Jumat, 29 Agustus 2008

Kata Adalah Senjata

Oleh Nursalam AR



"Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam, dan ia bukan
pertapa suci yang kebal terhadap godaan. Kurcaci merubung tubuhnya
yang berlumuran darah sementara pena yang dihunusnya belum mau
patah." (Joko Pinurbo dalam Kurcaci, 1998)

Dalam kesempatan yang lain, Pramoedya Ananta Toer mengibaratkan kata
sebagai tanah lempung yang mudah dibentuk sesuka hati sehingga dapat
berdentang selayaknya besi. Dalam berbagai peribahasa, di beragam
bahasa, kata diumpamakan sebagai pedang atau pelbagai perumpamaan
yang begitu perkasa lainnya.

Mengapa kata dianggap digjaya?

Ya, karena ia mewakili tingkat peradaban manusia. Keunggulan Nabi
Adam, dalam Al Qur'an, atas malaikat dan iblis adalah karena ia
menguasai nama-nama benda yang diajarkan Allah kepadanya.
Information is power, itu intinya. Atau seorang anak manusia juga
akan dianggap lebih "berharga" ketika ia mulai mengeluarkan kata-
kata pertamanya semasa bayi. Entah itu "papa", "mama", "abi", "ummi"
atau bahkan sekadar suara hewan yang sering dilihatnya, "meong",
misal.

Seorang penulis dipuji orang antara lain karena kekuatan dan variasi
kata yang dimilikinya. Penulis yang hanya setia pada kata-kata yang
pertamakali dikenalnya sewaktu mulai menulis satu dekade lalu dan
enggan atau bahkan ngeri bereksperimen menggunakan kata-kata baru –
yang diperoleh seiring pergelutannya di dunia literasi dan jam
terbang kepenulisan – juga cenderung akan diklasifikasikan sesuai
bosan tidaknya pembaca mengikuti tulisannya.

Sebetulnya ini tidak eksklusif bagi kalangan penulis saja. Seorang
Barack Obama, kandidat presiden Amerika Serikat dari Pantai
Demokrat, juga dielu-elukan salah satunya karena keterampilannya
menggunakan kata-kata yang inspiratif dan bertenaga. Di dunia yang
kian beradab, sesuai tingkat peradaban manusia, kata-kata lebih
dibutuhkan sebagai sarana berkomunikasi atau mencari solusi
ketimbang otot atau fisik yang kerap digunakan orang-orang yang
rendah intelektualitasnya atau manusia zaman purba.

Jangan heran jika orang yang kalah berdebat atau berolah kata
cenderung memilih tinju sebagai solusi karena barangkali itulah
naluri dasar di masa awal peradaban. Dalam khazanah sejarah, kita
menyebutnya sebagai manusia barbar. Pasukan Mongol yang mematahkan
kekhilafahan Islam di Irak beberapa abad silam dan membumihanguskan
perpustakaan terbesar di muka bumi pada kurun waktu itu adalah
contoh sempurna profil manusia barbar dalam sejarah manusia. Buku-
buku karya para ilmuwan besar zaman tersebut dilarung ke sungai
sehingga sungai Eufrat dan Tigris menghitam airnya karena jutaan
liter tinta buku yang dimusnahkan. Bukan hanya dunia Islam,
sebetulnya, yang berduka tapi peradaban manusia secara keseluruhan
yang kehilangan catatan keemasannya.

Ya, karena kata, buku dan ilmu adalah satu deret hal yang berjalin.
Mengapa?

"Sekarang aku yakin bahwa dengan penguasaan kosakata yang kian
banyak, aku akan bisa memahami apapun yang tertulis di buku. Dan
sebuah dunia baru akan terbuka di depan seseorang, jika ia selesai
membaca gagasan besar…………….Justru ketika itulah pertamakali aku
merasakan kebebasan yang sesungguhnya. "

Itulah pengakuan jujur seorang Malcolm X, sang pejuang Hak Asasi
Manusia selain Marthin Luther King, yang bersusah-payah mempelajari
banyak buku semasa dipenjara. Malcom X – yang kemudian kembali ke
Islam dan kisah hidupnya difilmkan Hollywood – adalah mantan
begundal yang menemukan kebebasannya melalui buku di tempat yang
secara fisik sangat mengungkung, sebenarnya. Penjara. Tapi, dengan
buku, ia mempunyai sayap yang mengangkatnya lebih tinggi untuk
memahami berbagai gagasan dan makna kebebasan. Dan itu berawal dari
satu hal: kata.

Jadi, Sahabat, membacalah agar semakin banyak kata kita reguk!

Apakah cukup?

Jared Sparks yang hidup pada kurun waktu 1789-1866 mengungkapkan
cara lain untuk memperkaya khazanah kata yang kita miliki. Apa
katanya? "When you talk, you repeat what you already know; when you
listen, you often learn something." Saat kita bicara, kita hanya
mengulangi apa yang sudah kita tahu. Tapi ketika kita mendengarkan,
kita kerap mempelajari sesuatu. Yup, bukankah Tuhan menganugerahi
kita dua telinga dan satu mulut? Tentu maksudnya agar kian banyak
kata baru yang kita dengar dan pahami ketimbang mengumbar kata-kata
basi yang tak jelas juntrungannya.

Namun, agar kian tajam senjata kata yang kita punya, kita harus
mengasahnya dalam berbagai kesempatan. Dan cara tercanggih dan
alamiah adalah dengan menulis. Dalam buku Boost Your Mind Power
(2006) karya Bill Lucas, Graham Wallas mengatakan,"How do I know
what I think 'till I see what I say?" Kita kerap mendapati dengan
menuliskan sesuatu meski sekadar pengalaman pribadi sekalipun,
segala hal menjadi jelas, kegundahan terhapuskan dan maksud
tersampaikan. Memang jika kita mampu mendeskripsikan sesuatu dengan
akurat kepada orang lain itu artinya kita berada di jalan yang benar
dalam memahami diri kita sendiri.

Tidak percaya? Silakan mencoba dan bereksperimen dengan kata. Jika
ada salah toh namanya juga berusaha. Dan itulah esensi pengalaman.
Experience is the name we give to our mistakes, kata Oscar Wilde.
Tuhan pun tidak hanya menghargai orang-orang yang berhasil mencapai
puncak ilmu dan kebaikan tapi juga orang-orang yang berusaha
mencapainya.

Kini senjata bernama kata pun terhunus, siap dihunjamkan.

lenteng Agung, 16 Juli 2008

- saat istri menyiapkan makan pagi-





Tidak ada komentar: