempatan menulis ketika bekerja di
lingkungan STIE Pramita, Tangerang. Kebetulan majalah kampus itu
membutuhkan tenaga kerja. Bersama dua sahabat saya, Sugeng P Syahrie
dan Luthfi Ihsana Nur, saya mengelola majalah kampus itu. Lama
kelamaan, karena perubahan politik, Pak Hadi Soebadio yang menjadi
pimpinan kampus itu terpilih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah
Partai Amanat Nasional Kabupaten Tangerang. Dari sanalah saya terjun
ke politik, yakni dengan menerbitkan tabloid Mentari. Lagi-lagi
menulis menjadi pekerjaan utama.

Lalu saya berkenalan dengan Faisal H Basri, Sekretaris Jenderal Partai
Amanat Nasional. Sejak mahasiswa saya sudah mengaguminya. Dalam waktu
cepat, sayapun bergabung dengan kelompok Faisal H Basri. Sayapun
pindah dari Tangerang, lantas tinggal di Apartemen Rasuna, Kuningan,
sebagai markas kelompok Faisal H Basri. Di apartemen itulah saya
belajar politik dalam artian paling riil, karena berdiskusi dengan
genk Faisal yang lain, seperti Bara Hasibuan, Arif Arryman, Nawir
Messy, Sjahrial Djalil, Rizal Sukma, Rahmat Yananda, Santoso, Rachman
Sjarief, Aan Effendi, Tristanti Mitayani, Abdillah Thoha, Sandra
Hamid, Miranti Abidin, dan lain-lainnya. Mereka rata-rata
berpendidikan master dan doktoral, serta berasal dari sejumlah lembaga
think tank berpengaruh seperti CSIS, Econit, dan INDEF. Tugas saya
adalah membikin minum, menyapu lantai, membelikan makanan, dan
mencatat hasil rapat, lalu mendistribusikannya kepada peserta rapat.

Dunia internetpun saya kenali di apartemen Rasuna ini. Saya memasuki
berbagai mailing list, lantas menggunakan nick name, juga berdebat
dengan banyak kalangan. Informasi terbanyak memang akhirnya saya
dapatkan lewat dunia maya ini. Boleh dibilang saya selalu tidur
terlambat, karena menggunakan internet sampai dini hari. Koran-koran
sudah saya baca dini hari itu di internet, sehingga informasi terbaru
selalu saya ikuti.

Karena memang hidup di lingkungan politikus dan intelektual, sayapun
memberanikan menulis. Tulisan pertama dan kedua saya kirimkan ke
Kompas. Tulisan ketiga diterima. Semangat barupun muncul, karena
Kompas adalah koran terbesar dan berpengaruh di Indonesia.
Tulisan-tulisan lainpun juga masuk ke Kompas, dan media lainnya.
Jadilah saya dikenal sebagai penulis Kompas, sesuatu yang menjadi
magnet bagi siapapun untuk menyampaikan pikiran mereka kepada saya.
Selain menulis, saya juga menjadi semacam asisten politik Faisal H
Basri. Kesibukannya yang luar biasa membutuhkan manajemen. Saya
ditugaskan untuk membantunya, sekalipun untuk mengatur jadwal Faisal
sangatlah rumit.

Kolom Demi KolomAkhirnya, saya menjadi penulis. Produktifitas saya
begitu meluap. Saya juga menjadi generasi pertama penulis kolom di
sejumlah website dengan honor lumayan. Booming internet waktu itu
menyebabkan banyak permintaan atas kolom, terutama kolom-kolom
politik. Detik.com, Berpolitik.com, Lippostar.com, Satunet.com,
Indonesiamu.com, dan lain-lainnya menjadi tempat saya menyalurkan
bakat dan kemampuan penulisan saya. Namun saya juga tetap terus
mengirimkan tulisan demi tulisan ke koran dan majalah.

Karena memang "kontrak" saya dengan kelompok Faisal mau habis, saya
akhirnya melamar pekerjaan ke dua institusi, yakni CSIS dan radio 68h.
Kebetulan Rizal Sukma yang menjadi kelompok Faisal di PAN adalah
Direktur Studi CSIS, begitu juga anggota gank Rasuna lainnya yakni
Santoso yang menjadi Direktur Radio 68h. Ketika saya mulai kehilangan
harapan, karena beban kebutuhan hidup yang mulai Senin-Kamis, nyatanya
saya diterima di kedua tempat itu. Tetapi, atas saran Santoso dan
teman-teman lain, termasuk dukungan dari Faisal, Arryman, dan Bara,
saya akhirnya memutuskan untuk bekerja di CSIS. Saya mulai masuk
tanggal 1 Desember 2000.

Dengan status baru sebagai peneliti Departemen Politik dan Perubahan
Sosial CSIS, kesempatan buat saya makin terbuka lebar. Apalagi
kelompok Faisal makin patah arang dengan PAN. Tanggal 21 Januari 2001,
sebanyak 16 orang fungsionaris dan pendiri PAN mengundurkan diri,
termasuk saya yang sebetulnya baru bergabung resmi dalam Departemen
Seni dan Budaya DPP PAN pascakongres PAN di Yogyakarta tahun 2000.
Sebagai orang dekat Faisal, saya punya banyak kesempatan mengikutinya,
termasuk dalam rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan penting di luar
jabatan saya di Departemen Seni dan Budaya. Saya juga mulai mengambil
tempat sebagai salah satu orang yang diberi kesempatan mengambil sikap
atau keputusan atas apa yang akan dilakukan oleh kelompok.

Setelah mundur dari dunia politik, sekalipun tetap dikenal sebagai
orang PAN, saya mempunyai ketertarikan mendalam kepada
kelompok-kelompok masyarakat sipil. Karena kelompok Faisal sudah
jarang bertemu, saya akhirnya bergabung dengan sejumlah kelompok
masyarakat sipil, antara lain Forum Indonesia Damai. Ketika banjir
melanda Jakarta, saya bergabung dengan kelompok Satu Merah Panggung
Ratna Sarumpaet. Dalam kapasitas sebagai anggota DPP PAN, saya juga
pernah menjadi tim perumus dan penulis akhir buku Skenario Masyarakat
Sipil Indonesia tahun 2010, dimana saya berkenalan dengan banyak
aktifis muda kala itu, seperti Munarman YLBHI. Saya juga menjadi salah
satu deklarator Perhimpunan Rakyat Jakarta untuk Pemberantasan Korupsi
(berantaS). Sebetulnya, simbol "S" dengan huruf besar dalam KontraS
dan BerantaS itu bukan timbul tanpa sengaja, melainkan diidentikkan
dengan Soeharto, sesuatu yang jarang diketahui oleh kalangan luar.

Dan sayapun menikahi kekasih yang mendampingi saya selama 6 (enam)
tahun sejak di bangku kuliah: Faridah Thulhotimah, anak jurusan Ilmu
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI. Ia
menjadi sumber inspirasi saya, sekaligus kekuatan saya ketika
berhadapan dengan begitu banyak persoalan hidup. Pernikahan saya
dihadiri oleh sejumlah aktifis, peneliti, politikus, dan teman dekat.
Mustafa Kamal membacakan doa, sementara Erry Riyana Hardjapamengkas
bertindak sebagai tuan rumah alias bapak angkat saya. Faisal H Basri
menjadi saksi. Biaya pernikahan saya datang dari kantong-kantong
pribadi orang-orang baik itu.

Sebagai aktivis dan peneliti, saya juga menjadi penyiar radio, yakni
di Radio Delta FM dan Jakarta News FM. Karena bergabung dengan Koalisi
untuk Konstitusi Baru yang dikomandani oleh Todung Mulya Lubis dan
Bambang Widjajanto, saya akhirnya berkenalan dengan banyak ahli hukum
dan politik dari berbagai kampus. Saya juga pernah menjadi host acara
di Trijaya FM. Undangan sebagai pembicarapun berdatangan, termasuk di
luar daerah. Inilah dunia yang "menenggelamkan" saya ke dalam
pergaulan kalangan civil society di Indonesia. Sejumlah nama yang
hadir di media massa-pun akhirnya saya kenali satu demi satu. Sayapun
juga mengenali Teten Masduki, justru setelah saya aktif di BerantaS
yang merupakan "pecahan" dari Indonesia Coruption Watch. Dari FID saya
kenal Erry Riyana Hardjapamengkas.

JIKA NGOBROL SELALU BISA, MENGAPA MENULIS TIDAK ?

JIKA NGOBROL SELALU BISA, MENGAPA MENULIS TIDAK ?
> (Motivasi Menulis)
>
> Menulis memang banyak sekali tantangan dan
> hambatannya. Banyak orang yang berniat menulis,
> mungkin menulis artikel, novel atau menulis buku non
> fiksi, namun hanya sebagian yang mampu
> merealisasikannya jadi tulisan.
>
> Sebagian orang hanya berniat dan berniat saja menulis,
> namun belum juga tergerak untuk merealisasikan
> menulis. Mereka kadang beralasan besok sajalah,
> sekarang masih repot, masih sibuk. Besuk saja saya
> akan membuat tulisan terbaik, yang akan bisa best
> seller dan mampu mengalahkan tulisan penulis lain.
> Namun esok hari juga beralasan "besuk saja" sehingga
> tulisan tak kunjung jadi.
>
> Repot atau kesibukan, apapun bentuknya, seringkali
> menjadi alasan paling masuk akal bagi kita untuk
> menunda menulis. Namun jika ini dituruti, kemungkinan
> yang terjadi yakni tulisan kita tak akan selesai, dan
> sampai kapanpun rencana menulis tersebut tidak akan
> adi kenyataan.
> Ironisnya, jika mengobrol dengan teman atau dengan
> keluarga (atau dengan siapa saja), kita selalu bisa.
> Ngobrol selalu ada waktu. Sesibuk apapun kita,
> biasanya kita selalu punya waktu untuk ngobrol. Nah
> pertanyaan kritis bagi diri sendiri perlu kita
> lontarkan, jika menulis sering ditunda (dengan alasan
> sibuk atau repot), mengapa jika ngobrol selalu bisa ?
> Tanpa sadar kita kadang ngobrol ngalor ngidul
> berlama-lama, mengapa waktu untuk ngobrol itu tidak
> dipakai untuk menulis ?
>
> Ok, yuk kita sama-sama produktif menulis, kurangi
> ngobrol dan kita arahkan energi kita untuk tulisan. Ok
> Sukses Selalu
>
> Salam dari Kota Apel Malang
> Muhammad Zen
> http://mhzen. wordpress. com
> http://mzenmzen. multiply. com
>